Edo tersentak bangun, ia bermimpi mendengar
seseorang memanggil-manggil namanya. Kamarnya gelap, hanya beberapa berkas
cahaya dari lampu teras yang menerobos melalui ventilasi jendela dan pintu yang
tidak tertutup. Ia mencoba menajamkan pendengaran, meskipun matanya masih terus
mengerjap beradaptasi dengan kegelapan.
“Dooyy!” seseorang kembali memanggil
namanya. Itu suara Sangkala. Diiringi gedoran yang lebih keras di daun pintu. Ternyata
ia tidak bermimpi. Sangkala benar-benar sedang memanggilnya. Edo bergegas
bangun, menyalakan lampu kamar dan berjalan terhuyung menuju ke arah pintu.
Begitu pintu terbuka, Sangkala
menyerbu masuk. Aroma alkohol segera menyebar ke dalam kamar itu. Ia rebut
gagang pintu dari Edo lalu menutup dan menguncinya sekalian. Edo mundur,
memandangi Sangkala dengan mata melotot dan dengan pandangan tidak percaya.
“Kamu mabuk, ya?” tanya Edo, sambil
meneliti wajah Sangkala.
“Mabuk? Siapa yang mabuk? Aku?”
“Iya,”
“Tidak. Aku tidak mabuk.”
“Kalau tidak mabuk, ngapain kamu
kesini malam-malam begini. Pake teriak-teriak lagi.” Edo melirik jam dinding
yang menunjukkan angka 1 lewat.
“Doy, aku hampir dikeroyok lalu
dikejar.” Jawab Sangkala sambil mencoba mengintip keluar lewat celah yang ada
di jendela.
“Sama siapa?”
“Anak-anak pasar.”
“Kok bisa? Persoalan apa?”
“Aku mau beli obat untuk ayahku, Doy.
Asmanya tiba-tiba kambuh.”
“Terus?”
“Saat aku lagi mengetuk pintu ruko
penjual obat, ada yang datang sama aku, ia minta uang. Katanya minumannya habis.
mau beli lagi, tapi ia sudah tidak punya uang. Aku bilang sama dia, aku juga tidak
punya uang. Uang yang aku pegang itu ‘kan buat beli obat ayahku. Eh, dia malah
marah-marah lalu memanggil teman-temannya. Karena jumlah mereka banyak, makanya
aku langsung kabur. Tapi ada yang nimpuk aku pakai botol. Untung cuma kena
helm. Tapi minumannya tumpah di bajuku.”
Edo tertawa. “Oh... Tadinya aku kira
kau yang mabuk.”
Sangkala mencium pakaiannya, “ah,
sialan. Tubuhku memang bau alkohol. Semua orang pasti mengira aku yang habis
minum.”
“Ya udah, kamu ganti baju dulu. Ntar
masuk angin.” Ujar Edo, seraya mengangsurkan selembar kaos yang diambil dari
lemari pakaiannya. “Terus, apa rencanamu?”
“Tolong aku, Doy. Aku harus dapat
obat untuk ayah malam ini. Kalau tidak, ayahku bisa kenapa-napa.”
“Ok, tunggu sebentar. Aku ganti baju
dulu.”
“Heh, kamu mau kemana?”
“Mau ke pasar.”
“Kamu mau bunuh diri, ya?”
“Ya nggaklah. Aku masih mau hidup
loh, Ngka. Tapi kita harus dapat obatnya. ‘Kan ayahmu butuh obat itu malam ini?
“Iya.”
“So... hayu atuh, kita kesana.”
“Doy, mereka pasti masih bergerombol
di sana. Bahaya, Doy.
“Kalau kita nggak dapat obat ayahmu gimana?
Lagipula, kamu ke sini emang mau ngapain? Mau nginap? Lari dari tanggung jawab?”
Sangkala terdiam. “Kamu nggak takut?”
“Ya takut juga sih. Tapi ini ‘kan demi
ayahmu, Ngka.”
Edo menyegarkan diri di kamar mandi.
Lalu berganti pakaian dengan sepasang training’s pack. Ia juga mengenakan
sepatu kets. Siap tempur.
Sangkala kembali mengintip ke luar
lewat jendela. Khawatir anak-anak pasar itu mengikutinya sampai di sini. Tapi Ia
tidak melihat ada tanda-tanda dari keberadaan mereka.
“Mereka ada berapa orang, Ngka?”
“Tadi itu ada delapan, kalau tidak
salah.”
Edo mengambil dua buah benda di salah
satu sudut kamarnya. Benda itu terbuat dari kayu yang massif berbentuk pipa dengan
diameter sekitar tiga sampai empat centimeter dan panjang sekitar enam puluh
centimeter. Sekitar lima belas centi dari salah satu ujungnya, terdapat sebuah
gagang yang berdiri membentuk sudut siku-siku. Benda itu diangsurkan kepada Sangkala.
“Pegang ini. Siapa tahu kita butuh nanti.” Sangkala menerima benda itu dengan
pandangan heran. Ia pandangi wajah Edo dan benda itu silih berganti.
“Ini apa, Doy? Pentungan?”
“Bukan, itu Tonfa.”
Sangkala pernah melihat benda seperti
itu dipakai pemeran di film-film kung fu. “Kamu bisa pakai ini?”
“Tidak,” jawab Edo.
Sangkala heran. Ia pegang kedua benda
itu dengan erat seraya mengagumi kehalusan dan kemassifan kayunya.
“Kamu bisa pakai ini nggak?” Tanya
sangkala lagi.
Edo tidak menjawab. Ia tetap sibuk memamdamkan
lampu, AC dan komputernya.
“Doy...”
“Apa?”
“Ini buat apa?”
“Buat jaga-jaga nanti di pasar, kamu bisa
make itu, ‘kan?”
“Nggak bisa, kamu?”
“Sama. Aku juga nggak bisa.”
“Lalu, ngapain kita bawa-bawa begini
kalau nggak bisa dipakai.”
“Ya, paling tidak mereka akan keder
kalau melihat kamu pegang begituan. Sudah ah, jangan banyak bicara.”
Sangkala masih tetap tidak mengerti.
Tapi akhirnya ia menurut ketika Edo menariknya keluar dari rumah.
“Kita pakai motor kamu aja, ya?” Kata
Edo, pada Sangkala. “Biar kalau ada apa-apa, cuma motor kamu yang hancur.”
Seperti dihipnotis, Sangkala hanya
mengangguk setuju.
Mereka lalu berangkat berboncengan
menuju ke pasar. Tiba di jejeran ruko di mana toko obat itu berada, Edo
memarkir sepeda motornya.
“Biarkan mesinnya tetap menyala.”
Pesan Edo. Sangkala turun dan memandang berkeliling mencari pengeroyoknya tadi.
Edo meraih kedua batang tonfa dari tangan Sangkala lalu berkata, “sekarang beli
obat yang kau butuhkan. Aku akan mengawasi di sini.”
Sangkala menggedor pintu toko obat. Cukup
lama ia menggedor sebelum akhinya pemilik toko obat membuka pintu kecil di
bagian atas daun pintu yang bisa berfungsi sebagai jendela. Sangkala memesan
obat asma ayahnya, dan ketika sedang asyik bertransaksi itulah, lima orang
pemuda yang tadi mengeroyoknya muncul dari kegelapan mendekati mereka.
Edo yang pertama kali melihat mereka.
“Ngka?”
“Tunggu.” Kata Sangkala.
“Ngka?
“Ada apa sih, Doy?” tanyanya, seraya
menoleh dan mendapati lima orang pengeroyoknya tadi sudah berada tidak jauh
dari Edo. Cepat-cepat ia menyelesaikan jual belinya. Ia berlari ke arah Edo.
Pemilik toko sudah menutup kembali pintu tokonya.
“Cepat ke motor, Ngka.” Seru Edo.
Sangkala menurut. Tapi lima orang pemuda itu segera mengepung mereka.
“Kami cuma mau beli obat.” Kata Edo.
“Biarkan kami pergi dan tidak ada yang akan terluka.”
Kelima pemuda itu tidak peduli. Kedua
tangan Edo memegang gagang tonfanya erat-erat. Ia bergerak waspada menjauhi Sangkala
dan sepeda motornya ke tempat yang lebih lapang. Lima orang pemuda itu mengikuti
dan berdiri mengelilingi Edo, semakin lama semakin merapat. Seorang di
antaranya menyerang Edo dengan tangan kosong, tapi dengan lincah Edo
menggerakkan lengannya yang terlindung tonfa, membentuk perisai yang melindungi
dirinya dari serangan itu. Penyerangnya itu mundur kembali. Sangkala cuma
memandangi Edo dari atas sadel sepeda motornya. Tidak mampu berbuat apa-apa.
Hanya memandangi Edo yang sedang bersiaga menunggu serangan.
Seseorang di belakang Edo kembali
melakukan serangan. Ia mengayunkan tangan terkepal ke arah kepala Edo. Sangkala
berteriak mengingatkan, Tapi rupanya Edo bisa merasakan gerakan itu. ia merunduk
sebatas pinggang, lalu sebelah tangannya menyodokkan ujung tonfa melalui
ketiaknya yang mendarat dengan tepat di uluhati penyerangnya. Pemuda itu
mengeluh pendek dan mengaduh kesakitan lalu jatuh terkapar di tanah.
Empat orang lainnya sama-sama terkejut.
Mereka menahan langkah dan berhenti mendekati Edo. Seseorang di antaranya
mengeluarkan senjata tajam berupa badik. Panjangnya sekitar sejengkal orang
dewasa. Benda itu diacung-acungkan pada Edo sambil menebar pandangan bernada
ancaman.
Pemuda itu menebaskan badiknya, tapi
dengan sebuah gerakan menangkis, ujung tonfa Edo bergerak melingkar di atas
kepala dan menghantam pergelangan tangan pemuda itu. Badiknya terlempar dan Ia
mengaduh kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya yang memar membiru.
“Cukup!” Teriak Edo kepada para
pemuda itu. “Ngka, ayo kita pergi dari sini.” Katanya, sambil berjalan mundur perlahan-lahan
dengan sikap waspada menuju ke tempat Sangkala. Keempat pemuda yang masih
berdiri itu terlihat penasaran. Tapi tidak berani bertindak gegabah.
Melihat pemuda itu tidak bereaksi
saat ia mendekat ke sepeda motor, Akhirnya Edo naik ke boncengan sangkala.
Seperti kuda tunggangan yang dipecut, Sangkala melarikan motornya diikuti
pandangan mata empat pemuda yang setengah mabuk dan marah itu.
Di rumah Sangkala, ibu dan
adik-adiknya menanti dengan cemas. Mestinya, jarak antara rumah dan pasar
tempat membeli obat bisa ditempuh dalam waktu lima belas menit. Tapi Sangkala pergi
hingga lebih dari satu jam. Hand phonenya tidak dibawa, sehingga ibu dan
adik-adiknya tidak tahu mau menghubungi siapa. Mereka mengira telah terjadi
apa-apa pada Sangkala.
Ayah Sangkala memang sudah lama
mengidap penyakit asma. Tapi malam ini penyakit itu mendadak kambuh. Konon
dipicu oleh debu dari rak buku yang dibongkar oleh salah seorang adik perempuan
Sangkala. Sementara persiapan obatnya tidak pernah terpantau karena selama ini
beliau baik-baik saja. Tahu-tahu, saat serangan itu datang, obatnya sudah habis
sama sekali.
Sangkala tiba dan langsung
menyerahkan obat itu kepada ibunya. Obat yang dibeli Sangkala berhasil
meredakan penyakit orang tua itu. Seluruh keluarga Sangkala kembali merasa
lega. Sangkala menceritakan pada keluarganya mengenai pertolongan Edo malam
ini. Berganti-ganti ayah dan ibu Sangkala mengucapkan terima kasih kepada Edo.
Jam sudah menunjukkan 2.30 pagi. Edo
mohon diri. Sangkala mengantar Edo pulang ke rumah kontrakannya. Ketika Edo
bermaksud memasuki rumahnya, Sangkala meraih tangan Edo. Ia menjabat tangan Edo
dengan sangat erat sambil mengucapkan terima kasih.
“Ah, biasa aja, Ngka. That’s what a friend for.”
“Nggak, Doy. Mulai malam ini, kamu
adalah saudaraku dunia dan akhirat.” Katanya serius. Baru kali itu Edo melihat
Sangkala begitu bersungguh-sungguh.
Edo tersenyum, ia balas menggenggam
erat tangan Sangkala dan berjanji akan menjadi saudara bagi Sangkala seumur
hidupnya. Konon, orang-orang di daerah ini sering mempersaudarakan diri karena
merasa senasib dan sepenanggungan. Sehingga jika salah seorang di antara mereka
terpaksa bertaruh nyawa, maka orang yang sudah diangkat sebagai saudara
biasanya tidak akan segan-segan melakukan hal yang sama. Edo tidak begitu paham dengan filosofi
hubungan itu. Tapi ia mencoba meresapinya lewat hubungan yang ia bangun dengan
Sangkala selama ini. Just do the best.
Katanya.
No comments:
Post a Comment