Tuesday 31 January 2012

All I Need Is A Courage


Ketika pertama kali ask to join this group, saya tidak yakin akan mampu mencapai 50K dalam satu bulan. Tugas-tugas kantor yang bejibun, kewajiban sebagai ayah dari seorang bayi berusia1 bulan yang tak bisa diremehkan, serta hobby lain yang tak berhubungan dengan dunia tulis menulis yang juga tidak bisa saya tinggalkan, membuat saya tidak terlalu optimis. Benarlah sebutan rekan-rekan di group ini, bahwa yang ikut adalah para nekaders. Sayapun maju dengan modal nekad.



Ternyata yang saya butuhkan memang hanya penyemangat. Rekan-rekan yang dengan setia melike setiap postingan status saya, pembaca yang mengunjungi blog saya dan sesekali meninggalkan komentar, menjadi cambuk yang melecut punggung saya untuk terus menulis dan menulis. Anehnya, semakin banyak yang saya tulis, semakin banyak yang minta untuk saya tuliskan.

Tak terkecuali, pengalaman menjelang deadline yang berujung pada konfrontasi saya dengan istri, sebagaimana yang pernah saya tulis sebagai salah satu status saya, membuat saya tiba pada target 50K dua hari sebelum malam ini.  Saya menyebutnya sebagai blessing in disguise. Rasanya sungguh tak nyaman, tidur bersama orang yang bahkan tak sudi melihat wajah kita. Tapi itu membuat ide saya tumpah bagaikan air terjun ke lembaran-lembaran kertas virtual di layar komputer.

I can’t imagine, what kind of writer I will be without this group. Banyak terima kasih kepada para admin group, juga kepada segenap teman baru yang secara tidak terduga telah menjadi bagian dari hidup saya dalam satu bulan terakhir ini. Sekali lagi thanks a lot.

Monday 30 January 2012

Epilog


Rumah di pinggiran kota itu mendadak ramai. Puluhan orang polisi berpakaian lengkap meloncat dari sebuah mobil pick up. Sebagian besar di antaranya langsung berlari dan menempatkan diri di sekeliling rumah, sementara sebagian kecil lainnya merengsek masuk ke dalam rumah. Seorang pria yang berpakaian preman, berdiri paling depan melambaikan selembar surat perintah penahanan kepada tuan rumah.

Chapter Fourty Five


Pagi menjelang ketika telponnya berdering. Edo terbangun dan melihat bahwa yang menelponnya adalah Imran.
“Ya, pak?”
“Maaf, Do. Tolong, kamu segera ke sini.”
“Baik, pak.”

Chapter Fourty Four


Pesawat yang membawa Edo dari Jakarta tiba di Changi International Airport tepat pukul 11.35 Waktu Singapura. Saat pintu pesawa dibuka, Edo bergegas meninggalkan tempat duduknya dan menerobos kerumunan penumpang di lorong tengah. Beberapa orang sempat terdorong sehingga menyumpahi Edo. Edo tidak peduli. Pesan dari Tenri sangat jelas baginya. Datanglah, secepat yang kamu bisa.

Chpater Fourty Three


Tenri berteriak keras, dengan ayunan penuh, bola itu dipukul tepat ke arah posisi Edo berdiri. Edo tidak berkutik. Upayanya menahan bola itu dengan half volley gagal. Bola itu meluncur cepat melewati celah antara kaki kanan dan raketnya. Edo berbalik untuk memungut bola yang sudah memantul di tembok belakang lapangan. Ketika ia kembali menghadap ke tengah lapangan, ia tidak melihat Tenri di posisi yang semestinya. Matanya mencari, dan terbelalak ketika Tenri masih berada di posisi terakhir ia lihat. Tapi kini dalam keadaan tertelungkup.

Chapter Fourty Two


Ardi ingin memanfaatkan malam ini dengan berkonsentrasi menulis naskah klarifikasinya terhadap Majelis Ulama Nasional. Iseng-iseng ia buka inboxnya dan mendapati ternyata ada sebuah pesan datang dari Edo beberapa menit yang lalu.

Chapter Fourty One


Sangkala memandangi foto-foto Tenri yang sudah tersimpan di komputer Edo. Edo hanya mengamati dari tempat tidur, sambil sesekali mencuri pandang pada foto-foto yang berganti-ganti itu.

Chapter Fourty


Imran berdiri mematung. Matanya menatap tajam pada sebuah foto berpigura besar yang menempel di dinding ruang tamu rumah dinasnya. Sejak kepergian tamunya sepuluh menit lalu, ia terus memandangi foto itu, menatap postur, kulit, mata, hidung dan garis bibir seorang gadis muda yang duduk anggun dengan dagu terangkat. Pandangannya lalu berpindah ke sebuah foto keluarga yang juga berukuran besar. Di foto itu ada gambar dirinya, istrinya dan Tenri, anak tunggalnya. Ia kembali memfokuskan pandangan pada gambar sang anak.

Chapter Thirty Nine


Pemerintahan di daerah berjalan normal kembali. Upaya Imran mempertahankan sistem yang sudah dibangun oleh Sufri membuahkan hasil. Dengan kepercayaan diri yang penuh ia jalankan roda pemerintahan laksana seorang expert. Hal itu telah membungkam berbagai anggapan miring orang-orang yang meragukan kapasitas dan kemampuannya dalam pemerintahan.

chapter Thirty Eight


Barli dan ajudan Wakil Bupati sudah tuntas menjalani pemeriksaan Polisi. Dari mereka berdua, polisi tidak bisa menerima banyak informasi yang berharga untuk mendukung penyidikan lebih lanjut. Namun seiring dengan membaiknya kesehatan salah seorang pelaku, berkat pemeriksaan intensif yang dilakukan penyidik terhadap pria yang berhasil dilukai oleh Sufri, polisi berhasil menemukan fakta bahwa kejadian itu merupakan skenario pembunuhan berencana terhadap Sufri.

Chapter Thirty Seven


Naimah terus menunggui suaminya yang masih dirawat di dalam ruang perawatan VVIP rumah sakit umum pusat. Beberapa hari terakhir ini, proses pemulihannya berjalan dengan baik. Meskipun belum bisa diajak berkomunikasi dalam waktu yang cukup lama dan masih terlalu lemah, tetapi seluruh anggota badan dan organ vitalnya sudah berfungsi kembali dengan normal. Sembilan jahitan yang telah menyambung kembali kulit di ulu hatinya yang robek oleh senjata tajam. Luka itu ditutup perban. Wajah dan beberapa bagian tubuh Sufri yang semula lebam dan memar sudah berangsur pulih kembali.

Chapter Thirty Six


Barli sudah bisa berjalan meninggalkan tempat tidur. Tubuhnya berangsur pulih seiring dengan telah dikeluarkannya seluruh pengaruh heroin yang pernah ditelannya. Obat-obatan yang diminumnya telah memberikan efek yang baik. Jika ia berjalan, selang dan botol infus diseretnya, bahkan sampai berjalan melewati koridor rumah sakit jika ia kebelet ingin keluar. Di dalam bosan katanya.

Tuesday 24 January 2012

Chapter Thirty Five


Barli sudah bisa berjalan meninggalkan tempat tidur. Selang dan botol infus diseretnya melewati koridor rumah sakit jika ia kebelet ingin keluar. Di dalam bosan katanya.

Chapter Thirty Four



Malam harinya, Edo menerima telpon ayahnya. Ayahnya menceritakan bahwa Fatwa Majelis ulama tidak berpihak pada hasil penemuannya. Fatwa Majelis Ulama dengan tegas mengharamkan praktek rekayasa Genetika dilakukan terhadap manusia. Melalui juru bicara yang membacakan fatwa itu melalui siaran langsung di beberapa stasiun televisi, Majelis Ulama Nasional menyimpulkan bahwa rekayasa genetika terhadap manusia haram hukumnya. Alasannya banyak. Tapi pada umumnya karena para ulama itu berpendapat tidak semestinya manusia mencampuri urusan manusia dalam penentuan nasib. Jika suatu ketika anda sakit, maka itu merupakan bagian dari cobaan atau ujian Tuhan yang harus dijalani oleh manusia untuk mengetahui kadar imannya.

Chapter Thirty Three


Edo menangkap reaksi yang beragam dari orang-orang yang ditemuinya di kantor terkait peristiwa yang menimpa Wakil Bupati. Walau  pada umumnya menampakkan keterkejutan dan keprihatinan, namun ada juga satu dua orang yang terlihat tidak begitu peduli. Sejauh ini, ia berusaha untuk tidak membicarakan peristiwa itu. Baginya, itu hanya peristiwa kriminal biasa, yang bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan terhadap siapa saja.

Chapter Thirty Two


Edo membelokkan mobil sport merah darah itu memasuki halaman sebuah rumah makan. Setelah mengemudi selama lebih kurang dua jam, ia merasa agak lelah dan mengantuk. Ia butuh segelas kopi susu. Mobil itu berhenti sempurna di antara mobil-mobil lain yang sudah lebih dahulu terparkir. Di sisi kirinya, di tempat duduk, Tenri masih tertidur pulas setelah menyetel sandaran kursinya hingga hampir lurus.

Chapter Thirty One


“Bodoh, bodoh, bodoh! Ini tindakan paling bodoh yang pernah kamu lakukan, Burman!” Teriak Ibong. Tinjunya mengepal. Sorot matanya berapi-api menatap Burman.

Chapter Thirty


“Mohon maaf, saudara-saudara sekalian. Sementara ini, kami belum bisa memberikan banyak informasi kepada rekan-rekan sekalian terkait dengan penyelidikan ini. Tetapi berdasarkan fakta-fakta yang kita temukan di TKP, korban, dalam hal ini Bapak Sufri Wakil Bupati, dirampok oleh sekelompok orang, yang salah satu terduga pelakunya juga terluka parah dan sementara di rawat intensif di rumah sakit Bhayangkara.” Kata Kapolres dalam sebuah sesi konferensi pers yang digelar di aula mapolres dua hari kemudian.

Chapter Twenty Nine


Perlu waktu lebih dari dua belas jam bagi Barli untuk siuman dan sadar sepenuhnya atas apa yang telah terjadi. Saat terbangun, ia mendapati dirinya terbenam di sebuah tempat tidur dengan jarum infus menancap di lengan kanannya. Kepalanya terasa berat, pandangannya berkunang-kunang. Seluruh persendiannya kaku dan tak bisa ia gerakkan. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap agar penglihatannya bisa menjadi normal kembali.

Chapter Twenty Eight


Berita tentang perampokan terhadap Sufri dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru daerah. Bahkan melintas hingga ke daerah tetangga dan ibukota provinsi. Banyak pihak menyampaikan pernyataan simpati atas peristiwa yang menghebohkan itu.

Thursday 19 January 2012

Chapter Twenty Seven


Naimah sebenarnya tidak terlalu resah menunggu suaminya pulang. Walau saat itu maghrib sudah hampir lewat. Ini kejadian yang sangat lazim, jadi tidak perlu khawatir. Bukankah tadi pagi Sufri sudah minta izin untuk tidak pulang makan siang karena ada acara di salah satu kecamatan. Kebetulan letak kecamatan itu cukup terpencil. Hanya saja, menurut perhitungannya, seharusnya suaminya sudah pulang.

Chapter Twenty Six


Barli, sang sopir, berusia dua puluh sembilan tahun. Anak pertama dari tiga bersaudara. Ia hidup bersama ibu dan dua orang adik perempuannya. Ia sebenarnya punya seorang adik laki-laki yang lahir lima tahun setelah kelahirannya. Tapi anak itu meninggal ketika masih berusia delapan bulan akibat penyakit DBD. Setelah hampir sepuluh tahun menjadi anak tunggal, ibunya melahirkan anak perempuan, dua orang dalam waktu tiga setengah tahun. Ayahnya pensiunan pegawai negeri golongan II. Bekas Penjaga Sekolah di salah satu SD di desanya. Tapi meninggal karena penyakit paru-paru akibat kebanyakan merokok.

Chapter Twenty Five


Istri Sufri bernama Naimah, ia adalah seorang ibu rumah tangga biasa. The real housewife. Meski berpendidikan sarjana, ia memilih untuk tidak bekerja di luar rumah. Konon karena itu permintaan Sufri sendiri, beberapa hari setelah mereka menikah. Biar perawatan dan pendidikan anak-anak dilakukan oleh tangan pertama, yaitu ibunya sendiri.

Chapter Twenty Four


Pria berperawakan tinggi dan berbadan kekar itu memasuki toko swalayan, menuju ke tempat botol-botol minuman ringan yang ditata rapi di rak bertingkat empat. Pesan singkat – dengan kode tertentu yang sudah dihapalnya di luar kepala – yang diterimanya barusan dari sebuah nomor telepon asing, menyebutkan bahwa target dan panjar upahnya ada pada bagian bawah sebuah rak botol soft drink di toko swalayan itu.

Chapter Twenty Three


Sangkala menjadi penunjuk jalan. Katanya ia tahu tempat yang bagus untuk rekreasi di luar daerah, dengan syarat ia dan pacarnya bisa ikut. Edo setuju, tapi Tenri harus ditanya terlebih dahulu. Apalagi dia yang punya mobil dan barangkali akan menanggung seluruh biaya rekreasi itu.

Chapter Twenty Two


Rumah orang tua Ibong berada di salah satu kecamatan yang cukup jauh dari ibu kota Kabupaten. Waktu tempuh rata-rata dari kota hingga ke rumah itu adalah sekitar 40 menit dengan asumsi jalanan nasional yang merupakan satu-satunya akses ke rumah itu tidak dipenuhi kendaraan berat antar provinsi.

Chapter Twenty One


Meskipun tidak sepenuhnya yakin, tapi Tenri mulai bisa menyatakan bahwa  keputusannya untuk tetap tinggal di daerah ini adalah karena Edo. Ia suka pemuda itu. cinta? Not yet. Itu masih harus diuji dengan berbagai instrumen sebelum sampai pada kesimpulan itu. Lagipula,  konsepnya tentang cinta masih terlalu prematur untuk menjadi alasan perubahan keinginan yang drastis itu.

Monday 16 January 2012

Chapter Twenty


Sudah tiga bulan berlalu sejak pelantikan dan pengambilan sumpah Imran dan Sufri sebagai Bupati dan Wakil Bupati. Perubahan nyata terlah terjadi pada berbagai aspek pemerintahan. Jumlah perangkat daerah yang diciutkan bekerja maksimal mengejar target yang dibebankan kepada mereka.

Chapter Nineteen


Minggu malam ini perasaan Edo tidak menentu. Sejak siang hingga saat ini ingatannya terus tertuju pada Tenri. Sejak berpisah dengan gadis itu siang tadi, usai Tenri mengajaknya makan di sebuah restoran sederhana yang menyajikan makanan khas sulawesi, berbagai pikiran terus melintas di benak Edo.

Chapter Eighteen


Nomor ponsel Ajudan Bupati berkedip ketika sebuah panggilan masuk di ponsel Edo. Jantung Edo berdegup, tugas baru pasti sedang disiapkan Bupati Untuknya. Edo menjawab telpon sang ajudan. Katanya, Imran memanggil Edo ke rumah dinas untuk menyiapkan konsep pidatonya dalam rangka kunjungan Gebernur besok sore. Edo melirik jam dinding. Sudah jam sepuluh malam? Berarti pekerjaan ini akan berakhir paling tidak lewat tengah malam. Apalagi kalau sedang diburu oleh deadline seperti ini dan si boss berada di sekitarnya. Edo melenguh jengkel. Tapi segera ia menghibur diri bahwa siapa tahu ia bisa bertemu Tenri di sana.

Chapter Seventeen

Ruangan itu disebut Ruang Rapat Pimpinan. Terletak di lantai satu. Berukuran 8 kali 10 meter. Biasanya kalau ada acara dengan jumlah hadirin sekitar dua puluh hingga tiga puluh orang, cukup dilaksanakan di tempat ini. Sufri duduk di meja pimpinan, diapit oleh Sekda dan Kepala Bagian Keuangan. Enam belas orang kepala perangkat daerah yang baru dilantik beberapa saat lalu duduk teratur di kursi-kursi yang disediakan menghadap ke meja pimpinan. Di depan mereka masing-masing terdapat beberapa dokumen yang tergelar di atas meja. Seorang pegawai yang lebih muda mengoperasikan komputer, duduk di kursi paling ujung yang terdekat dengan Arfah, Kepala Bagian Keuangan.

Chapter Sixteen


Ruang pola kantor bupati itu berukuran cukup luas. Dua puluh lima kali empat puluh empat meter. Terletak di lantai dua. Bagian depannya berbentuk panggung dengan lantai yang ditinggikan sekitar empat puluh centimeter dari bagian lantai lainnya. Di bagian itu sebuah meja sepanjang  dua belas meter dipasang memanjang dengan kursi-kursi mewah berjok tebal dan bersandaran tinggi. Di belakang kursi, ada dua buah pintu yang ditempatkan masing-masing di sisi kiri dan kanan, sekilas tidak terlihat dari depan karena ditutup dengan cerdik oleh sekat yang tinggi. Kedua pintu itu terhubung langsung dengan ruang kerja Bupati dan ruang kerja wakil Bupati.

Chapter Fivteen


Sesi dengar pendapat itu digelar di salah satu ruangan di gedung kantor Majelis Ulama Nasional. Ruangan itu tidak terlalu besar, hanya berukuran enam kali delapan meter. Di dalam ruangan itu sudah ada sepuluh buah meja yang masing-masing dilengkapi dengan kursi, yang disusun secara melingkar membentuk huruf ‘o’. Tapi salah satu dari sepuluh meja itu diletakkan secara terpisah dan tampak seperti dikelilingi oleh meja-meja yang lain.

Chapter Fourteen


Rapat paripurna DPRD dengan agenda Penetapan RPJMD dan Penetapan Peraturan Daerah tentang hasil perampingan lembaga perangkat daerah digelar hari ini. Dengan demikian berakhirlah proses pembahasan yang sebelumnya telah berlangsung dalam waktu lebih kurang dua minggu. Selama kurun waktu itu pula, Sufri dan timnya berjibaku dengan anggota DPRD dalam rapat gabungan komisi. Anggota DPRD membentangkan alasan kesejahteraan pegawai yang tergerus akibat kebijakan itu. Tapi sufri membalas dengan meneriakkan berbagai teori pemerintahan, teori manajemen dan teori birokrasi modern, termasuk teori tentang Good governance untuk meyakinkan seluruh fraksi di DPRD bahwa perampingan lembaga perangkat daerah mutlak diperlukan.

Chapter Thirteen


Edo tersentak bangun, ia bermimpi mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Kamarnya gelap, hanya beberapa berkas cahaya dari lampu teras yang menerobos melalui ventilasi jendela dan pintu yang tidak tertutup. Ia mencoba menajamkan pendengaran, meskipun matanya masih terus mengerjap beradaptasi dengan kegelapan.

Sunday 8 January 2012

Chapter Twelve


Pagi ini Edo merasa sangat lesu. Tadi malam ia chatting dengan seorang temannya di Bandung hingga menjelang bedug subuh berbunyi. Kepalanya terasa berat. Pasti matanya merah. Ia tidak bisa membayangkan apa lagi yang akan diucapkan mulut usil Sangkala jika melihatnya dalam keadaan seperti itu. Sebelumnya, Kepala Bagiannya telah memberikan tugas untuk menyusun materi ceramah dalam sebuah seminar tentang penanganan sampah di dalam kota yang akan dibawakan Bupati besok pagi. Saat Edo protes waktunya terlalu mepet, atasannya itu cuma bilang, Ini rakyat, Do. Rakyat yang mengundang. Dan kita cuma pelayan. Edo mendengar kalimat itu sebagai sebuah sinisme, entah cuma perasaannya, atau kenyataannya memang demikian.

Chapter Eleven


Ardi melirik jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 lewat 10. Sekarang waktunya pulang. Mandi dan makan malam, lalu menulis. Rutinitas itu sudah dijalaninya selama hampir dua puluh tahun. Kadang menuliskan hasil penelitiannya untuk dipublikasikan di media cetak, atau menyusun materi kuliah di fakultas kedokteran pada berbagai universitas yang membutuhkan ilmunya.  Hanya bedanya, dulu Edo selalu ada di dekatnya. Namun sekarang, karena konsekuensi atas kedewasaan Edo, ia harus melakukannya sendiri.

Chapter Ten


Keempat laki-laki paruh baya itu tertunduk menatap kartu domino di tangan mereka masing-masing. Hawa pegunungan di pinggiran kota yang berhembus sepoi-sepoi tidak membuat mereka kedinginan, walau malam sudah semakin larut. Beberapa cangkir berisi ampas kopi masih berada di sisi masing-masing orang. Tiga buah piring berisi penganan tradisional yang sudah hapir tandas juga masih setia menemani.

Saturday 7 January 2012

Chapter Nine


Rapat Bamus DPRD berlangsung sengit. Wakil Bupati yang memimpin Tim penyusun kelembagaan menghadapi serangan bertubi-tubi dari anggota Bamus DPRD. Sebagian besar menolak rencana restrukturisasi kelembagaan itu dengan berbagai alasan. Tapi kebanyakan lebih karena pertimbangan kemanusiaan.

Friday 6 January 2012

Chapter Eight


Rumah type 54 yang sudah direnovasi itu berada di sebuah kompleks perumahan sederhana. Terletak tidak jauh dari kantor Bupati, hanya sekitar 1 km. Desain aslinya hanya terdiri atas dua kamar tidur. Ruang tamu dan ruang keluarga dipisahkan dengan sekat maya berupa perbedaan luas yang cukup kentara. Sesudah direnovasi, rumah berkembang menjadi 4 kamar tidur. dua kamar tidur tambahan ditempatkan di bagian belakang dan didesain sebagai kamar anak-anak. Dipisahkan dari dapur dengan sebuah taman kecil berukuran 1 kali 2 meter. 

Chapter Seven


Di atas meja rapat besar itu bertumpuk empat puluh dua folder plastik berwarna hitam. Masing-masing berisi Curriculum Vitae, surat keputusan pengangkatan pegawai, piagam penghargaan, sertifikat kecakapan dan lain sebagainya. Ketebalan setiap folder bervariasi antara satu setengah hingga tiga senti. Pada setiap sampulnya tertempel pas foto berukuran empat kali enam, dilengkapi dengan nama dan Nomor Induk Pegawai yang bersangkutan.

Thursday 5 January 2012

Chapter Six


Seharusnya hari ini, lima hari setelah pelantikan, Tenri sudah kembali ke Makassar. Tapi rencana itu mendadak ia batalkan tanpa alasan yang jelas. Alasannya pada ayah dan ibunya, ia masih mau melihat-lihat tempat wisata di daerah ini. Tempat wisata yang  mana? Ibunya sempat bertanya, tapi tidak dijawabnya, karena ia sendiri tidak tahu. Batas waktu satu minggu yang pernah dia targetkan kepada orang tuanya sebelum berangkat ke sini tiba-tiba dirasakan Tenri terlalu singkat. Melalui pesan pendek dan BBM, ia batalkan sejumlah janji ketemu dengan teman-temannya. Katanya masih ada urusan yang harus diselesaikan. Sampai kapan? Sampai semua urusan selesai. Teman-temannya mengamuk. Tapi ia tidak peduli.

Chapter Five


Di dalam ruang kantornya, di sebuah meja rapat yang berbentuk lingkaran, Sufri membuat coret-coretan di atas kertas, berisi rencana untuk menghindari terjadinya kebocoran anggaran pada tahun ini. ‘Penyakit’ yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan sudah berurat berakar di dalam tubuh birokrasi di daerah ini harus segera diakhiri. Mark up, gratifikasi, dan berbagai modus korupsi lainnya sudah menjadi budaya, dan itu harus dihentikan sekarang. Apalagi perintah Imran sangat jelas dan tegas: Tangani!

Tuesday 3 January 2012

Chapter Four


Sinar matahari sore tidak terlalu menyengat. Di Lapangan Dua, Sangkala menggempur pertahanan Edo dengan pukulan groundstrokenya yang keras mengarah ke sisi kiri dan kanan pertahanan Edo. Sebuah backhand menyilang yang menusuk di sisi jauh sebelah kiri membuat Edo tersudut, pengembaliannya melambung tinggi beberapa meter di depan net. Dengan bernafsu, Sangkala berlari menyambut bola itu lalu melakukan jump smash yang mengarah ke sudut kanan belakang lapangan. Sayang, bola itu mendarat beberapa senti di luar garis lapangan. Edo mengepalkan tinju seraya berteriak keras, Yess!!!. Point terakhir itu miliknya, dan untuk kesekian kalinya, Sangkala harus mengakui keunggulan Edo.

Monday 2 January 2012

Chapter Three


Ini hari pertamaku menjadi Bupati. Imran berjalan memasuki ruang kerjanya. Tas kerja berisi laptop yang dibawanya sendiri, diletakkan di atas kaca tebal yang melapisi meja kerja yang juga berukuran besar. Meja itu berwarna coklat tua, terbuat dari kayu yang massif. Ia memandang berkeliling. Tepat di belakang kursinya yang bersandaran tinggi, gambar presiden dan wakil presdien yang sedang tersenyum, terpasang dengan pigura mewah. Di antara keduanya, sedikit berada lebih tinggi, tergantung lambang negara Garuda Pancasila yang terbuat dari perak bersepuh emas menempel kokoh di dinding.

Sunday 1 January 2012

Chapter Two




Dr. Ardi menutup ceramahnya dengan sebuah kalimat yang berbunyi: Rekayasa Genetika adalah pesan dari kehidupan itu sendiri,

Chapter One


“Gimana, Ngka? Pembaca do’a sudah datang, belum?”
“Belumpi, Doy. Tapi sudah dijemputmi sama Naryo.” Jawab Sangkala, dengan logat Bugisnya yang kental. “Katanya sudah di jalan menuju ke sini.”

Prolog





Sore menjelang petang, di sebuah rumah di pinggiran sebelah timur kota, Ibong duduk di meja kerjanya.