Barli, sang sopir, berusia dua puluh
sembilan tahun. Anak pertama dari tiga bersaudara. Ia hidup bersama ibu dan dua
orang adik perempuannya. Ia sebenarnya punya seorang adik laki-laki yang lahir
lima tahun setelah kelahirannya. Tapi anak itu meninggal ketika masih berusia
delapan bulan akibat penyakit DBD. Setelah hampir sepuluh tahun menjadi anak
tunggal, ibunya melahirkan anak perempuan, dua orang dalam waktu tiga setengah
tahun. Ayahnya pensiunan pegawai negeri golongan II. Bekas Penjaga Sekolah di
salah satu SD di desanya. Tapi meninggal karena penyakit paru-paru akibat
kebanyakan merokok.
Ia Masih lajang dan belum punya pacar.
Meski usianya sudah terbilang terlalu matang untuk berumah tangga, ia masih
betah menjomblo. Belum ada yang cocok katanya. Lagipula, selama enam tahun
terakhir ini, ia harus membiayai sekolah dua orang adik perempuannya. Gaji
pensiun janda ibunya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itupun kadang masih
harus ditambah dengan embel-embel ngutang jika ada kebutuhan mendesak.
Berbekal ijazah SMA, ia mendaftar menjadi
pegawai negeri dengan formasi tenaga administrasi. Beruntung, dengan sekali mendaftar
ia langsung berhasil lulus dan ditempatkan di salah satu kantor kecamatan sebagai
tenaga administrasi dengan pangkat II/a.
Kariernya sebagai sopir berawal ketika
Sufri menjadi Camat di kantor tempatnya bekerja. Sopir Sufri yang asli
berhalangan hadir karena kebetulan orang tuanya meninggal. Saat hendak pergi
melayat, Sufri mencari seseorang yang bisa mengantarnya agar ada orang yang memarkir
kendaraannya di tempat aman ketika ia measuki rumah duka. Kebetulan lokasi
rumah sang sopir asli berada di pinggir jalan protokol yang pasti sudah
dipenuhi kendaraan di kiri kanan jalan. Kalau ia sendiri yang berangkat, ia
khawatir mobilnya terparkir terlalu jauh. Dan itu menyulitkannya.
Barli memberanikan diri untuk mengambil
tugas itu. hitung-hitung pendekatan kepada sang Camat. Sebelum menjadi pegawai,
Barli pernah bekerja serabutan sebagai kondektur bis yang sesekali menjadi
sopir bantu angkutan umum antar kota dalam provinsi. Sehingga kemampuannya
mengemudi cukup memadai. Ternyata Sufri merasa lebih sreg kalau Barli yang
mengemudikan mobilnya. Karena kemampuannya mengemudi itulah, Sufri kemudian memintanya
menjadi driver resminya di kecamatan.
Bahkan karena Sufri menyenangi ketekunan
dan kejujurannya, Sufri memintanya untuk ikut kemanapun ia pindah. Lama
kelamaan, Sufripun sudah menganggapnya sebagai anggota keluarga sendiri. Barli
biasa sarapan dan makan siang di rumah Sufri. Hal itu sedikit banyak
meringankan beban ibunya yang sudah tua.
Saat Sufri mengundurkan diri, iapun
memilih berhenti menjadi sopir dan kembali menjadi staf administrasi. Sama
sekali tidak berminat untuk ikut ke majikan yang lain. Walau beberapa orang
kepala perangkat daerah memintanya. Dengan sangat menyesal, katanya, saya sudah
tidak berminat menjadi sopir.
Barli kembali menjadi sopir ketika Sufri
terpilih menjadi Wakil Bupati. Ia memang berjuang untuk itu. seluruh anggota
keluarga, handai tolan dan famili jauhnya diajak untuk mencoblos Sufri dan
pasangannya dalam Pemilu kepala Daerah. Meskipun mungkin tidak terlalu
berpengaruh terhadap keseluruhan perolehan suara, tapi Barli telah menunjukkan
loyalitasnya yang tinggi kepada Sufri.
Hanya satu persoalan yang masih
membelitnya. Ia belum berminat untuk menikah, walau kadang ia merasakan
dorongan libidonya tak tertahankan. Beberapa kali Sufri menawarkan bantuan
untuk menikahkannya selalu dia tolak. Saya
mau menikah dengan uang saya sendiri, pak. Sekarang masih kumpul-kumpul. Nanti
kalau saya sudah siap, saya akan sampaikan pada bapak. Katanya. Padahal,
tidak jarang Sufri bercerita tentang keterlambatannya menikah yang berdampak
pada pendidikan anak-anaknya kelak. Bayangkan, Li. Jika kamu sudah pensiun,
anak-anakmu justru butuh biaya yang lebih besar untuk pendidikannya, mau dikasi
apa? Kata Sufri selalu.
Acara pertemuan di kecamatan itu sudah
berlangsung lebih dari lima jam. Tiga jam sebelum makan siang dan sekarang satu
jam setelah makan siang. Entah apa yang mereka bahas di dalam sana. Barli tidak
mau tahu. Tugasnya hanya satu, mengantar Sufri kemanapun dengan menggunakan
mobil dinas.
Karena kelelahan menunggu di dalam
ruangan yang pengab dan sumpek, Barli memutuskan keluar areal kantor. Cari
angin, katanya dalam hati. Sambil menunggu Sufri yang sedang memimpin pertemuan
dengan camat yang dihadiri oleh kepala Desa dan lurah di Kantor Kecamatan,
Barli duduk menunggu atasannya di bawah sebuah pohon mangga yang besar yang
terletak di depan sebuah rumah panggung. Rumah itu terlihat kosong. Jadi Barli tidak
perlu merasa tidak nyaman. Ia bahkan membiarkan dirinya terkantuk-kantuk
dihembus angin sepoi-sepoi yang serta-merta menggodanya untuk berbaring. Tapi
ia menahan diri. Tidak etis berbaring di tempat terbuka seperti ini.
Jalanan poros yang berada di depan kantor
kecamatan terus menerus lengang.sangat jarang ada kendaraan yang lalu lalang.
Letak kecamatan yang memang merupakan kecamatan terjauh ini menjadi
penyebabnya. Mobil dinas sufri yang dikenudikannya di parkir di depan rumah
dengan pohon mangga besar di depannya, di mana ia duduk menunggu. Selain
beberapa unit sepeda motor terparkir di sekitar tempat itu, tak ada satupun
makhluk yang bergerak di luar kantor kecamatan itu.
Ktika tengah asyik bermain-main dengan
hand phonenya, sayup-sayup dari kejauhan, Barli mendengar suara sebuah sepeda
motor mendekat. Dari bunyi mesinnya, Barli bisa menduga bahwa orang yang sedang
naik sepeda motor itu bukan orang yang mahir. Bunyi mesinnya naik turun tidak
teratur. Sekitar satu setengah menit kemudian, sumber suara itu muncul.
Pengendaranya adalah seorang gadis. Mendekati lokasi tempatnya duduk, pengendara
sepeda motor itu melambat dan bermaksud berbelok ke rumah di mana pohon mangga
tempatnya bernaung berada.
Tiba-tiba, entah karena apa, pengendara
motor itu tiba-tiba terjatuh. Suara mesin motornya mati. Refleks Barli melompat
dan berlari mendekati gadis itu. Ia angkat sepeda motornya lalu memasang
standar sehingga benda itu berdiri. Selanjutnya ia mencoba menolong gadis yang
masih terduduk di jalanan sambil meringis kesakitan.
“Hey, kamu baik-baik saja?” Tanyanya,
agak sungkan. Apalagi setelah ia mnyadari bahwa gadis itu ternyata berparas
cantik dengan kulit putih mulus bagai pualam.
Sejenak gadis itu hanya dia memandangnya,
lali menjawab, “Iya. Mungkin cuma keseleo. Tolong dong, saya mau berdiri.”
Jawabnya, seraya mengulurkan tangan ke arah Barli. Barli terkesima melihat
tangan lembut berjari lentik itu ditawarkan kepadanya. Ia sentuh tangan itu
dari pergelangan lalu turun ke telapak tangan. Ia eratkan pegangannya lalu
dengan tenaga seperlunya, ia bantu gadis itu berdiri. Seolah terdorong oleh
gaya waktu ditarik oleh Barli, gadis itu terhuyung dan hampir roboh kembali,
tapi kali ini menuju ke badan Barli. Mau tidak mau, Barli terpaksa menangkap
tubuh sintal itu dan memegangnya dengan kedua tangan. Dada mereka beradu.
Aroma rambut dan tubuh gadis itu menyerbu
ke hidung Barli dan mempengaruhi saraf-saraf yang menuju ke pusat rangsangan
libidonya. Barli yang muda dan polos, serasa hendak menjerit dalam hati karena
senang. Wajahnya memerah. Tapi ia buru-buru menguasai diri dan berusaha
menjauh.
“Eh, maaf.” Katanya salah tingkah.
“Aku yang harusnya minta maaf.” Kata
gadis itu. “Terima kasih, sudah mau menolong.”
“Eh, oh.. iya. Bukan masalah.” Katanya. “Rumah
kamu di mana?”
“Itu.” jawab gadis itu, sambil menunjuk
rumah yang ada pohon mangga di depannya.
“Oh yang itu?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Sudah lebih dua jam aku duduk di bawah
pohon mangga itu.”
“O ya?”
Barli mengangguk.
“Masuklah. Biar aku yang bawa motor kamu
ke kolong rumah.” Gadis itu setuju dan berjalan terpincang-pincang menuju ke
tangga rumahnya. Barli lalu menuntun sepeda motor itu ke bawah kolong rumah
gadis itu, sementara si gadis sendiri naik dan membuka pintu.
“Naik yuk.” Ajak si gadis, suaranya terdengar ramah.
“Terima kasih. Lain kali saja. Saya
sedang menunggu atasan saya.”
“Siapa atasan kamu?”
“Pak Wakil Bupati.” Gadis itu tampak
bingung.
Barli lalu menjelaskan bahwa ia adalah
driver wakil bupati yang sedang dalam kunjungan kerja di kantor kecamatan yang
kebetulan ada di depan rumah gadis itu.
“O, kalau begitu tidak apa-apa dong kalau
kamu naik. Kan kalau acaranya selesai, kamu bisa langsung tahu karena kantornya
bisa terlihat dari sini.”
Barli berpikir sejenak, dalam hati ia
membenarkan pendapat gadis itu. Akhirnya iapun menurut. Lagipula siapa yang
tahan menolak ajakan gadis secantik itu? Ia naik ke rumah gadis itu. Pada
awalnya ia hanya bermaksud duduk di teras. Kebetulan di teras itu terdapat dua
buah kursi kayu dan sebuah meja. Tetapi gadis itu memaksanya masuk. Barlipun
memasuki ruang tamunya. Mereka berkenalan. Barli mendengar gadis itu menyebut
namanya dengan Bilkis. Dengan cepat ia menyebutkan bahwa namanya juga berawal
dengan huruf B. Gadis itu terlihat
antusias.
Gadis itu menyilakannya duduk, lalu
berjalan ke ruang dapur untuk menyiapkan minum. Barli memandangnya dari
belakang. Darahnya berdesir melihat pinggul gadis itu bergoyang indah. Matanya
lekat, hingga gadis itu kemudian menghilang dari pandangannya.
Diedarkannya pandangan berkeliling ke
seisi rumah. Rumah itu tergolong amat sangat sederhana, bahkan terlalu
sederhana. Pengaturan ruang-ruangnya masih berkonsep tradisional. Tidak ada
sama sekali kamar tidur. Ruang dapur yang berada di bagian belakang rumah itu
terlihat jelas dari tempatnya duduk. Dinding rumah itu hanya terbuat dari
bilah-bilah bambu yang ditetak sehingga bisa dilebarkan membentuk plat yang
berpori. Angin dari luar rumah bisa menerobos lewat celah-celah kecil itu
sehingga hawa panas tidak terlalu mengganggu.
Dua buah tempat tidur tampak terlihat
dari ruang tamu. Yang satu terlihat sudah mulai usang, diletakkan pada bagian
rumah yang lebih dalam, sedangkan yang satunya diletakkan di bagian tengah
rumah. Mungkin di sinilah gadis itu tidur. Barli membayangkan. Darahnya
mendesir membayangkan gadis itu tidur disitu.
Ruang tamunya sendiri hanya diisi dengan
dua set kursi tamu yang terbuat dari besi yang dudukan dan sandarannya diberi
jok. Tidak cukup tebal namun lumayan nyaman diduduki. Sebuah lemari pajangan
berisi peralatan makan dan minum menjadi penghias dengan beberapa bagian
kacanya sekaligus berfungsi sebagai pigura foto. Anehnya, Barli tidak melihat
ada foto gadis itu dari sekian banyak foto yang ada. Tapi Barli tidak ambil
pusing. Lemari pajangan itu juga menjadi sekat antara ruang tamu dengan ruang
tidur yang terbuka itu.
Siapa sangka di rumah seperti ini hidup
seorang gadis cantik dengan penampilan yang glamor dan modis seperti seorang
bintang sinetron? Ini bukan yang pertama kalinya Barli berada di kecamatan ini.
Ketika Sufri masih menjabat sebagai kepala dinas, ia juga sering mengantar
Sufri ke kecamatan ini. Tapi ia tidak pernah melihat gadis itu. Barangkali gadis
ini sekolah atau bekerja di tempat lain sehingga ia jarang berada di tempat
ini, pikirnya.
Gadis itu keluar dengan membawa nampan
berisi minuman dingin. Di bawah sorot sinar matahari yang terik dan hawa panas
yang membakar di luar rumah, minuman dingin memang merupakan sesuatu yang
paling didambakan oleh Barli saat ini. Dengan cepat, isi gelas itu sudah
berpindah ke dalam perutnya.
Selanjutnya mereka lalu berbincang
tentang berbagai hal. Pembawaan yang ramah dari gadis itu membuat Barli dengan
cepat merasa akrab. Mereka tertawa, mereka bercanda, dan itu membuat
batas-batas kecanggungan yang tadi mengantarai mereka mulai runtuh. Bahkan ketika
gadis itu mengeluh kakinya masih sakit karena keseleo akibat terjatuh tadi,
Barli tidak merasa sungkan menawarkan diri untuk mengurut kaki gadis itu.
Di luar dugaan Balir, gadis itu ternyata
setuju. Ia mengajak Barli ke tempat tidur terdekat setelah terlebih dahulu
memberinya minyak tawon. Di tempat tidur, Bilkis membaringkan diri.
Sementara Barli duduk di sisi
tempat tidur, tepat di mana kakinya berada.
Menggosok kaki gadis itu dengan minyak membuat
Barli kelimpungan. Ia mulai merasa tidak mampu mengendalikan sesuatu yang menggeliat
di selangkangannya. Betis dan paha yang tersingkap menampilkan kulit yang
bersinar, menyilaukan Barli. Terdorong oleh insting, tangannya tidak lagi
sekedar mengosok dan mengoleskan minyak. Ia membelai dan mengelus kulit mulus
itu hingga melewati lutut, nafas Barli memburu.
“Kak, Barli. Jangan terlalu ke atas,
dong.”
“Tidak apa-apa. Harus diurut sampai ke
situ. Nanti kakinya bengkak.” Barli bohong. Tangannya bergerak makin berani.
Apalagi dilihatnya gadis itu tidak terlalu berusaha menghalangi tangannya.
“Sudah, dong.”
“Sebelah lagi.”
“Yang sebelah nggak sakit.”
“Nanti menular loh, sini kakinya yang
sebelah juga diurut.” Itu adalah kebohongan terang-terangan yang pernah
diucapkan Barli kepada seseorang. Anehnya, si gadis membiarkan saja, dan
menyerahkan sebelah kakinya untuk diurut oleh Barli. Awalnya memang hanya
mengurut kaki hingga ke paha, namun tidak lama kemudian, tangan Barli tiba-tiba
berpindah ke lengan gadis itu. meremasnya perlahan.
“Yang itu gak sakit Kok, Kak Barli.”
Barli tidak menanggapi. Hanya tangannya
yang terus bergerak meremas lengan dan bahu gadis itu dengan lembut. Wajahnya perlahan
mendekati wajah gadis itu. Aroma rambut dan tubuh gadis itu kembali menyerbu
hidungnya, membuatnya lupa diri dan membuat akal sehatnya lupuh. Gadis itu
terdiam. Di mata Barli, gadis itu menunggu kelanjutan gerakannya. Ia mendekatkan bibirnya ke bibir gadis
itu. Persentuhan bibir itu menyetrum Barli. Ia mendorong gadis itu dan berusaha
menindihnya. Gadis itu mengeliat menghindar, tapi tidak meronta, apalagi
menampar wajahnya. Seolah ia hanya pura-pura berusaha menghindar. Tangan Barli yang
kokoh mendekapnya dengan erat.
Gadis itu merintih sambil menggerakkan
tubuhnya menjauh. Dalam pikiran Barli, itu bukan penolakan. Jika gadis itu
menolak, ia pasti sudah menjerit. Gumpalan syahwat merubung makin banyak di
otaknya dan itu membunya lupa diri. Tangannya mulai menerobos celah baju gadis
itu.
“Kak, jangan.” Bilkis berbisik, tapi
membiarkan tangan Barli beraksi.
Itu adalah lampu hijau paling terang yang
dilihat Barli. Dengan berani ia susupkan tangannya makin jauh ke dalam. Sekarang
atau tidak sama sekali. Mumpung masih ada waktu. Dengan bernafsu ia menciumi
bibir gadis itu dan ia merasa mendapat balasan yang setimpal.
Suara gaduh dari kantor kecamatan yang
memberi tanda bahwa acara sudah bubar, ditambah dengan dering telponnya,
membuat ia terpaksa menghentikan aksinya. Beberapa bagian pakaian gadis itu
sudah tersingkap, dan Barli hanya bisa memandanginya sambil menelan ludah. Ia
harus segera keluar. Barli kembali tersadar bahwa ia punya tugas yang harus dilaksanakan.
Dengan berat hati ia pamit dan berjanji
pada gadis itu bahwa kalau ada waktu luang, besok atau lusa, atau suatu hari nanti,
ia akan kembali berkunjung. Gadis itu setuju dan memberikan senyumnya yang
terindah sambil mengangkat tangan di samping telinganya dengan jempol dan kelingking
yang lurus sehingga membentuk seperti pesawat telpon. Barli paham bahwa gadis
itu minta ia menelponnya. Ia mengangguk senang sambil bergegas turun.
Inilah jodohku. Pikirnya dalam hati. Ya
ini mungkin jodohku. Kalau tidak, mengapa gadis itu tiba-tiba muncul dalam
kehidupannya dan membuka jalan kebersamaan baginya dengan cara yang begitu
mudah dan begitu menggairahkan?
Sufri naik ke dalam mobil. Ia dan ajudan
menyusul kemudian. Sesudah Camat dan para pengantar memberi hormat pada Sufri,
ia menjalankan mobilnya menuju ke ibukota kabupaten. Sempat dilayangkan pandangan ke rumah Bilkis dan mendapati
gadis itu melambai kepadanya sambil tersenyum. Ia hanya bisa tersenyum, walau
tak yakin gadis itu bisa melihatnya. Hati Barli berbunga-bunga.
Barli mengemudi dengan santai, seperti
biasa, dan seperti yang selalu diminta oleh Sufri. Hargai nyawa orang lain. Tapi yang utama, hargai nyawamu sendiri.
Begitu selalu pesan Sufri kepadanya. Ajudan Wakil Bupati duduk di sisi kirinya.
Sufri sendiri duduk di jok belakang dan sedang sibuk menelpon seseorang.
Tidak sampai lima belas menit kemudian, tiba-tiba
ia merasa jalanan di hadapannya bercabang dua. Ia mengerjapkan matanya beberapa
kali, sambil berusaha tetap fokus, Namun penglihatannya justru makin kabur. Kepalanya
terasa sangat berat. Hawa dingin yang menyembur dari air conditioner mobil menyesakkan dadanya. Dengan sisa-sisa
kesadaran yang masih dimilikinya, ia mencoba menginjak pedal rem. Mobil itu
berhenti mendadak dengan suara ban berdecit ketika karet bannya bergesekan keras
dengan aspal.
Ajudan Wakil Bupati terdorong ke depan
sehingga kepalanya membentur kaca depan mobil. Sementara itu Sufri yang sedang
asyik menelpon dan sama sekali tidak siap dengan kejadian itu terlontar dari
tempat duduknya. Untung badannya tertahan oleh jok depan yang diduduki oleh
Ajudan. Telpon genggamnya terpental.
Sebelum Sufri memperbaiki posisi dan menyadari
apa yang sedang terjadi, enam orang pengendara sepeda motor muncul dari
belakang. Keenam orang itu berhenti lalu meninggalkan sepeda motor mereka
begitu saja menuju ke mobil Dinas Sufri. Sufri tidak bisa melihat wajah mereka
karena semuanya menggunakan penutup kepala dan wajah berwarna hitam. Hanya satu
hal yang bisa Sufri perhatikan, badan mereka gempal dan berotot.
Ada dua orang yang mendatangi setiap
pintu. Seorang diantaranya bertugas membuka pintu, sementara seorang lainnya
meraih Barli dan Ajudan lalu menariknya keluar dari mobil. Barli tidak berkutik. Ia sudah pingsan
sebelum mobilnya berhenti. Sedangkan ajudannya masih sempat meronta, namun
karena ia belum pulih benar akibat benturan kepala di kaca depan mobil, dengan
cepat iapun dilumpuhkan oleh orang yang meringkusnya.
Sufri melihat kejadian itu dengan
pandangan tidak percaya. Semua berjalan begitu cepat. Ia sama sekali tidak
siap. Namun ia berusaha membuat pikirannya tetap jernih. Ia meraih sebuah obeng
dari kantong jok di depannya lalu dengan cepat ia menyelinap ke belakang jok
tempatnya tadi duduk. Orang-orang yang memburunya mendapati tempat itu kosong.
Sufri membuka pintu belakang mobil lalu
melompat keluar. Seseorang melihatnya. Orang itu berteriak memanggil
rekan-rekannya. Empat orang pria besar mendatanginya. Persis seperti empat ekor
singa jantan merubung seekor rusa.
Sufri berusaha sebisanya menyembunyikan
obeng di tangannya. Sepertinya usaha itu berhasil karena tak seorangpun
penyerangnya terlihat memperhatikan tangan kanannya. Ketika salah seorang pria
besar mendekat dan bermaksud meringkusnya, secepat kilat tangannya bergerak
menikam dada pria itu berkali-kali. Terakhir, obeng itu tertanam cukup dalam
dan terlepas dari tangan Sufri. Pria itu memandang obeng yang menancap di dadanya
dengan pandangan tidak percaya. Darah menyembur dari lukanya. Ia mundur
memegangi benda itu sambil terhuyung sebelum akhirnya terjatuh dan bersandar di
roda mobil dinas Sufri.
Tiga orang rekannya juga tak kalah kagetnya.
Sesaat mereka terkesima, lalu seorang di antara mereka mengeluarkan senjata
tajam. Mereka serentak mengepung Sufri. Sekarang mereka jauh lebih waspada. Dua
orang lainnya yang sudah melumpuhkan Barli dan Ajudan Bupati turut membantu.
Mereka tidak punya banyak waktu, dan fakta bahwa Sufri sudah tidak punya
senjata sama sekali, adalah peluang yang tidak boleh disia-siakan. Empat orang
menyerbu Sufri secara bersamaan dan berusaha meringkusnya. Meski bernyali besar
dan pantang mundur, Sufri bukan tandingan empat orang berbadan kekar itu.
dengan cepat keempat orang itu berhasil memegangi kedua tangannya, sehingga
yang seorang bisa dengan leluasa memukul dan menendang kepala dan tubuh Sufri.
Kepala Sufri terkulai dengan darah
mengucur dari hidung, mulut dan matanya. Terakhir, si pria yang memegang
senjata tajam menikam Sufri tepat di ulu hati. Dua orang rekannya melepaskan
pegangan mereka terhadap tangan Sufri. Sufripun roboh tak berdaya.
Salah seorang pria besar itu memeriksa
nadi di leher Sufri. Tangannya menempel di bawah dagu Sufri. Selang beberapa
saat kemudian, ia memberi isyarat dengan jari tangan berbentuk huruf ‘O’ yang
dipahami oleh rekannya bahwa Sufri
telah tewas.
Sebelum meninggalkan tempat itu mereka menjarah
barang-barang berharga, baik yang ada di mobil maupun yang menempel di tubuh atau
pakaian Sufri, Barli dan ajudan wakil bupati. Rekan mereka yang terluka hanya terdiam,
dengan tangan masih membekap luka di dadanya. Matanya memandang kosong ke depan
tanpa berkedip. Darah segar membanjir di dada dan perutnya. Panggilan temannya
yang bermaksud kabur sama sekali tak dihiraukannya. Salah seorang rekannya
datang menghampiri, meraba nadinya sejenak lalu mengangkat ibu jari yang
kemudian dibalik menghadap ke bawah. Rekan lainnya memahami tanda itu bahwa
yang bersangkutan telah tewas.
Tinggalkan saja, cepat. Kita harus pergi.
Seru seseorang yang memimpin kawanan itu. Sepeda motor mereka menggerung
meninggalkan tempat itu
Sebuah pesan singkat masuk di ponsel
Ibong: ‘Target sudah dibereskan.’ Saat itu, cahaya matahari sudah memerah di
langit barat.
No comments:
Post a Comment