Thursday 19 January 2012

Chapter Twenty Six


Barli, sang sopir, berusia dua puluh sembilan tahun. Anak pertama dari tiga bersaudara. Ia hidup bersama ibu dan dua orang adik perempuannya. Ia sebenarnya punya seorang adik laki-laki yang lahir lima tahun setelah kelahirannya. Tapi anak itu meninggal ketika masih berusia delapan bulan akibat penyakit DBD. Setelah hampir sepuluh tahun menjadi anak tunggal, ibunya melahirkan anak perempuan, dua orang dalam waktu tiga setengah tahun. Ayahnya pensiunan pegawai negeri golongan II. Bekas Penjaga Sekolah di salah satu SD di desanya. Tapi meninggal karena penyakit paru-paru akibat kebanyakan merokok.

Ia Masih lajang dan belum punya pacar. Meski usianya sudah terbilang terlalu matang untuk berumah tangga, ia masih betah menjomblo. Belum ada yang cocok katanya. Lagipula, selama enam tahun terakhir ini, ia harus membiayai sekolah dua orang adik perempuannya. Gaji pensiun janda ibunya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itupun kadang masih harus ditambah dengan embel-embel ngutang jika ada kebutuhan mendesak.
Berbekal ijazah SMA, ia mendaftar menjadi pegawai negeri dengan formasi tenaga administrasi. Beruntung, dengan sekali mendaftar ia langsung berhasil lulus dan ditempatkan di salah satu kantor kecamatan sebagai tenaga administrasi dengan pangkat II/a.
Kariernya sebagai sopir berawal ketika Sufri menjadi Camat di kantor tempatnya bekerja. Sopir Sufri yang asli berhalangan hadir karena kebetulan orang tuanya meninggal. Saat hendak pergi melayat, Sufri mencari seseorang yang bisa mengantarnya agar ada orang yang memarkir kendaraannya di tempat aman ketika ia measuki rumah duka. Kebetulan lokasi rumah sang sopir asli berada di pinggir jalan protokol yang pasti sudah dipenuhi kendaraan di kiri kanan jalan. Kalau ia sendiri yang berangkat, ia khawatir mobilnya terparkir terlalu jauh. Dan itu menyulitkannya.
Barli memberanikan diri untuk mengambil tugas itu. hitung-hitung pendekatan kepada sang Camat. Sebelum menjadi pegawai, Barli pernah bekerja serabutan sebagai kondektur bis yang sesekali menjadi sopir bantu angkutan umum antar kota dalam provinsi. Sehingga kemampuannya mengemudi cukup memadai. Ternyata Sufri merasa lebih sreg kalau Barli yang mengemudikan mobilnya. Karena kemampuannya mengemudi itulah, Sufri kemudian memintanya menjadi driver resminya di kecamatan.
Bahkan karena Sufri menyenangi ketekunan dan kejujurannya, Sufri memintanya untuk ikut kemanapun ia pindah. Lama kelamaan, Sufripun sudah menganggapnya sebagai anggota keluarga sendiri. Barli biasa sarapan dan makan siang di rumah Sufri. Hal itu sedikit banyak meringankan beban ibunya yang sudah tua.
Saat Sufri mengundurkan diri, iapun memilih berhenti menjadi sopir dan kembali menjadi staf administrasi. Sama sekali tidak berminat untuk ikut ke majikan yang lain. Walau beberapa orang kepala perangkat daerah memintanya. Dengan sangat menyesal, katanya, saya sudah tidak berminat menjadi sopir.
Barli kembali menjadi sopir ketika Sufri terpilih menjadi Wakil Bupati. Ia memang berjuang untuk itu. seluruh anggota keluarga, handai tolan dan famili jauhnya diajak untuk mencoblos Sufri dan pasangannya dalam Pemilu kepala Daerah. Meskipun mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap keseluruhan perolehan suara, tapi Barli telah menunjukkan loyalitasnya yang tinggi kepada Sufri.
Hanya satu persoalan yang masih membelitnya. Ia belum berminat untuk menikah, walau kadang ia merasakan dorongan libidonya tak tertahankan. Beberapa kali Sufri menawarkan bantuan untuk menikahkannya selalu dia tolak. Saya mau menikah dengan uang saya sendiri, pak. Sekarang masih kumpul-kumpul. Nanti kalau saya sudah siap, saya akan sampaikan pada bapak. Katanya. Padahal, tidak jarang Sufri bercerita tentang keterlambatannya menikah yang berdampak pada pendidikan anak-anaknya kelak. Bayangkan, Li. Jika kamu sudah pensiun, anak-anakmu justru butuh biaya yang lebih besar untuk pendidikannya, mau dikasi apa? Kata Sufri selalu.
Acara pertemuan di kecamatan itu sudah berlangsung lebih dari lima jam. Tiga jam sebelum makan siang dan sekarang satu jam setelah makan siang. Entah apa yang mereka bahas di dalam sana. Barli tidak mau tahu. Tugasnya hanya satu, mengantar Sufri kemanapun dengan menggunakan mobil dinas.
Karena kelelahan menunggu di dalam ruangan yang pengab dan sumpek, Barli memutuskan keluar areal kantor. Cari angin, katanya dalam hati. Sambil menunggu Sufri yang sedang memimpin pertemuan dengan camat yang dihadiri oleh kepala Desa dan lurah di Kantor Kecamatan, Barli duduk menunggu atasannya di bawah sebuah pohon mangga yang besar yang terletak di depan sebuah rumah panggung. Rumah itu terlihat kosong. Jadi Barli tidak perlu merasa tidak nyaman. Ia bahkan membiarkan dirinya terkantuk-kantuk dihembus angin sepoi-sepoi yang serta-merta menggodanya untuk berbaring. Tapi ia menahan diri. Tidak etis berbaring di tempat terbuka seperti ini.
Jalanan poros yang berada di depan kantor kecamatan terus menerus lengang.sangat jarang ada kendaraan yang lalu lalang. Letak kecamatan yang memang merupakan kecamatan terjauh ini menjadi penyebabnya. Mobil dinas sufri yang dikenudikannya di parkir di depan rumah dengan pohon mangga besar di depannya, di mana ia duduk menunggu. Selain beberapa unit sepeda motor terparkir di sekitar tempat itu, tak ada satupun makhluk yang bergerak di luar kantor kecamatan itu.
Ktika tengah asyik bermain-main dengan hand phonenya, sayup-sayup dari kejauhan, Barli mendengar suara sebuah sepeda motor mendekat. Dari bunyi mesinnya, Barli bisa menduga bahwa orang yang sedang naik sepeda motor itu bukan orang yang mahir. Bunyi mesinnya naik turun tidak teratur. Sekitar satu setengah menit kemudian, sumber suara itu muncul. Pengendaranya adalah seorang gadis. Mendekati lokasi tempatnya duduk, pengendara sepeda motor itu melambat dan bermaksud berbelok ke rumah di mana pohon mangga tempatnya bernaung berada.
Tiba-tiba, entah karena apa, pengendara motor itu tiba-tiba terjatuh. Suara mesin motornya mati. Refleks Barli melompat dan berlari mendekati gadis itu. Ia angkat sepeda motornya lalu memasang standar sehingga benda itu berdiri. Selanjutnya ia mencoba menolong gadis yang masih terduduk di jalanan sambil meringis kesakitan.
“Hey, kamu baik-baik saja?” Tanyanya, agak sungkan. Apalagi setelah ia mnyadari bahwa gadis itu ternyata berparas cantik dengan kulit putih mulus bagai pualam.
Sejenak gadis itu hanya dia memandangnya, lali menjawab, “Iya. Mungkin cuma keseleo. Tolong dong, saya mau berdiri.” Jawabnya, seraya mengulurkan tangan ke arah Barli. Barli terkesima melihat tangan lembut berjari lentik itu ditawarkan kepadanya. Ia sentuh tangan itu dari pergelangan lalu turun ke telapak tangan. Ia eratkan pegangannya lalu dengan tenaga seperlunya, ia bantu gadis itu berdiri. Seolah terdorong oleh gaya waktu ditarik oleh Barli, gadis itu terhuyung dan hampir roboh kembali, tapi kali ini menuju ke badan Barli. Mau tidak mau, Barli terpaksa menangkap tubuh sintal itu dan memegangnya dengan kedua tangan. Dada mereka beradu.
Aroma rambut dan tubuh gadis itu menyerbu ke hidung Barli dan mempengaruhi saraf-saraf yang menuju ke pusat rangsangan libidonya. Barli yang muda dan polos, serasa hendak menjerit dalam hati karena senang. Wajahnya memerah. Tapi ia buru-buru menguasai diri dan berusaha menjauh.
“Eh, maaf.” Katanya salah tingkah.
“Aku yang harusnya minta maaf.” Kata gadis itu. “Terima kasih, sudah mau menolong.”
“Eh, oh.. iya. Bukan masalah.” Katanya. “Rumah kamu di mana?”
“Itu.” jawab gadis itu, sambil menunjuk rumah yang ada pohon mangga di depannya.
“Oh yang itu?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Sudah lebih dua jam aku duduk di bawah pohon mangga itu.”
“O ya?”
Barli mengangguk.
“Masuklah. Biar aku yang bawa motor kamu ke kolong rumah.” Gadis itu setuju dan berjalan terpincang-pincang menuju ke tangga rumahnya. Barli lalu menuntun sepeda motor itu ke bawah kolong rumah gadis itu, sementara si gadis sendiri naik dan membuka pintu.
“Naik yuk.”  Ajak si gadis, suaranya terdengar ramah.
“Terima kasih. Lain kali saja. Saya sedang menunggu atasan saya.”
“Siapa atasan kamu?”
“Pak Wakil Bupati.” Gadis itu tampak bingung.
Barli lalu menjelaskan bahwa ia adalah driver wakil bupati yang sedang dalam kunjungan kerja di kantor kecamatan yang kebetulan ada di depan rumah gadis itu.
“O, kalau begitu tidak apa-apa dong kalau kamu naik. Kan kalau acaranya selesai, kamu bisa langsung tahu karena kantornya bisa terlihat dari sini.”
Barli berpikir sejenak, dalam hati ia membenarkan pendapat gadis itu. Akhirnya iapun menurut. Lagipula siapa yang tahan menolak ajakan gadis secantik itu? Ia naik ke rumah gadis itu. Pada awalnya ia hanya bermaksud duduk di teras. Kebetulan di teras itu terdapat dua buah kursi kayu dan sebuah meja. Tetapi gadis itu memaksanya masuk. Barlipun memasuki ruang tamunya. Mereka berkenalan. Barli mendengar gadis itu menyebut namanya dengan Bilkis. Dengan cepat ia menyebutkan bahwa namanya juga berawal dengan huruf B.  Gadis itu terlihat antusias.
Gadis itu menyilakannya duduk, lalu berjalan ke ruang dapur untuk menyiapkan minum. Barli memandangnya dari belakang. Darahnya berdesir melihat pinggul gadis itu bergoyang indah. Matanya lekat, hingga gadis itu kemudian menghilang dari pandangannya.
Diedarkannya pandangan berkeliling ke seisi rumah. Rumah itu tergolong amat sangat sederhana, bahkan terlalu sederhana. Pengaturan ruang-ruangnya masih berkonsep tradisional. Tidak ada sama sekali kamar tidur. Ruang dapur yang berada di bagian belakang rumah itu terlihat jelas dari tempatnya duduk. Dinding rumah itu hanya terbuat dari bilah-bilah bambu yang ditetak sehingga bisa dilebarkan membentuk plat yang berpori. Angin dari luar rumah bisa menerobos lewat celah-celah kecil itu sehingga hawa panas tidak terlalu mengganggu.
Dua buah tempat tidur tampak terlihat dari ruang tamu. Yang satu terlihat sudah mulai usang, diletakkan pada bagian rumah yang lebih dalam, sedangkan yang satunya diletakkan di bagian tengah rumah. Mungkin di sinilah gadis itu tidur. Barli membayangkan. Darahnya mendesir membayangkan gadis itu tidur disitu.
Ruang tamunya sendiri hanya diisi dengan dua set kursi tamu yang terbuat dari besi yang dudukan dan sandarannya diberi jok. Tidak cukup tebal namun lumayan nyaman diduduki. Sebuah lemari pajangan berisi peralatan makan dan minum menjadi penghias dengan beberapa bagian kacanya sekaligus berfungsi sebagai pigura foto. Anehnya, Barli tidak melihat ada foto gadis itu dari sekian banyak foto yang ada. Tapi Barli tidak ambil pusing. Lemari pajangan itu juga menjadi sekat antara ruang tamu dengan ruang tidur yang terbuka itu.
Siapa sangka di rumah seperti ini hidup seorang gadis cantik dengan penampilan yang glamor dan modis seperti seorang bintang sinetron? Ini bukan yang pertama kalinya Barli berada di kecamatan ini. Ketika Sufri masih menjabat sebagai kepala dinas, ia juga sering mengantar Sufri ke kecamatan ini. Tapi ia tidak pernah melihat gadis itu. Barangkali gadis ini sekolah atau bekerja di tempat lain sehingga ia jarang berada di tempat ini, pikirnya.
Gadis itu keluar dengan membawa nampan berisi minuman dingin. Di bawah sorot sinar matahari yang terik dan hawa panas yang membakar di luar rumah, minuman dingin memang merupakan sesuatu yang paling didambakan oleh Barli saat ini. Dengan cepat, isi gelas itu sudah berpindah ke dalam perutnya.
Selanjutnya mereka lalu berbincang tentang berbagai hal. Pembawaan yang ramah dari gadis itu membuat Barli dengan cepat merasa akrab. Mereka tertawa, mereka bercanda, dan itu membuat batas-batas kecanggungan yang tadi mengantarai mereka mulai runtuh. Bahkan ketika gadis itu mengeluh kakinya masih sakit karena keseleo akibat terjatuh tadi, Barli tidak merasa sungkan menawarkan diri untuk mengurut kaki gadis itu.
Di luar dugaan Balir, gadis itu ternyata setuju. Ia mengajak Barli ke tempat tidur terdekat setelah terlebih dahulu memberinya minyak tawon. Di tempat tidur, Bilkis membaringkan diri. Sementara  Barli duduk di sisi tempat tidur, tepat di mana kakinya berada.
Menggosok kaki gadis itu dengan minyak membuat Barli kelimpungan. Ia mulai merasa tidak mampu mengendalikan sesuatu yang menggeliat di selangkangannya. Betis dan paha yang tersingkap menampilkan kulit yang bersinar, menyilaukan Barli. Terdorong oleh insting, tangannya tidak lagi sekedar mengosok dan mengoleskan minyak. Ia membelai dan mengelus kulit mulus itu hingga melewati lutut, nafas Barli memburu.
“Kak, Barli. Jangan terlalu ke atas, dong.”
“Tidak apa-apa. Harus diurut sampai ke situ. Nanti kakinya bengkak.” Barli bohong. Tangannya bergerak makin berani. Apalagi dilihatnya gadis itu tidak terlalu berusaha menghalangi tangannya.
“Sudah, dong.”
“Sebelah lagi.”
“Yang sebelah nggak sakit.”
“Nanti menular loh, sini kakinya yang sebelah juga diurut.” Itu adalah kebohongan terang-terangan yang pernah diucapkan Barli kepada seseorang. Anehnya, si gadis membiarkan saja, dan menyerahkan sebelah kakinya untuk diurut oleh Barli. Awalnya memang hanya mengurut kaki hingga ke paha, namun tidak lama kemudian, tangan Barli tiba-tiba berpindah ke lengan gadis itu. meremasnya perlahan.
“Yang itu gak sakit Kok, Kak Barli.”
Barli tidak menanggapi. Hanya tangannya yang terus bergerak meremas lengan dan bahu gadis itu dengan lembut. Wajahnya perlahan mendekati wajah gadis itu. Aroma rambut dan tubuh gadis itu kembali menyerbu hidungnya, membuatnya lupa diri dan membuat akal sehatnya lupuh. Gadis itu terdiam. Di mata Barli, gadis itu menunggu kelanjutan gerakannya.  Ia mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu. Persentuhan bibir itu menyetrum Barli. Ia mendorong gadis itu dan berusaha menindihnya. Gadis itu mengeliat menghindar, tapi tidak meronta, apalagi menampar wajahnya. Seolah ia hanya pura-pura berusaha menghindar. Tangan Barli yang kokoh mendekapnya dengan erat.
Gadis itu merintih sambil menggerakkan tubuhnya menjauh. Dalam pikiran Barli, itu bukan penolakan. Jika gadis itu menolak, ia pasti sudah menjerit. Gumpalan syahwat merubung makin banyak di otaknya dan itu membunya lupa diri. Tangannya mulai menerobos celah baju gadis itu.
“Kak, jangan.” Bilkis berbisik, tapi membiarkan tangan Barli beraksi.
Itu adalah lampu hijau paling terang yang dilihat Barli. Dengan berani ia susupkan tangannya makin jauh ke dalam. Sekarang atau tidak sama sekali. Mumpung masih ada waktu. Dengan bernafsu ia menciumi bibir gadis itu dan ia merasa mendapat balasan yang setimpal.
Suara gaduh dari kantor kecamatan yang memberi tanda bahwa acara sudah bubar, ditambah dengan dering telponnya, membuat ia terpaksa menghentikan aksinya. Beberapa bagian pakaian gadis itu sudah tersingkap, dan Barli hanya bisa memandanginya sambil menelan ludah. Ia harus segera keluar. Barli kembali tersadar bahwa ia punya tugas yang harus dilaksanakan.  
Dengan berat hati ia pamit dan berjanji pada gadis itu bahwa kalau ada waktu luang, besok atau lusa, atau suatu hari nanti, ia akan kembali berkunjung. Gadis itu setuju dan memberikan senyumnya yang terindah sambil mengangkat tangan di samping telinganya dengan jempol dan kelingking yang lurus sehingga membentuk seperti pesawat telpon. Barli paham bahwa gadis itu minta ia menelponnya. Ia mengangguk senang sambil bergegas turun.  
Inilah jodohku. Pikirnya dalam hati. Ya ini mungkin jodohku. Kalau tidak, mengapa gadis itu tiba-tiba muncul dalam kehidupannya dan membuka jalan kebersamaan baginya dengan cara yang begitu mudah dan begitu menggairahkan?
Sufri naik ke dalam mobil. Ia dan ajudan menyusul kemudian. Sesudah Camat dan para pengantar memberi hormat pada Sufri, ia menjalankan mobilnya menuju ke ibukota kabupaten.  Sempat dilayangkan pandangan ke rumah Bilkis dan mendapati gadis itu melambai kepadanya sambil tersenyum. Ia hanya bisa tersenyum, walau tak yakin gadis itu bisa melihatnya. Hati Barli berbunga-bunga.
Barli mengemudi dengan santai, seperti biasa, dan seperti yang selalu diminta oleh Sufri. Hargai nyawa orang lain. Tapi yang utama, hargai nyawamu sendiri. Begitu selalu pesan Sufri kepadanya. Ajudan Wakil Bupati duduk di sisi kirinya. Sufri sendiri duduk di jok belakang dan sedang sibuk menelpon seseorang.
Tidak sampai lima belas menit kemudian, tiba-tiba ia merasa jalanan di hadapannya bercabang dua. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sambil berusaha tetap fokus, Namun penglihatannya justru makin kabur. Kepalanya terasa sangat berat. Hawa dingin yang menyembur dari air conditioner mobil menyesakkan dadanya. Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih dimilikinya, ia mencoba menginjak pedal rem. Mobil itu berhenti mendadak dengan suara ban berdecit ketika karet bannya bergesekan keras dengan aspal.
Ajudan Wakil Bupati terdorong ke depan sehingga kepalanya membentur kaca depan mobil. Sementara itu Sufri yang sedang asyik menelpon dan sama sekali tidak siap dengan kejadian itu terlontar dari tempat duduknya. Untung badannya tertahan oleh jok depan yang diduduki oleh Ajudan. Telpon genggamnya terpental.
Sebelum Sufri memperbaiki posisi dan menyadari apa yang sedang terjadi, enam orang pengendara sepeda motor muncul dari belakang. Keenam orang itu berhenti lalu meninggalkan sepeda motor mereka begitu saja menuju ke mobil Dinas Sufri. Sufri tidak bisa melihat wajah mereka karena semuanya menggunakan penutup kepala dan wajah berwarna hitam. Hanya satu hal yang bisa Sufri perhatikan, badan mereka gempal dan berotot.
Ada dua orang yang mendatangi setiap pintu. Seorang diantaranya bertugas membuka pintu, sementara seorang lainnya meraih Barli dan Ajudan lalu menariknya keluar dari mobil.  Barli tidak berkutik. Ia sudah pingsan sebelum mobilnya berhenti. Sedangkan ajudannya masih sempat meronta, namun karena ia belum pulih benar akibat benturan kepala di kaca depan mobil, dengan cepat iapun dilumpuhkan oleh orang yang meringkusnya.
Sufri melihat kejadian itu dengan pandangan tidak percaya. Semua berjalan begitu cepat. Ia sama sekali tidak siap. Namun ia berusaha membuat pikirannya tetap jernih. Ia meraih sebuah obeng dari kantong jok di depannya lalu dengan cepat ia menyelinap ke belakang jok tempatnya tadi duduk. Orang-orang yang memburunya mendapati tempat itu kosong.
Sufri membuka pintu belakang mobil lalu melompat keluar. Seseorang melihatnya. Orang itu berteriak memanggil rekan-rekannya. Empat orang pria besar mendatanginya. Persis seperti empat ekor singa jantan merubung seekor rusa.
Sufri berusaha sebisanya menyembunyikan obeng di tangannya. Sepertinya usaha itu berhasil karena tak seorangpun penyerangnya terlihat memperhatikan tangan kanannya. Ketika salah seorang pria besar mendekat dan bermaksud meringkusnya, secepat kilat tangannya bergerak menikam dada pria itu berkali-kali. Terakhir, obeng itu tertanam cukup dalam dan terlepas dari tangan Sufri. Pria itu memandang obeng yang menancap di dadanya dengan pandangan tidak percaya. Darah menyembur dari lukanya. Ia mundur memegangi benda itu sambil terhuyung sebelum akhirnya terjatuh dan bersandar di roda mobil dinas Sufri.
Tiga orang rekannya juga tak kalah kagetnya. Sesaat mereka terkesima, lalu seorang di antara mereka mengeluarkan senjata tajam. Mereka serentak mengepung Sufri. Sekarang mereka jauh lebih waspada. Dua orang lainnya yang sudah melumpuhkan Barli dan Ajudan Bupati turut membantu. Mereka tidak punya banyak waktu, dan fakta bahwa Sufri sudah tidak punya senjata sama sekali, adalah peluang yang tidak boleh disia-siakan. Empat orang menyerbu Sufri secara bersamaan dan berusaha meringkusnya. Meski bernyali besar dan pantang mundur, Sufri bukan tandingan empat orang berbadan kekar itu. dengan cepat keempat orang itu berhasil memegangi kedua tangannya, sehingga yang seorang bisa dengan leluasa memukul dan menendang kepala dan tubuh Sufri.
Kepala Sufri terkulai dengan darah mengucur dari hidung, mulut dan matanya. Terakhir, si pria yang memegang senjata tajam menikam Sufri tepat di ulu hati. Dua orang rekannya melepaskan pegangan mereka terhadap tangan Sufri. Sufripun roboh tak berdaya.
Salah seorang pria besar itu memeriksa nadi di leher Sufri. Tangannya menempel di bawah dagu Sufri. Selang beberapa saat kemudian, ia memberi isyarat dengan jari tangan berbentuk huruf ‘O’ yang dipahami oleh rekannya bahwa Sufri  telah tewas.
Sebelum meninggalkan tempat itu mereka menjarah barang-barang berharga, baik yang ada di mobil maupun yang menempel di tubuh atau pakaian Sufri, Barli dan ajudan wakil bupati. Rekan mereka yang terluka hanya terdiam, dengan tangan masih membekap luka di dadanya. Matanya memandang kosong ke depan tanpa berkedip. Darah segar membanjir di dada dan perutnya. Panggilan temannya yang bermaksud kabur sama sekali tak dihiraukannya. Salah seorang rekannya datang menghampiri, meraba nadinya sejenak lalu mengangkat ibu jari yang kemudian dibalik menghadap ke bawah. Rekan lainnya memahami tanda itu bahwa yang bersangkutan telah tewas.
Tinggalkan saja, cepat. Kita harus pergi. Seru seseorang yang memimpin kawanan itu. Sepeda motor mereka menggerung meninggalkan tempat itu
Sebuah pesan singkat masuk di ponsel Ibong: ‘Target sudah dibereskan.’ Saat itu, cahaya matahari sudah memerah di langit barat.

No comments:

Post a Comment