Edo membelokkan mobil sport merah darah
itu memasuki halaman sebuah rumah makan. Setelah mengemudi selama lebih kurang
dua jam, ia merasa agak lelah dan mengantuk. Ia butuh segelas kopi susu. Mobil
itu berhenti sempurna di antara mobil-mobil lain yang sudah lebih dahulu
terparkir. Di sisi kirinya, di tempat duduk, Tenri masih tertidur pulas setelah
menyetel sandaran kursinya hingga hampir lurus.
Edo bermaksud membangunkan gadis itu,
namun niat itu diurungkannya. Matanya tiba-tiba terpaku pada wajah dengan mimik
damai yang sedang tertidur itu. Sesuatu dari alam bawah sadarnya seperti
membawa gambar-gambar masa silam yang terekam di memorinya yang paling dalam
tiba-tiba muncul. Sesuatu dari masa lalu yang pernah begitu akrab dengan
pandangan matanya berkelebat. Gambar tentang perempuan yang tertidur dengan
wajah damai.
Gambar-gambar itu hanya hadir sekilas.
Tapi tetap membekas di dalam hatinya dan tersimpan dalam memori yang lebih
segar. Edo terdiam, dan terus memandangi gadis itu. Ditatapnya wajah damai itu
sekali lagi, lalu ia menyentuh wajah Tenri.
“Tenri, bangun...” bisiknya lembut.
Tenri menggeliat, sesaat ia membuka mata
dan membiasakan diri dengan pemandangan di sekitarnya. “Di mana kita?”
“Di warung. Kita istirahat dulu, yuk.
Pegel nih.”
Tenri menegakkan sandaran kursinya.
Memandang berkeliling dan tersenyum malu-malu. “Wah, aku pasti tertidur pulas.
Aku ngorok, gak ya?”
“Dikit.”
Tenri meninju lengan Edo.
Mereka keluar dari mobil memasuki rumah
makan yang lebih tepat di sebut sebagai kedai itu. Tidak banyak pilihan menu
yang tersedia. Kebanyakan menu makanannya hanya berupa mi instant yang dimasak
dengan tambahan sebutir telur, juga dilengkapi beberapa jenis makanan khas
sulawesi selatan seperti burasa dan gogos. Tapi kalau keadaan sedang penat
sehabis mengemudi seperti sekarang, menu itu bisa menjadi penawar lapar dan
dahaga yang cukup nikmat. Kalau menemani kepala Bagiannya ke Makassar, biasanya
juga Edo akan diajak mampir di tempat ini.
Mereka mencari-cari meja yang kosong.
Sore hari pengunjung biasanya tidak terlalu banyak. Rata-rata memang yang masuk
ke tempat itu adalah para musafir yang ingin sejenak beristirahat. Edo memesan
kopi susu. Tenri hanya minum air putih.
Tenri mengajak Edo ke Makassar. Katanya
untuk lebih mengenalkan Edo kepada teman-teman club tennisnya. Sekalian
berjalan-jalan ke mall, atau nonton film di bioskop. Edo sudah jarang ke Mall
atau ke bioskop. Sejak bertugas di daerah itu, Edo tak pernah sekalipun
menginjak lantai Mall atau menonton film di cineplex. Edo setuju, apalagi yang
mengajak adalah anak Boss yang kalau tidak dituruti, bisa menimbulkan kemurkaan
Boss. Yang penting Imran memberinya izin. Masalah
izin urusan saya. Yang penting kamu mau. Kata Tenri. Tentu saja Edo mau.
Imran memberinya izin selama yang Tenri mau.
Edo memang sedang membutuhkan waktu lebih
lama bersama Tenri. Hubungan mereka selama ini memang mengalami peningkatan.
Tapi bagi Edo, itu terasa sangat lambat. Sudah lama ia terang-terangan
menyatakan cintanya pada Tenri, tapi gadis itu belum sekalipun memberikan
jawaban yang tegas. Ia bilang, ia sayang pada Edo. Ia juga sering bilang bahwa
senang kalau Edo ada di dekatnya. Tapi tak pernah sekalipun ia bilang cinta.
Sebenarnya Edo tak pernah bermaksud
mengejar penyataan cinta dari Tenri secara verbal. Sikap, perilaku dan tutur
kata Tenri kepadanya selama ini sudah cukup menjadi tanda yang sempurna kalau
perasaan cinta itu ada pada diri Tenri. Namun ia ingin sebuah kepastian. Jika
sesekali ia mencoba mendesak, Tenri akan berkelit dan berkata, aku selalu ada
untukmu, Edo.
Mereka menyantap hidangan mi rebus dengan
lahap. Kadang dalam suasana tertentu seperti ini. Mi instant pun terasa sangat
lezat. Tenri berkomentar bahwa Edo merasa begitu karena ia makan dengan
dirinya. Edo hanya tertawa.
“Di makassar kita nginap di mana?”
“Di rumahku. Emang mau di mana lagi? Mau
nginap di hotel?”
“Ah, nggak. maksudku, apa tidak aneh
seorang pemuda dan seorang gadis hidup satu atap selama beberapa hari.”
“Di rumahku banyak kamar. Kamu perlu
waktu satu minggu untuk tidur di semua kamar tidurnya.” Edo percaya itu.
“Kupikir kita akan satu kamar.” Bisik Edo.
Tenri mendelik.
Mereka berangkat kembali. Jalanan berliku
dan menanjak dengan gunung batu atau jurang yang dalam di sisi jalan membuat
Edo mengemudi dengan santai tapi cukup hati-hati. Tenri menggoyang-goyangngkan
kaki mengikuti alunan suara musik yang menyembur dari sound system mutakhir dari
dashboard belakang mobilnya. Konon untuk sound systemnya saja, Tenri
mengeluarkan uang hingga lebih enam puluh juta. Belum untuk aksesories lainnya.
Gila, pikir Edo. Seandainya itu buat disumbangkan ke panti asuhan, pasti cukup
untuk makan dan sekolah mereka selama beberapa tahun.
“Buat bikin panti asuhan itu cukup, kayaknya.”
Ujar Edo. Bernada menyindir.
“Ayah punya yayasan yang bergerak di
bidang pendidikan dan pembinaan anak-anak yatim piatu. Gedungnya berdiri di
atas lahan seluas lima hektar, mulai dari TK, SD, SMP sampai SMA. Semua anak
yang sekolah disitu tidak dipungut biaya sepeserpun. Mereka tinggal di asrama
dengan makan, minum dan pakaian sepenuhnya dari yayasan. Ratusan anak yatim
dari berbagai daerah ditampung di situ dan biayanya setiap tahun tidak kurang
dari dua milyar. Untuk pengadaan lahan dan membangun gedung-gedungnya, ayah
mengucurkan dana hingga lima belas milyar.”
Edo merasa malu.
“Kita bisa jalan-jalan ke sana nanti.
Pengajarnya didatangkan dari berbagai sekolah dan universitas terkemuka di
daerah ini. Yang berprestasi akan diberi beasiswa untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi dan pulangnya dipekerjakan di perusahaan keluarga.”
Sekarang Edo hanya bengong. Menyesal
setengah mati telah mengeluarkan kata-kata itu.
“Maaf, itu hanya ungkapan spontan.”
“Tidak apa-apa, sayang.” Tenri tersenyum
mengerti. “Kamu harus lebih mengenal ayah dan ibuku jika ingin menjadi bagian
dari keluarga mereka.” Kata Tenri sungguh-sungguh.
Edo terkejut dengan ungkapan itu. Tapi ia
menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. dalam hati ia mencoba berharap
bahwa itu adalah lampu hijau bagi hubungan yang lebih serius antara dirinya
dengan Tenri. Sekarang ia betul-betul sudah jatuh cinta pada gadis itu. walau
sesungguhnya ia kadang tidak mengerti, mengapa sesuatu dari masa lalunya,
kadang membayangi rasa cintanya. Suatu saat ia akan tahu, apa hubungan dari
gambaran itu dengan masa kininya sehingga sering hadir dalam suasana yang
justru tidak terduga. Dan biasanya hanya terjadi dengan Tenri.
Mereka memasuki Kota Makassar ketika
matahari mulai terbenam. Tenri mengarahkan Edo untuk lewat jalan tol ke pusat
kota. Nanti terhalang kemacetan di Daya dan di Perintis. Katanya. Kalau
menjelang malam, apalagi kalau malam minggu, kawasan itu sering macet total
karena banyaknya kendaraan yang menuju ke pusat kota.
Dengan petunjuk dari Tenri yang bertugas
sebagai navigator, Edo berbelok memasuki sebuah kompleks perumahan Elit di
kawasan jalan Hertasning. Rumah-rumah megah dengan pagar besi yang tinggi
tersebar di kiri kanan sepanjang jalan itu. Edo mulai menduga-duga, seperti apa
gerangan rumah keluarga ini.
Mereka lalu berhenti di depan sebuah
pagar besi dengan ornamen versace yang besar. Di baliknya, sebuah gedung
setinggi tiga lantai dengan arsitektur minimalis yang megah berdiri kokoh. Pintu pagar itu terbuka, dan Tenri
menyuruh Edo masuk.
Pandangan Edo segera tertumbuk pada
halaman yang luas dan teduh, dengan tanaman-tanaman hias yang ditata rapi
berbaris memenuhi halaman itu. Edo terkesan dengan cita rasa dan nilai estetika
yang terpancar dari taman itu. Sesuai
dengan yang sering kubayangkan. Pikirnya. Dan aku akan menjadi bagian dari keluarga yang mendiami rumah ini?
Ah. Jangan ngelantur, Doy. Bayangan wajah Sangkala melintas memperingatkan. Edo
tersenyum sendiri.
Mobil sport merah itu diparkir di dalam
garasi yang luas. Dua unit mobil mewah terparkir di tempat itu. Edo hanya bisa
berdecak kagum. Mereka memasuki rumah lewat pintu di bagian dalam garasi yang
langsung terhubung dengan ruang tengah rumah yang luas. Tidak ada furniture di
ruangan itu, kecuali sebuah piano berukuran besar yang diletakkan di sudut
ruangan. Ruangan ini tampak seperti ballroom di hotel-hotel berbintang. Langit-langitnya
tinggi. Sebuah lampu kristal yang sangat besat tergantung dengan rantai besi yang
menjulang dari atap lantai tiga yang berbentuk kubah.
Tenri mengantarnya naik ke lantai dua.
Betul kata Tenri. Rumah itu terdiri atas banyak kamar. Mereka memasuki sebuah
kamar yang luas dengan interior seperti suite room di hotel berbintang. Sebuah
tempat tidur king size dengan lampu baca di sisi kiri dan kanan. Vas bunga
besar diletakkan di atas sebuah meja besar yang berfungsi sebagai voyeur. Sebuah
pintu kaca menuju ke teras dengan pemandangan ke pusat kota dengan gorden
transparan.
“Kamu tidur di sini, ya.” Kata Tenri.
“itu lemarinya. Pakaianmu bisa diatur di situ.”
“Pakaianku tidak banyak. Emang kita
tinggal di sini berapa lama?”
“Sampai kamu puas.”
Edo menduga, perjalanan ini hanya untuk
satu dua hari. Tapi dari nada bicara Tenri, sepertinya ia akan butuh waktu
lebih lama. No problem. That’s what I want the most. Tenri keluar dan berjanji
ketemu pukul delapan malam untuk keluar makan malam.
Mereka memilih makan malam di sebuah
restoran terapung di pinggir laut. Tepatnya di Pantai Losari. Baru dia tahu,
Tenri punya kebiasaan makan yang unik. Tenri tidak terlalu suka makan nasi. Ia
lebih sering makan ikan, udang dan cumi-cumi yang menjadi lauk ketimbang
nasinya sendiri. Kalaupun dia menyendok nasi, itu haya sekedar untuk menyimpan
cadangan tenaga yang dia butuhkan dalam beraktifitas.
Usai makan malam, mereka menuju
Panakkukang. Di Mall mereka menuju ke lantai tempat bioskop berada. Beberapa
pilihan film hollywood terbaru sedang ditayangkan. Pilihan mereka adalah sebuah
filme tentang gadis bertatto naga yang diperankan oleh Daniel Craig.
Mereka kembali ke rumah hampir pukul satu
dini hari. Karena setelah menonton mereka masih berkeliling kota melihat-lihat
pemandangan Kota Makassar di malam hari sambil menyantap hidangan Mie goreng
kering yang terkenal kelezatannya. Edo benar-benar dimanjakan oleh Tenri.
Beberapa pakaian sempat dibeli untuk dipakai Edo beberapa hari ke depan, meski
Edo menolak dengan segala cara. Kalau tidak mau di bawa pulang di simpan saja.
Nanti kalau kamu datang lagi kamu bisa memakainya, kata Tenri.
Hampir jam tujuh pagi, Tenri tiba-tiba
muncul di samping tempat tidur Edo. Edo kaget setengah mati dan berusaha
menyembunyikan sesuatu yang menonjol di bawah perutnya dengan berbalik
tengkurap. Tenri tertawa cekikikan.
“Bangun, Do. Kita harus cepat-cepat ke
lapangan Tennis.”
“Masih capek.”
“Mandi sana, biar seger.”
“Aduh... bisa nggak sebentar lagi? Masih
pingin tidur.” Katanya sambil menguap.
“Huh, Bau, tau?”
“Sebentar, ya.”
“Dasar pemalas.”
Tenri berlalu. Meninggalkan Edo yang
masih terbaring.
Kurang dari setengah jam kemudian, mereka sudah berada di
mobil dan siap berangkat.
No comments:
Post a Comment