Monday 16 January 2012

Chapter Thirteen


Edo tersentak bangun, ia bermimpi mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Kamarnya gelap, hanya beberapa berkas cahaya dari lampu teras yang menerobos melalui ventilasi jendela dan pintu yang tidak tertutup. Ia mencoba menajamkan pendengaran, meskipun matanya masih terus mengerjap beradaptasi dengan kegelapan.

“Dooyy!” seseorang kembali memanggil namanya. Itu suara Sangkala. Diiringi gedoran yang lebih keras di daun pintu. Ternyata ia tidak bermimpi. Sangkala benar-benar sedang memanggilnya. Edo bergegas bangun, menyalakan lampu kamar dan berjalan terhuyung menuju ke arah pintu.
Begitu pintu terbuka, Sangkala menyerbu masuk. Aroma alkohol segera menyebar ke dalam kamar itu. Ia rebut gagang pintu dari Edo lalu menutup dan menguncinya sekalian. Edo mundur, memandangi Sangkala dengan mata melotot dan dengan pandangan tidak percaya.
“Kamu mabuk, ya?” tanya Edo, sambil meneliti wajah Sangkala.
“Mabuk? Siapa yang mabuk? Aku?”
“Iya,”
“Tidak. Aku tidak mabuk.”
“Kalau tidak mabuk, ngapain kamu kesini malam-malam begini. Pake teriak-teriak lagi.” Edo melirik jam dinding yang menunjukkan angka 1 lewat.
“Doy, aku hampir dikeroyok lalu dikejar.” Jawab Sangkala sambil mencoba mengintip keluar lewat celah yang ada di jendela.
“Sama siapa?”
“Anak-anak pasar.”
“Kok bisa? Persoalan apa?”
“Aku mau beli obat untuk ayahku, Doy. Asmanya tiba-tiba kambuh.”
“Terus?”
“Saat aku lagi mengetuk pintu ruko penjual obat, ada yang datang sama aku, ia minta uang. Katanya minumannya habis. mau beli lagi, tapi ia sudah tidak punya uang. Aku bilang sama dia, aku juga tidak punya uang. Uang yang aku pegang itu ‘kan buat beli obat ayahku. Eh, dia malah marah-marah lalu memanggil teman-temannya. Karena jumlah mereka banyak, makanya aku langsung kabur. Tapi ada yang nimpuk aku pakai botol. Untung cuma kena helm. Tapi minumannya tumpah di bajuku.”
Edo tertawa. “Oh... Tadinya aku kira kau yang mabuk.”
Sangkala mencium pakaiannya, “ah, sialan. Tubuhku memang bau alkohol. Semua orang pasti mengira aku yang habis minum.”
“Ya udah, kamu ganti baju dulu. Ntar masuk angin.” Ujar Edo, seraya mengangsurkan selembar kaos yang diambil dari lemari pakaiannya. “Terus, apa rencanamu?”
“Tolong aku, Doy. Aku harus dapat obat untuk ayah malam ini. Kalau tidak, ayahku bisa kenapa-napa.”
“Ok, tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu.”
“Heh, kamu mau kemana?”
“Mau ke pasar.”
“Kamu mau bunuh diri, ya?”
“Ya nggaklah. Aku masih mau hidup loh, Ngka. Tapi kita harus dapat obatnya. ‘Kan ayahmu butuh obat itu malam ini?
“Iya.”
“So... hayu atuh, kita kesana.”
“Doy, mereka pasti masih bergerombol di sana. Bahaya, Doy.
“Kalau kita nggak dapat obat ayahmu gimana? Lagipula, kamu ke sini emang mau ngapain? Mau nginap? Lari dari tanggung jawab?”
Sangkala terdiam. “Kamu nggak takut?”
“Ya takut juga sih. Tapi ini ‘kan demi ayahmu, Ngka.”
Edo menyegarkan diri di kamar mandi. Lalu berganti pakaian dengan sepasang training’s pack. Ia juga mengenakan sepatu kets. Siap tempur.
Sangkala kembali mengintip ke luar lewat jendela. Khawatir anak-anak pasar itu mengikutinya sampai di sini. Tapi Ia tidak melihat ada tanda-tanda dari keberadaan mereka.
“Mereka ada berapa orang, Ngka?”
“Tadi itu ada delapan, kalau tidak salah.”
Edo mengambil dua buah benda di salah satu sudut kamarnya. Benda itu terbuat dari kayu yang massif berbentuk pipa dengan diameter sekitar tiga sampai empat centimeter dan panjang sekitar enam puluh centimeter. Sekitar lima belas centi dari salah satu ujungnya, terdapat sebuah gagang yang berdiri membentuk sudut siku-siku. Benda itu diangsurkan kepada Sangkala. “Pegang ini. Siapa tahu kita butuh nanti.” Sangkala menerima benda itu dengan pandangan heran. Ia pandangi wajah Edo dan benda itu silih berganti.
“Ini apa, Doy? Pentungan?”
“Bukan, itu Tonfa.”
Sangkala pernah melihat benda seperti itu dipakai pemeran di film-film kung fu. “Kamu bisa pakai ini?”
“Tidak,” jawab Edo.
Sangkala heran. Ia pegang kedua benda itu dengan erat seraya mengagumi kehalusan dan kemassifan kayunya.
“Kamu bisa pakai ini nggak?” Tanya sangkala lagi.
Edo tidak menjawab. Ia tetap sibuk memamdamkan lampu, AC dan komputernya.
“Doy...”
“Apa?”
“Ini buat apa?”
“Buat jaga-jaga nanti di pasar, kamu bisa make itu, ‘kan?”
“Nggak bisa, kamu?”
“Sama. Aku juga nggak bisa.”
“Lalu, ngapain kita bawa-bawa begini kalau nggak bisa dipakai.”
“Ya, paling tidak mereka akan keder kalau melihat kamu pegang begituan. Sudah ah, jangan banyak bicara.”
Sangkala masih tetap tidak mengerti. Tapi akhirnya ia menurut ketika Edo menariknya keluar dari rumah.
“Kita pakai motor kamu aja, ya?” Kata Edo, pada Sangkala. “Biar kalau ada apa-apa, cuma motor kamu yang hancur.”
Seperti dihipnotis, Sangkala hanya mengangguk setuju.
Mereka lalu berangkat berboncengan menuju ke pasar. Tiba di jejeran ruko di mana toko obat itu berada, Edo memarkir sepeda motornya.
“Biarkan mesinnya tetap menyala.” Pesan Edo. Sangkala turun dan memandang berkeliling mencari pengeroyoknya tadi. Edo meraih kedua batang tonfa dari tangan Sangkala lalu berkata, “sekarang beli obat yang kau butuhkan. Aku akan mengawasi di sini.”
Sangkala menggedor pintu toko obat. Cukup lama ia menggedor sebelum akhinya pemilik toko obat membuka pintu kecil di bagian atas daun pintu yang bisa berfungsi sebagai jendela. Sangkala memesan obat asma ayahnya, dan ketika sedang asyik bertransaksi itulah, lima orang pemuda yang tadi mengeroyoknya muncul dari kegelapan mendekati mereka.
Edo yang pertama kali melihat mereka. “Ngka?”
“Tunggu.” Kata Sangkala.
“Ngka?
“Ada apa sih, Doy?” tanyanya, seraya menoleh dan mendapati lima orang pengeroyoknya tadi sudah berada tidak jauh dari Edo. Cepat-cepat ia menyelesaikan jual belinya. Ia berlari ke arah Edo. Pemilik toko sudah menutup kembali pintu tokonya.
“Cepat ke motor, Ngka.” Seru Edo. Sangkala menurut. Tapi lima orang pemuda itu segera mengepung mereka.
“Kami cuma mau beli obat.” Kata Edo. “Biarkan kami pergi dan tidak ada yang akan terluka.”
Kelima pemuda itu tidak peduli. Kedua tangan Edo memegang gagang tonfanya erat-erat. Ia bergerak waspada menjauhi Sangkala dan sepeda motornya ke tempat yang lebih lapang. Lima orang pemuda itu mengikuti dan berdiri mengelilingi Edo, semakin lama semakin merapat. Seorang di antaranya menyerang Edo dengan tangan kosong, tapi dengan lincah Edo menggerakkan lengannya yang terlindung tonfa, membentuk perisai yang melindungi dirinya dari serangan itu. Penyerangnya itu mundur kembali. Sangkala cuma memandangi Edo dari atas sadel sepeda motornya. Tidak mampu berbuat apa-apa. Hanya memandangi Edo yang sedang bersiaga menunggu serangan.
Seseorang di belakang Edo kembali melakukan serangan. Ia mengayunkan tangan terkepal ke arah kepala Edo. Sangkala berteriak mengingatkan, Tapi rupanya Edo bisa merasakan gerakan itu. ia merunduk sebatas pinggang, lalu sebelah tangannya menyodokkan ujung tonfa melalui ketiaknya yang mendarat dengan tepat di uluhati penyerangnya. Pemuda itu mengeluh pendek dan mengaduh kesakitan lalu jatuh terkapar di tanah.
Empat orang lainnya sama-sama terkejut. Mereka menahan langkah dan berhenti mendekati Edo. Seseorang di antaranya mengeluarkan senjata tajam berupa badik. Panjangnya sekitar sejengkal orang dewasa. Benda itu diacung-acungkan pada Edo sambil menebar pandangan bernada ancaman.
Pemuda itu menebaskan badiknya, tapi dengan sebuah gerakan menangkis, ujung tonfa Edo bergerak melingkar di atas kepala dan menghantam pergelangan tangan pemuda itu. Badiknya terlempar dan Ia mengaduh kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya yang memar membiru.
“Cukup!” Teriak Edo kepada para pemuda itu. “Ngka, ayo kita pergi dari sini.” Katanya, sambil berjalan mundur perlahan-lahan dengan sikap waspada menuju ke tempat Sangkala. Keempat pemuda yang masih berdiri itu terlihat penasaran. Tapi tidak berani bertindak gegabah.
Melihat pemuda itu tidak bereaksi saat ia mendekat ke sepeda motor, Akhirnya Edo naik ke boncengan sangkala. Seperti kuda tunggangan yang dipecut, Sangkala melarikan motornya diikuti pandangan mata empat pemuda yang setengah mabuk dan marah itu.
Di rumah Sangkala, ibu dan adik-adiknya menanti dengan cemas. Mestinya, jarak antara rumah dan pasar tempat membeli obat bisa ditempuh dalam waktu lima belas menit. Tapi Sangkala pergi hingga lebih dari satu jam. Hand phonenya tidak dibawa, sehingga ibu dan adik-adiknya tidak tahu mau menghubungi siapa. Mereka mengira telah terjadi apa-apa pada Sangkala.
Ayah Sangkala memang sudah lama mengidap penyakit asma. Tapi malam ini penyakit itu mendadak kambuh. Konon dipicu oleh debu dari rak buku yang dibongkar oleh salah seorang adik perempuan Sangkala. Sementara persiapan obatnya tidak pernah terpantau karena selama ini beliau baik-baik saja. Tahu-tahu, saat serangan itu datang, obatnya sudah habis sama sekali.
Sangkala tiba dan langsung menyerahkan obat itu kepada ibunya. Obat yang dibeli Sangkala berhasil meredakan penyakit orang tua itu. Seluruh keluarga Sangkala kembali merasa lega. Sangkala menceritakan pada keluarganya mengenai pertolongan Edo malam ini. Berganti-ganti ayah dan ibu Sangkala mengucapkan terima kasih kepada Edo.
Jam sudah menunjukkan 2.30 pagi. Edo mohon diri. Sangkala mengantar Edo pulang ke rumah kontrakannya. Ketika Edo bermaksud memasuki rumahnya, Sangkala meraih tangan Edo. Ia menjabat tangan Edo dengan sangat erat sambil mengucapkan terima kasih.
“Ah, biasa aja, Ngka. That’s what a friend for.”
“Nggak, Doy. Mulai malam ini, kamu adalah saudaraku dunia dan akhirat.” Katanya serius. Baru kali itu Edo melihat Sangkala begitu bersungguh-sungguh.
Edo tersenyum, ia balas menggenggam erat tangan Sangkala dan berjanji akan menjadi saudara bagi Sangkala seumur hidupnya. Konon, orang-orang di daerah ini sering mempersaudarakan diri karena merasa senasib dan sepenanggungan. Sehingga jika salah seorang di antara mereka terpaksa bertaruh nyawa, maka orang yang sudah diangkat sebagai saudara biasanya tidak akan segan-segan melakukan hal yang sama.  Edo tidak begitu paham dengan filosofi hubungan itu. Tapi ia mencoba meresapinya lewat hubungan yang ia bangun dengan Sangkala selama ini. Just do the best. Katanya.

No comments:

Post a Comment