Tuesday 24 January 2012

Chapter Twenty Eight


Berita tentang perampokan terhadap Sufri dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru daerah. Bahkan melintas hingga ke daerah tetangga dan ibukota provinsi. Banyak pihak menyampaikan pernyataan simpati atas peristiwa yang menghebohkan itu.

Koresponden dan reporter berbagai media massa, baik nasional, regional maupun lokal sibuk mengumpulkan informasi, mewawancarai narasumber dan bertanya ke sana kemari agar bisa segera menyusun berita untuk disampaikan kepada redaktur mereka agar esok pagi berita itu muncul sebagai head line. Media elektronik bahkan melakukan liputan langsung dari TKP, rumah sakit umum daerah dan dari kediaman dinas Sufri.
Imran dan istrinya, Ketua DPRD beserta ibu, Sekretaris Daerah serta sejumlah kepala perangkat daerah beserta istrinya masing-masing sudah berdatangan ke rumah sakit untuk membezuk sekaligus mencari tahu kondisi terakhir Sufri.
Peristiwa perampokan itu pertama kali dilaporkan oleh seorang pria paruh baya bernama Beddu. Tadinya, ia juga mengikuti pertemuan di Kantor Kecamatan dengan Sufri. Kebetulan ia menjabat sebagai kepala dusun di salah satu desa di kecamatan itu. Usai acara, ia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari Kantor Camat lalu pamit pada istrinya untuk menjenguk anak mereka yang sekolah di kota.
Saat mengendarai sepeda motor dan melewati jalan tempat terjadinya perampokan itulah ia mendapati wakil bupati, ajudan dan sopirnya tergeletak di jalanan. Bersama mereka juga ada seorang pria lainnya yang terduduk bersandar di salah satu roda mobil. Ia segera menghubungi kepala desanya untuk melaporkan peristiwa itu. Kapolsek juga dia lapori. Sebagai kepala dusun, ia memang sering berhubungan dengan polsek untuk urusan-urusan keamanan warganya. Ia juga menghubungi kepala Puskesmas agar datang memberikan pertolongan pertama.
Kepala Desa, Kapolsek dan Dokter tiba dalam waktu yang hampir bersamaan. Mereka langsung memeriksa keadaan empat orang yang terluka. Ternyata dua orang di ataranya, yaitu Sufri dan seorang pria bertopeng yang badannya kekar berotot yang kondisinya sangat kritis. Sepintas lalu keduanya bahkan sudah tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ajudan wakil bupati hanya mengalami luka ringan, karena sepertinya memang hanya dibuat tidak berdaya. Sedangkan Barli, relatif tidak terluka, karena sebelum peristiwa itu terjadi, ia sudah pingsan lebih dahulu, tapi dari mulutnya keluar cairan seperti busa berwarna putih.
Dengan bantuan peralatan seadanya, dokter puskesmas melakukan tindakan gawat darurat yang diperlukan agar Sufri, Barli dan orang bertopeng itu bisa bertahan hingga tiba di rumah sakit umum daerah di kota. Sebuah ambulance yang disiapkan oleh kepala Puskesmas meraung ketika membawa tubuh keempat orang itu menuju Rumah Sakit Umum Daerah.
Tidak lama kemudian, tempat itu sudah dipenuhi oleh warga yang ingin menyaksikan kejadian itu dari dekat. Untunglah Kapolsek sudah memasang batas berupa garis polisi yang mengisolasi tempat itu dari gangguan dan terobosan massa.
Laporan kejadian dari kapolsek ke kapolres itu segera direspon. Kapolres memerintahkan agar seluruh akses keluar daerah di semua jalan poros ditutup. Ia juga memerintahkan anggotanya untuk mengawasi jalan-jalan keluar alternatif yang tersebar di beberapa kecamatan.
Kapolres lalu memerintahkan tim Buser untuk melakukan penyisiran di sekitar lokasi kejadian untuk mencari kemungkinan masih adanya pelaku di sekitar TKP. Sebuah tim lain yang dipimpin langsung oleh Kasat Serse melakukan olah TKP. Mereka memeriksa jejak ban, jejak kaki, sidik jari atau apapun yang tersisa dari TKP yang bisa memberikan petunjuk tentang pelaku perampokan itu.
Sufri masih terbaring tidak sadarkan diri di ruang tindakan IGD Rumah Sakit Umum Daerah. Sejumlah dokter dan perawat berjuang menyelamatkan nyawanya. Namun sesudah semua upaya yang dilakukan, mereka berkesimpulan bahwa Sufri harus dilarikan ke rumah sakit umum pusat di Provinsi untuk mendapatkan perawatan yang lebih berkualitas.
“Tunggu sampai istrinya datang.” Kata seorang dokter. “Kita membutuhkan tanda tangannya untuk persetujuan.”
“Tidak usah.” Kata Imran. “Saya yang bertanggung jawab. Bawa saja sekarang. Setiap detik terlalu berharga untuk disia-siakan” Katanya tegas.
Sebuah ambulance berukuran besar segera disiapkan dan akan membawa Sufri menuju ke ibukota Provinsi. Ketika Naimah tiba dan mencari suaminya, Imran dan Nurani memberikan penjelasan bahwa Sufri harus segera dibawa ke Makassar tanpa menunggu persetujuannya karena kondisinya sangat kritis. Setiap detik terlalu berharga untuk disia-siakan. Apalagi jika hanya sekedar menunggu tanda tangan. Nyawa Pak Wakil Bupati penting untuk kita semua, kata Imran. Naimah hanya tertunduk sambil terus terisak, ditemani dua orang anaknya. Nurani, Istri Imran terus menghiburnya. Kita akan segera menyusul ke Makassar, katanya.
Mobil pribadi Imran digunakan untuk mengantar Naimah ke Makassar ditemani oleh Nurani, Istri Imran. Sepanjang perjalanan Naimah dan anak-anaknya tak pernah berhenti berdoa atas keselamatan suaminya. Mobil mewah berkecepatan tinggi itu nyaris berhasil menyusul ambulance yang membawa Sufri. Dalam waktu yang hampir bersamaan, mereka tiba di rumah sakit umum pusat dan Sufri segera mendapatkan perawatan yang semestinya. Nyawa Sufri berhasil diselamatkan. Naimah menangis karena bahagia. 

No comments:

Post a Comment