Sunday 1 January 2012

Chapter One


“Gimana, Ngka? Pembaca do’a sudah datang, belum?”
“Belumpi, Doy. Tapi sudah dijemputmi sama Naryo.” Jawab Sangkala, dengan logat Bugisnya yang kental. “Katanya sudah di jalan menuju ke sini.”

“OK, nanti kalau beliau datang, langsung diarahkan ke sana, ya.” Kata Edo, sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang terletak paling kanan di deretan terdepan menghadap ke panggung. Persis sejajar dengan tempat duduk para tamu kehormatan.
“Siap, Boss.” Sangkala mengangkat tangan memberi hormat sambil membungkuk hormat a la orang Jepang. Edo meninju lengan temannya itu yang menghindar sambil tertawa. Edo Lalu mengajak Sangkala duduk di sebuah bangku di belakang panggung.
Edo mulai merasa tenang. Seluruh perlengkapan acara telah berada di tempat semestinya. Seluruh pengisi acara yang akan tampil juga sudah siap dan telah berada di belakang panggung. Sejak dua hari lalu, panggung dan halaman belakang itu telah ditata dan dipasangi tenda. Didekorasi dengan hiasan sederhana yang seluruhnya mengunakan bahan buatan lokal, tapi hasilnya tidak terlihat murahan. Hidangan makan malam di beberapa sudut tempat acara juga sudah tertata rapi di atas meja, sementara ditunggui oleh ibu-ibu Dharma Wanita dan PKK yang ditugaskan untuk itu. Pendek kata, tugas Edo sudah hampir rampung seratus persen .
Inilah acara terakhir dari seluruh rangkaian prosesi pelantikan Bupati dan Wakil Bupati hari ini, Malam Lepas Sambut. Melepas mantan Bupati dan mantan Wakil Bupati dan menyambut Bupati dan Wakil Bupati yang baru dilantik pagi tadi. Sebuah acara yang secara khusus diadakan untuk memberikan kesempatan kepada mantan Bupati dan wakilnya untuk berpamitan kepada seluruh hadirin yang dianggap merupakan representasi seluruh rakyat kabupaten. Moment ini juga menjadi tempat yang tepat bagi pejabat baru untuk memperkenalkan diri dan keluarganya kepada masyarakat.
Sekitar pukul 19.30, tamu dan undangan sudah mulai berdatangan memasuki halaman belakang Rumah Dinas Bupati yang disetting menjadi tempat penyelenggaraan acara itu. Pemilihan tempat dilakukan sendiri oleh Bupati terpilih karena di samping tersedia space yang cukup memadai, juga terdapat sebuah panggung berukuran besar yang memang sudah terpasang secara permanen di posisi yang strategis.
Beberapa orang pria dengan pakaian adat, tampil di panggung membunyikan alat-alat musik tradisional. Ada yang menabuh gendang, ada yang memukul gong, ada yang memetik kecapi dan menggesek biola, serta ada pula seorang vokalis yang menyenandungkan lagu berbahasa Bugis yang berisi pesan leluhur. Suara musik itu terdengar lembut, namun cukup lantang menyeruak di sela-sela pembicaraan para tamu. Beberapa orang petugas sound system bersiaga untuk memastikan agar pada saat acara ini berlangsung nantinya, tidak terjadi gangguan yang bisa merusak kekhidmatan acara.  
“Doy!”
“Apa?”
“Katanya, Boss baru kita punya anak gadis. Cakep lagi, Doy.” Ujar Sangkala. Sebenarnya Edo tidak suka kalau Sangkala memanggilnya Doy. Tapi Sangkala tidak peduli. Menurut sangkala, Doy adalah plesetan dari Boy, karena katanya Edo mirip Onky Alexander yang memerankan Si Boy dalam sebuah film. Makin dilarang, Sangkala justru makin tidak mau berhenti. Lama kelamaan Edo pun akhirnya tidak menghiraukannya.
“Kata siapa?” Tanya Edo.
“Kepala Bagian kita. Dia ‘kan sudah pernah ke rumah Boss baru.”
“Dia datang, gak ya?”
"Malam ini?"
"Iya."
"Ya, pastimi itu. Ini 'kan malam perkenalan Boss baru kita."
"Ok, let’s see."
"Tapi janganko macam-macam, Doy."
"Maksud kamu?"
"Jangan coba-coba kau dekati dia!"
"Lho, kamu ini gimana sih? Tadi kamu yang paling semangat ngasih tahu aku. Kenapa sekarang kamu yang larang-larang?"
"Kasianka sama  Putri dan Linda."
"Apa kaitan anak boss itu sama Putri dan Linda?"
"Mereka pasti akan patah hati. Soalnya selama ini mereka sangat mengidolakan kamu."
“Ah, itu ‘kan cuma pendapat kamu saja, Ngka. Lagian, mana mau sih anak boss itu sama aku.”
"Doy, kamu itu punya segala hal yang diidamkan cewek. Wajah ganteng, postur atletis. Masa depan cerah.” Jawab Sangkala. “Hanya perempuan sinting yang tahan jauh-jauh dari kamu.”
Edo terdiam, mencoba tidak memperhatikan perkataan Sangkala. Diliriknya jam tangannya sekilas. “Sekarang jam berapa, ya?”
Sangkala tidak tertipu. Ia melanjutkan. “Sejak kamu tugas di sini, Doy, topik pembicaraan gadis-gadis di kantor daerah cuma kamu. Tiada hari tanpa pembincaraan tentang Edo.”
“Sebentar, Ngka.” Edo berdiri, mencoba menghindar dari pembicaraan itu. Ia berjalan ke depan panggung mengamati keadaan di sekitar tempat acara. Sesudah menikmati hidangan makan malam, sebagian besar tamu langsung menempati kursi yang sudah disediakan panitia. Namun ada juga sebagian lainnya lagi yang masih berdiri dan berbincang ringan dengan rekan, kenalan atau kerabat yang baru bertemu. Suasana gembira terasa mencuat di berbagai sudut tempat itu.
Detik-detik menjelang dimulainya acara Malam Lepas Sambut itu membuat jantung Edo makin berdebar-debar. Inilah pertama kalinya ia dipercaya mengomandoi sebuah acara penting. Sejak bertugas 6 bulan lalu sebagai staf di Bagian Humas dan Protokol, ia memang sudah sering diberi kepercayaan untuk mengatur acara-acara penting yang akan dihadiri oleh Bupati dan Wakil Bupati. Tapi untuk langsung memimpin dari awal sampai akhir, ini yang pertama.
Pada awalnya, ia lebih sering kebagian tugas mendampingi Kepala bagiannya ke mana-mana. Tapi Mungkin karena selama ini ia berhasil, paling tidak di mata Kepala bagiannya,  melaksanakan tugas-tugas kecil yang dibebankan kepadanya. Mulai dari sekedar mengatur janji temu  untuk Bupati atau Wakil Bupati, menyiapkan acara-acara tertentu, sampai kepada menyusun naskah pidato untuk Bupati atau wakil Bupati. Akhirnya ia mendapatkan kepercayaan atasannya. Edo hanya perlu waktu selama dua bulan untuk membuat dirinya menjadi orang pertama yang selalu dicari jika mereka berada di bawah tekanan tingginya intensitas kegiatan di bagian itu.
Buktikan kemampuanmu, Edo. Bisiknya dalam hati, ketika menerima tugas itu sebulan yang lalu. Walau bukan penduduk asli daerah itu, Edo dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat. Beruntung juga ia berkenalan dengan Sangkala, seorang pegawai yang sudah lebih dahulu bertugas di Bagian itu dan bersama-sama dengannya mempersiapkan acara itu. Meski berpangkat lebih rendah, usia Sangkala sekitar empat tahun di atasnya. Orangnya ramah, cepat akrab dengan siapa saja. Punya sense of humor yang unik.
Telponnya berdering, di layar ia lihat nama Kepala Bagiannya berkedip,
“Ya, pak.” Jawabnya.
“Bagaimana, Do? Sudah siap?”
“Iya, Pak. Sudah siap.”
“Ok, kami segera menuju ke situ.”
Edo segera kembali ke tempat duduknya tadi untuk menemui Sangkala. Tapi Sangkala tidak berada di situ. Pandangannya beredar mencari. Dilihatnya pemuda itu berdiri di sudut kiri belakang panggung, sedang menggoda Linda yang akan menjalankan tugas sebagai MC.  
“Ngka, pembaca do’a?”
“Adami, itu di sana.” Katanya, sambil menunjuk seorang pria yang duduk ditempat yang tadi ditunjukkan oleh Edo. Edo mengangguk
Sangkala lalu memberi isyarat pada MC dengan jempol. Linda berdiri dan naik ke panggung. Pemusik-pemusik tradisional menghentikan kegiatannya dan duduk menunggu.  MC segera meraih mikrofon dan mengumumkan kepada semua hadirin bahwa  acara akan segera dimulai, dan hadirin diminta menempati tempat duduk yang telah disediakan. Suaranya terdengar renyah, membahana di senatero lokasi acara.
Sangkala kembali  ke tempat duduknya menemani Edo. Edo makin tegang, tapi Sangkala cuma cengar cengir  sambil menggodanya dengan cerita tentang anak gadis si Boss baru. Edo melotot, Sangkala tertawa.
Rombongan mantan pejabat dan pejabat baru berjalan memasuki lokasi acara, didampingi ketua DPRD, Muspida dan pejabat lainnya beserta keluarga masing-masing. Sangkala menyikut pinggangnya, ketika di antara rombongan itu, seorang gadis berjalan santai kemudian mengambil tempat duduk di deretan kedua.
“Itu dia, Doy.” Katanya. “Cantik, ‘kan?”
“Lumayan.”
“Sialan, kau. Segitu di bilang lumayan? Itu sih luar biasa, Do.”
Nu kitu, mah di Bandung banyak, Ngka. Pasaran banget, tau?” Sahut Edo ketus.
Sangkala melengos.
Acara sudah dimulai. Sekretaris Daerah sebagai Ketua Panitia menyampaikan laporan mengenai maksud dan tujuan acara. Juga dilaporkan mengenai besarnya biaya yang digelontorkan untuk menyelenggarakan event ini. Katanya dengan dana yang sangat minim, panitia berusaha membuat acara ini tetap terlihat pantas dan layak untuk sebuah penyambutan pejabat baru.
Acara selanjutnya, Mantan Bupati dan mantan Wakil Bupati mengucapkan kata-kata perpisahan, disertai permohonan maaf bilamana selama mereka bertugas lima tahun terakhir ini, ada hal-hal yang kurang berkenan di hati seluruh pegawai dan seluruh masyarakat. Mereka juga menyampaikan ucapan selamat kepada Bupati dan Wakil Bupati terpilih yang baru dilantik.
Tibalah giliran Bupati dan Wakil Bupati baru untuk tampil membawakan kata-kata perkenalannya. Kata Kepala Bagiannya kemarin, Gambaran nasib kita sebagai birokrat lima tahun mendatang, tergantung pada pidato pertama sang bupati. Kalau pidato pertamanya bagus, berarti masa depan kita juga akan bagus, tapi kalau tidak, selamatkan diri masing-masing.
Tidak bisa disangkal, pada banyak daerah yang telah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, birokrat selalu menjadi obyek penderita yang nasibnya terombang ambing oleh perubahan warna kepemimpinan di daerah. Jadi, jangan sampai melewatkan pidato pertama ini, Pesannya. Edo mulai menajamkan pendengaran dan mencoba menyimak. Mencoba mengabaikan Sangkala yang terus menerus bercerita tentang ayam peliharaannya yang katanya bisa tertawa.
Gadis muda anak boss baru itu ikut tampil ke panggung menemani kedua orang tuanya. Diam-diam Edo memuji, bahwa gadis itu memang sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai, berdiri di atas tungkai yang panjang terbalut celana jeans berwarna biru muda. Rambutnya lurus sebahu, dibelah di bagian tengah melingkari raut wajah oval yang berkulit kuning langsat. Edo mencoba menduga-duga, dari mana gadis itu mewarisi kecantikannya. Walau tergolong good looking, Bupati baru bernama Imran itu sama sekali tidak mewariskan apa-apa di wajah gadis itu. Demikian pula dengan ibunya, yang meskipun terlihat cantik dan anggun, tetap sama sekali tidak punya kemiripan dengan anaknya. Edo membuang pikirannya jauh-jauh, bahwa gadis itu adalah anak adopsi Imran.
Imran mengawali pidatonya dengan mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Kabupaten yang telah memberikan kepercayaan kepadanya dan kepada Sufri sebagai Bupati dan Wakil Bupati untuk lima tahun mendatang. Sebenarnya, katanya, ia tidak menduga akan memenangkan Pemilihan ini. Di samping karena ia belum piawai berpolitik, juga  karena menjadi bupati bukanlah cita-citanya.

Saat kampanye ia biasa-biasa saja. Ia jalani proses dan tahapan pemilu dengan santai, bebas dari tekanan dan depresi. Ia memang menggelontorkan sejumlah dana untuk membiayai pencalonannya, tapi ia tidak sampai menghalalkan segala macam cara untuk menang. Ia beruntung didampingi oleh Sufri bersama tim sukses yang jujur dan berkomitmen. Ia tidak memasang target  muluk untuk menang. Kalau menang berarti mereka memperoleh amanah, kalau tidak menang berarti mereka tidak dipercaya. That simple.
Ia dilahirkan di daerah ini lima puluh lima tahun lalu. Anak ketujuh dari delapan bersaudara. Ia tumbuh dan besar di sebuah desa yang terletak di pesisir danau. Ketika menginjak usia dua belas tahun, orang tuanya memboyong mereka pindah ke Makassar untuk mengembangkan usahanya. Enam orang kakaknya melanjutkan pendidikan hingga mendapat gelar sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri. Sementara ia dan adik bungsunya lebih beruntung, karena seiring dengan perkembangan dan kemajuan perusahaan orang tuanya, mereka bisa melanjutkan pendidikan di Australia.
Selepas menuntut ilmu, ia kembali dan bekerja di perusahaan orang tuanya. Diawali dengan tugas kecil yang tidak berarti, lebih tepat disebut buruh pabrik, lalu menjadi mandor, kemudian menjadi manajer, sampai akhirnya ia bisa menduduki posisi yang lebih tinggi. Meski ayahnya pemilik perusahaan, dan saudara-saudaranya yang lain menduduki posisi strategis dalam perusahaan itu, ia tidak serta merta mendapatkan jabatan istimewa. Ia harus merangkak dari bawah. Konon, kata ayahnya, seseorang bisa menjadi pemimpin yang baik, bila ia pernah menjadi bawahan yang baik. Saat itu, pendapat sang ayah ia tentang habis-habisan.
Setelah bergelut dalam dunia bisnis selama hampir tiga dekade, dengan pengalaman kerja pada berbagai lapisan strata, ia berhasil mendirikan dan memajukan perusahaannya sendiri. Pendapat orang tuanya terbukti benar dan diakuinya menjadi salah satu bekalnya dalam bekerja, sehingga ia meraih kemajuan yang luar biasa. Laba perusahaan melimpah, asset perusahaan berkembang, jaringan bisnisnya juga menggurita. Kekayaannya sekarang sudah cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya bahkan hingga tujuh puluh turunan.
Keputusannya untuk terjun dan berkompetisi di dunia politik (ia tidak suka menggunakan kata ‘bertarung’, karena konotasinya terlalu buruk) dalam pemilihan kepala daerah, didorong oleh keinginan untuk mengabdikan diri di tanah tumpah darahnya. Ia yakin, dengan jabatan sebagai Bupati, banyak hal baik yang bisa ia lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerahnya.
Selama ini ia memendam keprihatinan yang mendalam atas pembangunan yang dinilainya stagnan. Jumlah penduduk miskin masih terlalu besar untuk sebuah daerah dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Jumlah pengangguran masih terlalu besar untuk sebuah daerah yang diurusi oleh begitu banyak aparat. Kepada para pegawai ia bertanya lantang, Apa kerja kalian selama ini?
Baginya, sangat aneh jika masyarakat daerah ini tetap tertinggal. Dana yang tercantum dalam APBD, meskipun jumlahnya memang tidak terlalu besar, tetapi seharusnya cukup untuk melakukan perbaikan dan pembenahan infrastruktur guna mengentaskan ketertinggalan mereka.
Banyaknya kasus kekerasan di berbagai daerah yang melibatkan masyarakat juga mendapatkan perhatian sang Bupati baru. Konon, katanya, emosi masyarakat yang terlalu cepat meletup, gampang terprovokasi. Kecenderungan mengadu nasib dan berusaha mendapatkan uang dengan jalan pintas, sesungguhnya merupakan reaksi dari kejenuhan dan rasa frustrasi menunggu perbaikan taraf hidup yang tak kunjung datang.
Masyarakat kita seharusnya sudah lama bisa menikmati kekayaan bangsanya sendiri. Rakyat kita seharusnya sudah lama bisa memanfaatkan kekayaan tanah airnya sendiri. Namun karena jalan kesejahteraan mereka terpotong oleh tangan-tangan kotor birokrat korup dan politisi kotor, akhirnya mereka lebih banyak menjadi penonton parade kekayaan orang-orang yang punya akses ke sumber-sumber pendapatan negara.
Itulah sebabnya dalam lima tahun kepemimpinannya ke depan, ia bertekad untuk melakukan perubahan sistematis. Ia akan memangkas struktur dan rantai birokrasi pada semua level untuk mengoptimalkan kinerjanya dan menghindari high cost economy. Ia akan membangun pola rekruitmen pejabat yang transparan agar iklim kompetisi yang sehat dapat tercipta. Ia akan membenahi infrastruktur jalan dan irigasi. Hal itu merujuk pada luasnya lahan pertanian yang dimiliki daerah ini. Dalam pandangannya, jika sektor pertanian bisa diberdayakan, maka pergerakan ekonomi akan lebih cepat karena sebagian besar penduduk daerah ini hidup dari sektor itu. daya beli yang tinggi, produk yang memiliki daya saing dan seterusnya.
Edo ingat pesan Kepala Bagiannya, sepertinya, itulah inti kesan pertama sang Bupati baru yang akan berdampak pada masa depan mereka sebagai birokrat. Di ujung pidatonya, Imran meminta kepada semua orang untuk mendukungnya jika ia melakukan sesuatu yang benar, dan menegurnya jika melakukan sesuatu yang tidak benar. Bersama Wakil Bupati, ia akan menjalankan amanah yang dipercayakan rakyat kepadanya dengan sungguh-sungguh. 54% suara rakyat yang ia kantongi, akan dikembalikan 100% dalam bentuk karya yang nyata.
Menjelang akhir pidatonya, ia perkenalkan istri dan anaknya. Istrinya, Nurani adalah adik tingkatnya di universitas. Mereka berkenalan saat duduk berdekatan dalam kuliah Human Resources. Nurani adalah wanita karier yang juga memiliki kesibukan sebagai direktur sebuah anak perusahaan milik keluarga Imran. Sementara itu anak tunggalnya yang bernama Tenri, sudah tamat dari sebuah SMA Swasta di Makassar dan sedang bersiap kuliah di almamaternya dua puluh lima tahun lalu, Australia’s National University (ANU) di Canberra, salah satu universitas dengan jurusan ekonomi terbaik di dunia.
Ada rasa kecewa yang terbersit di hati Edo mendengar hal itu. Ia bahkan sudah merasa kehilangan sebelum gadis itu pergi. Sejak berlangungnya acara itu, dan selama Imran menyampaikan pidato, perhatiannya terus menerus tertuju pada sang gadis. Ini aneh, untuk pertama kalinya, ia merasa jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi benarkah ini adalah pandangan pertama? Rasa-rasanya ia pernah melihat gadis itu sebelumnya. Tapi entah di mana? Ia bertekad untuk mengenal gadis itu sebelum keberangkatannya ke Australia. Bagaimana caranya? Ia bingung. Nanti akan ia pikirkan. 
Usai berpidato, Imran memberikan kesempatan kepada Wakil Bupati untuk berbicara. Kalau Edo tidak salah hitung, wakil Bupati itu hanya bicara selama dua setengah menit. Inti pembicaraannya, tidak ada yang perlu saya sampaikan mengenai diri saya. Anda semua sudah mengenal saya, jauh sebelum malam ini. Jadi, mari kita bekerja.
Kelima orang itu turun dari panggung diiringi tepuk tangan hadirin. Edo mengikuti gadis anak tunggal bupati itu dengan pandangan mata tak berkedip. Ia benar-benar mulai suka pada gadis itu. sejumlah rencana berlompatan di dalam kepalanya. Pertama, dapatkan fotonya. Kedua, lakukan pendekatan. Ketiga, manfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Sejak bertugas di daerah ini enam bulan lalu, sudah cukup banyak wartawan dan juru foto yang dikenalnya. Tak sulit baginya untuk mendapatkan foto yang diinginkannya. Untuk urusan kehumasan, begitu alasannya nanti. Ia tersenyum membayangkan muslihat yang sempurna itu. Pendekatan? Itu susah. Bagaimana ia bisa menembus tembok rumah dinas Bupati?
“Wajahnya pasaran, ya? Matamu kok melotot, Doy.” Sangkala mencolek pinggangnya. Lamunan Edo buyar. Ia mendelik melihat Sangkala tertawa.
“Aku tidak melotot karena itu, Ngka. Aku cuma merasa wajah itu tidak asing. Seperti pernah melihatnya di suatu waktu, tapi entah di mana.”





2.583 Words

No comments:

Post a Comment