Monday 30 January 2012

Chapter Thirty Nine


Pemerintahan di daerah berjalan normal kembali. Upaya Imran mempertahankan sistem yang sudah dibangun oleh Sufri membuahkan hasil. Dengan kepercayaan diri yang penuh ia jalankan roda pemerintahan laksana seorang expert. Hal itu telah membungkam berbagai anggapan miring orang-orang yang meragukan kapasitas dan kemampuannya dalam pemerintahan.

Edo mengamati, ada orang-orang yang merasa kecewa dengan situasi itu. Harapan mereka bahwa suasana kembali seperti semula setelah Sufri dirawat di rumah sakit tidak terwujud. Dalam hati ia memuji Imran yang dengan cepat bisa melakukan pemulihan. Manajemen perusahaan yang diterapkan pada beberapa aspek yang bersesuaian dilihat Edo sebagai sebuah terobosan positif, dan trend itu harus dipertahankan.
Memang semenjak terpilihnya pasangan kepala daerah ini, kalangan birokrat terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang ingin mempertahankan status quo karena bisa mengambil keuntungan dari situasi itu, dan kelompok pembaharu yang sepenuhnya mendukung upaya bupati dan wakil bupati baru.
Edo merasa berada di pihak pembaharu. Sebagai seorang pamong praja yang berusia muda dan baru melaksanakan tugas, ia membutuhkan situasi kerja yang kondusif untuk menunjang kariernya ke depan. Bersama Sangkala ia bekerja dengan baik sambil belajar.
Ketika sedang duduk di ruang kerja mereka, tiba-tiba kepala bagian humas dan protokol, atasan mereka menerobos masuk. Berdiri berkacak pinggan di depan meja Edo.
Edo memandangnya dengan heran. Selembar kertas dilemparkan di hadapan Edo.
“Siapa yang buat ini?”
Edo mengamati kertas itu dengan seksama. Sebuah undangan kepada wartawan untuk menghadiri konfrensi pers yang ditandatangani oleh Imran.
“Saya, pak.”
“Kapan?”
“Dua hari lalu.”
“Kenapa tidak bilang sama saya?”
Edo tergagap, mencoba mengingat kenapa undangan itu bisa dia buat tanpa sepengetahuan kepala bagiannya. Sejenak ia diam lalu menjawab, “Bapak sedang keluar waktu itu.”
“Kemana? Perasaan saya tidak pernah kemana-mana dalam dua hari terakhir ini.” Sanggah kepala bagiannya, sengit.
Sangkala sekarang yang bicara, “Pak, ini perintah langsung bapak Bupati.”
“Aku tahu, sangkala. Itu masalahnya. Tadi aku ditanya sama beliau, bagaimana  persiapan acara konferensi pers itu. Aku tidak bisa menjawab, malah aku bertanya, konferensi pers apa. Beliau marah sama aku, dibilangnya aku tidak peka dan tidak tahu tugas.”
“Kami belum sempat melapor, pak.” Edo membela diri. Sekarang ia mengerti duduk masalahnya. “Kan bapak baru masuk hari ini?”
“Iya, tapi kan kamu bisa menelpon.”
“Benar, pak. Kami harusnya menelpon. Kami minta maaf.”
Amarah sang kepala bagian mereda. Ia ambil surat itu dari meja Edo lalu berjalan menuju pintu keluar.
“Kalau begitu, segera siapkan acaranya. Jangan sampai ada masalah.”
“Siap, pak.” Edo dan Sangkala menyahut hampir berbarengan.
“Kalau di institut kamu sudah saya suruh jungkir di lapangan.” Katanya sambil berlalu meninggalkan Edo dan Sangkala yang masih terbengong.
“Murkanya dari mana tuh, Doy?” kelakar Sangkala.
“Tahu?” Edo tertawa.
“Kirain ada masalah apa?”
“Pasti semalam tidak dapat jatah.”
“Hush, ngawur.”
Sangkala lalu memeragakan gaya sang Kepala bagian yang berkacak pinggang di depan Edo. Mereka berdua kembali tertawa. Tenri muncul di pintu sehingga Sangkala terpaksa menghentikan aksinya.
“Makan, yuk!” Katanya pada Edo.
“Neng, ini masih pagi loh,”
“iya, pagi ‘kan juga harus makan.”
“Aku sudah sarapan di rumah.”
“Kalau begitu, temani aku aja. Aku mau cerita.”
Edo menurut. Sangkala disuruh menjaga kantor supaya tidak kosong. Siapa tahu ada perintah tiba-tiba dari Pak Bupati atau Pak Sekda yang harus mereka laksanakan. Sangkala cenberut dan mengepalkan tinjunya pada Edo. Edo hanya tertawa dan berlalu sambil bergandengan tangan dengna Tenri.
“Ada apa say?”
“Bisnu ngamuk.”
“Kenapa?”
“kan aku batal ke Australia tahun ini.”
“Terus?”
“Aku bilang tahun depan juga batal.”
“Lho, memangnya kenapa dibatalkan.”
“Malas.”
“Malas kenapa?”
“Kan aku lebih senang tinggal di sini.”
“Masa, gara-gara siapa tuh” Edo mencoba menggoda Tenri. Dalam hati Tenri dongkol juga, ini anak kege-eran amat. Pikirnya. Tapi dalam hati ia mengakuinya. Itu fakta.
“Pasti karena sangkala,” Jawab tenri tertawa. Edo juga.
“Lalu, apa hubungannya dengan Bisnu?”
“Dia ‘kan menunggu aku. Katanya aku harus ke australia supaya bisa bersamanya lagi, seperti waktu Sekolah dulu. Jadi kemarin aku janji, nanti tahun depan. Ternyata aku tetap tidak bisa pergi.”
“Kamu punya rencana lain?”
“Iya, aku mau pergi ke tempat yang sangat jauh.”
“Serius ah, mau kemana?”
“Tidak ke mana-mana, aku maunya di sini saja.”
“Sampai kapan?”
“Sampai aku bosan sama kamu.”
“Ya ampun, apa tidak menunggu aku yang bosan duluan.”
“Sialan.”
“Bisnu tahu nggak alasan kamu nggak mau pergi?”
“Kayaknya sih dia tahu. Apalagi waktu kita ke Makassar kemarin dia sudah nanya-nanya.”
“Wah bahaya, dong.”
“Iya kamu harus hati-hati. Sekarang kamu masuk dalam daftar hitam Bisnu.” Kata Tenri dengan nada mengancam, tapi sambil tertawa.
“Aku nggak takut. Kan ada kamu yang jaga saya.”
“Bisnu itu orangnya kekar, macho, terus kuat berantem.”
“Dia ‘kan nggak ngamuk sama aku, tapi sama kamu.”
“Iya, tapi kan gara-gara kamu.”
“Jadi?”
“Jadi apa?”
“Kamu mau ngapain?”
“Tidak ada. Aku cuma sekedar curhat. Kapan-kapan kalau ketemu Bisnu, kamu harus hati-hati.”
“O... kirain kamu minta aku menghabisi Bisnu.”
“Kamu yang bakal dihabisinya.”
“Belum tentu.”
Hidangan mereka datang, mereka berdua makan dengan lahap.
“Tenri...”
“Apa?”
“Kamu cinta nggak sih sama aku?”
Tenri mengangguk
“Beneran?”
Tenri mengangguk lagi
“Bilang dong.”
Tenri mendelik. “Ini orang nggak percayaan banget. Orang sudah mengangguk masih nggak percaya.”
“Apa sih susahnya bilang cinta?”
“Nggak ada.”
“So?”
Telpon Edo berdering, telponnya dari Sangkala. Katanya pak kepala Bagian muncul lagi dan marah-marah karena Edo belum menyiapkan acara pak Bupati.

No comments:

Post a Comment