Monday 30 January 2012

Chpater Fourty Three


Tenri berteriak keras, dengan ayunan penuh, bola itu dipukul tepat ke arah posisi Edo berdiri. Edo tidak berkutik. Upayanya menahan bola itu dengan half volley gagal. Bola itu meluncur cepat melewati celah antara kaki kanan dan raketnya. Edo berbalik untuk memungut bola yang sudah memantul di tembok belakang lapangan. Ketika ia kembali menghadap ke tengah lapangan, ia tidak melihat Tenri di posisi yang semestinya. Matanya mencari, dan terbelalak ketika Tenri masih berada di posisi terakhir ia lihat. Tapi kini dalam keadaan tertelungkup.

Edo berteriak memanggil namanya, mengagetkan semua orang yang ada di lapangan Tennis itu. Edo segera berlari mendekati gadis itu. Ragu-ragu ia menyentuh bahu Tenri.
“Tenri, Tenri....” tidak ada jawaban.
“Tenri....,” masih tidak ada jawaban. Edo mencoba membalikkan tubuh itu. Wajah Tenri terlihat pucat dengan bibir kebiruan. Edo panik. Ia raba nadi dipergelangan tangan Tenri. Denyutnya lemah. Sementara itu nafas Tenri terlihat tersendat dan tertahan di tenggorokan. Tenri sama sekali sudah tidak sadar. Edo mencari Sangkala, yang ternyata juga sudah berlari mendekat ke tempat itu bersama orang lain.
“Ngka, Telpon dokter! Telpon dokter! Cepat!” Teriak Edo.
“Bawa saja ke rumah sakit,” sahut seseorang
“Telpon pak Bupati, kata seseorang lagi.”
“Nanti saja, bawa dulu ke rumah sakit,” menyanggah yang lain
“Ya bawa ke rumah sakit.”
“Siapkan mobil, cepat.” Jerit Edo.
Seseorang berlari membawa kunci mobil dan menyalakan mesin mobil terdekat dari lapangan, “Ya, yang itu saja. Yang terdekat.”
Suara orang-orang berbicara itu terdengar panik.
Dengan dibantu beberapa orang, Edo membopong Tenri ke mobil tersebut. Edo sendiri ikut naik di mobil tersebut dan memangku Tenri di pangkuannya. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, ia terus menyalahkan dirinya sendiri, kenapa di hari ini ia melayani permainan keras gadis itu. Tapi ia ingat kembali, gadis itu sendiri yang menantangnya. Keluarkan pukulan terbaikmu, Edo. Katanya tadi. Edo tidak terpancing, dan tetap menjaga power pukulannya walau ia mulai mengarahkan bola ke sudut-sudut lapangan. Dengan penuh semangat Tenri berlari ke sana ke mari mengejar bola hingga akhirnya ia terjatuh di tengah lapangan.
Ban mobil berdecit ketika berbelok memasuki halaman rumah sakit umum daerah dan kembali berdecit nyaring ketika berhenti tepat di depan instalasi Gawat Darurat. Beberapa orang perawat membawa brankar mendekati pintu mobil yang terbuka. Beberapa perawat segera meraih tubuh Tenri yang berada di pangkuan Edo dan membaringkannya di brankar. Brankar itu segera dilarikan menuju ruang observasi. Dokter jaga dan perawat di instalasi gawat darurat segera melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Sebuah selang infus mengalirkan cairan melalui nadi Tenri. Masker oksigen dikalungkan dan dihubungan dengan selang pada sebuah tabung yang memompa zat asam secara simultan. 
Denyut nadi lima puluh, Tekanan darah 90/60 mmHg, suhu tubuh di bawah 36 degree. Pernapasan 16 kali permenit. Seru beberapa orang perawat hampir bersamaan setelah melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital terhadap Tenri. Seorang perawat lainnya mencatat angka-angka itu pada selembar kartu rekam medis yang telah dibubuhi nama Tenri.
Pintu dan tirai ditutup. Dokter dan beberapa orang perawat bergumul dengan berbagai peralatan medis, berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa Tenri. Wajah Edo masih terlihat tegang. Menunggu di depan ruang tindakan dengan perasaan tidak menentu. Bayangan wajah Imran dan istrinya yang murka tak dapat ia singkirkan dari benaknya. Semua orang pasti menyalahkannya.
Sangkala muncul di ruang tunggu itu dan memberitahu Edo bahwa Pak Bupati sudah diinformasikan mengenai kejadian yang menimpa anaknya. Sekarang dalam perjalanan dari rumah dinas menuju ke rumah sakit ini.
Edo berterima kasih pada Sangkala. Barang-barangnya aman bersama Sangkala.
Imran dan istrinya menyerbu memasuki ruang tunggu. Edo berdiri menyambutnya, tapi tidak bisa berkata apa-apa?
“Bagaimana, Do?” Tanya Imran. Istrinya mendekati pintu tapi dicegah oleh seorang perawat.
“Belum tahu, pak sementara masih ditangani sama dokter.”
“Kita harus segera membawanya ke Makassar.” Kata Imran kepada istrinya. Edo terdiam dan menyetujui bahwa itu keputusan yang tepat. Fasilitas pelayanan kesehatan di daerah ini memang masih sangat minim.
Meski terlihat khawatir, Imran dan Istrinya tidak menampakkan reaksi berlebihan seperti yang dibayangkan Edo. Ya, Edo membayangkan ibunya akan pingsan, dan ayahnya akan memakinya habis-habisan karena dialah penyebab sakitnya Tenri. Dari sikap Imran dan Istrinya, Edo menangkap isyarat bahwa ini bukan kejadian pertama yang terjadi pada Tenri. Hal itu agak menenangkannya.  Berarti colapsnya Tenri bukan sepenuhnya salahnya.
“Untung kejadiannya pas saat kamu sama dia, Do.” Edo terkejut. Imran tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Edo berdiri, menawarkan tempat duduknya dengan sopan. Tapi Imran menolak dan memberi isyarat agar Edo tetap duduk. Edo hanya mengangguk hormat.
“Dia memang sering kena serangan seperti itu. Sejak dulu, sejak masih kecil.” Kata Imran pada Edo.
“Oo... “ Edo melongo.
“Anehnya, tidak ada dokter yang tahu penyakitnya.” Lanjut Imran. “Kami sudah berusaha mengobatinya kemana-mana, tapi tidak berhasil. Dari yang paling tradisional sampai yang paling canggih, semua gagal.”
Edo terdiam, tidak tahu mau bicara apa. Ia hanya memusatkan perhatian pada setiap patah kata yang disampaikan oleh Imran. Nurani, Istri Imran duduk di salah satu sudut ruangan, ditemani beberapa orang istri kepala perangkat daerah yang sudah mulai berdatangan.
“Kadang saya berpikir Tuhan tidak adil pada Tenri. Dia satu-satunya anak yang kami miliki, tapi kebugaran fisiknya tak pernah benar-benar prima. Ia harus mengonsumsi banyak obat-obatan setiap hari agar bisa tetap berdiri.” Jelas Imran. Matanya nampak berkaca-kaca. “Itu juga alasan utamanya, kenapa kami tak terlalu kecewa ia tidak melanjutkan pendidikan di Australia. Kami lebih senang dia tetap ada di sini dan setiap saat bisa menjaganya.”
Di hadapan Edo, Imran berusaha tegar. Tapi Edo bisa menangkap kerapuhan pria itu akibat penyakit anaknya. Edo sungguh bisa memahami apa yang dirasakan Imran. Pengalaman bersama ayahnya memberikan cukup banyak wawasan tentang arti seorang anak bagi orang tuanya.
“Terima kasih, Edo. Selama beberapa bulan terakhir ini, dia terlihat sangat bahagia. Dia banyak cerita tentang kamu di rumah.”
“Saya juga berterima kasih, pak. Diberi kesempatan untuk menjadi sahabat Tenri.”
Dokter yang menangani Tenri keluar dari ruangan observasi dan mencari keluarga pasien. Imran dan Istrinya mendekati dokter itu.
“Pak Bupati, sementara ini kami hanya bisa menjaga agar kondisinya tidak bertambah buruk. Kami sarankan ananda segera dirujuk ke Makassar untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif.”
“Iya, dok. Terima kasih. Kami memang akan membawanya sekarang.”
Ambulance yang membawa Tenri berangkat sekitar satu jam kemudian diikuti mobil Imran. Malam mulai turun, dan kegelapan mulai menyelimuti kompleks rumah sakit itu, ketika kedua mobil itu menghilang dari pandangan Edo. Bersama Sangkala, Edo meninggalkan rumah sakit itu dan kembali ke rumah kontrakannya.
Dari informasi yang diberikan oleh ajudan Imran yang ikut dalam rombongan itu melalui pesan singkat, Edo tahu bahwa Tenri bukannya dibawa ke salah satu Rumah Sakit yang ada di Makassar, melainkan langsung diterbangkan ke Singapura.  

No comments:

Post a Comment