Tenri berteriak keras, dengan ayunan
penuh, bola itu dipukul tepat ke arah posisi Edo berdiri. Edo tidak berkutik.
Upayanya menahan bola itu dengan half volley gagal. Bola itu meluncur cepat
melewati celah antara kaki kanan dan raketnya. Edo berbalik untuk memungut bola
yang sudah memantul di tembok belakang lapangan. Ketika ia kembali menghadap ke
tengah lapangan, ia tidak melihat Tenri di posisi yang semestinya. Matanya
mencari, dan terbelalak ketika Tenri masih berada di posisi terakhir ia lihat.
Tapi kini dalam keadaan tertelungkup.
Edo berteriak memanggil namanya,
mengagetkan semua orang yang ada di lapangan Tennis itu. Edo segera berlari
mendekati gadis itu. Ragu-ragu ia menyentuh bahu Tenri.
“Tenri, Tenri....” tidak ada jawaban.
“Tenri....,” masih tidak ada jawaban. Edo
mencoba membalikkan tubuh itu. Wajah Tenri terlihat pucat dengan bibir
kebiruan. Edo panik. Ia raba nadi dipergelangan tangan Tenri. Denyutnya lemah.
Sementara itu nafas Tenri terlihat tersendat dan tertahan di tenggorokan. Tenri
sama sekali sudah tidak sadar. Edo mencari Sangkala, yang ternyata juga sudah
berlari mendekat ke tempat itu bersama orang lain.
“Ngka, Telpon dokter! Telpon dokter!
Cepat!” Teriak Edo.
“Bawa saja ke rumah sakit,” sahut
seseorang
“Telpon pak Bupati, kata seseorang lagi.”
“Nanti saja, bawa dulu ke rumah sakit,”
menyanggah yang lain
“Ya bawa ke rumah sakit.”
“Siapkan mobil, cepat.” Jerit Edo.
Seseorang berlari membawa kunci mobil dan
menyalakan mesin mobil terdekat dari lapangan, “Ya, yang itu saja. Yang
terdekat.”
Suara orang-orang berbicara itu terdengar
panik.
Dengan dibantu beberapa orang, Edo
membopong Tenri ke mobil tersebut. Edo sendiri ikut naik di mobil tersebut dan
memangku Tenri di pangkuannya. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, ia terus
menyalahkan dirinya sendiri, kenapa di hari ini ia melayani permainan keras
gadis itu. Tapi ia ingat kembali, gadis itu sendiri yang menantangnya.
Keluarkan pukulan terbaikmu, Edo. Katanya tadi. Edo tidak terpancing, dan tetap
menjaga power pukulannya walau ia
mulai mengarahkan bola ke sudut-sudut lapangan. Dengan penuh semangat Tenri
berlari ke sana ke mari mengejar bola hingga akhirnya ia terjatuh di tengah
lapangan.
Ban mobil berdecit ketika berbelok
memasuki halaman rumah sakit umum daerah dan kembali berdecit nyaring ketika
berhenti tepat di depan instalasi Gawat Darurat. Beberapa orang perawat membawa
brankar mendekati pintu mobil yang terbuka. Beberapa perawat segera meraih
tubuh Tenri yang berada di pangkuan Edo dan membaringkannya di brankar. Brankar
itu segera dilarikan menuju ruang observasi. Dokter jaga dan perawat di
instalasi gawat darurat segera melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Sebuah
selang infus mengalirkan cairan melalui nadi Tenri. Masker oksigen dikalungkan
dan dihubungan dengan selang pada sebuah tabung yang memompa zat asam secara
simultan.
Denyut nadi lima puluh, Tekanan darah
90/60 mmHg, suhu tubuh di bawah 36 degree. Pernapasan 16 kali permenit. Seru
beberapa orang perawat hampir bersamaan setelah melakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital terhadap Tenri. Seorang perawat lainnya mencatat angka-angka
itu pada selembar kartu rekam medis yang telah dibubuhi nama Tenri.
Pintu dan tirai ditutup. Dokter dan
beberapa orang perawat bergumul dengan berbagai peralatan medis, berpacu dengan
waktu untuk menyelamatkan nyawa Tenri. Wajah Edo masih terlihat tegang.
Menunggu di depan ruang tindakan dengan perasaan tidak menentu. Bayangan wajah
Imran dan istrinya yang murka tak dapat ia singkirkan dari benaknya. Semua
orang pasti menyalahkannya.
Sangkala muncul di ruang tunggu itu dan
memberitahu Edo bahwa Pak Bupati sudah diinformasikan mengenai kejadian yang
menimpa anaknya. Sekarang dalam perjalanan dari rumah dinas menuju ke rumah
sakit ini.
Edo berterima kasih pada Sangkala.
Barang-barangnya aman bersama Sangkala.
Imran dan istrinya menyerbu memasuki
ruang tunggu. Edo berdiri menyambutnya, tapi tidak bisa berkata apa-apa?
“Bagaimana, Do?” Tanya Imran. Istrinya
mendekati pintu tapi dicegah oleh seorang perawat.
“Belum tahu, pak sementara masih
ditangani sama dokter.”
“Kita harus segera membawanya ke
Makassar.” Kata Imran kepada istrinya. Edo terdiam dan menyetujui bahwa itu
keputusan yang tepat. Fasilitas pelayanan kesehatan di daerah ini memang masih
sangat minim.
Meski terlihat khawatir, Imran dan
Istrinya tidak menampakkan reaksi berlebihan seperti yang dibayangkan Edo. Ya,
Edo membayangkan ibunya akan pingsan, dan ayahnya akan memakinya habis-habisan
karena dialah penyebab sakitnya Tenri. Dari sikap Imran dan Istrinya, Edo
menangkap isyarat bahwa ini bukan kejadian pertama yang terjadi pada Tenri. Hal
itu agak menenangkannya. Berarti
colapsnya Tenri bukan sepenuhnya salahnya.
“Untung kejadiannya pas saat kamu sama
dia, Do.” Edo terkejut. Imran tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Edo
berdiri, menawarkan tempat duduknya dengan sopan. Tapi Imran menolak dan
memberi isyarat agar Edo tetap duduk. Edo hanya mengangguk hormat.
“Dia memang sering kena serangan seperti
itu. Sejak dulu, sejak masih kecil.” Kata Imran pada Edo.
“Oo... “ Edo melongo.
“Anehnya, tidak ada dokter yang tahu
penyakitnya.” Lanjut Imran. “Kami sudah berusaha mengobatinya kemana-mana, tapi
tidak berhasil. Dari yang paling tradisional sampai yang paling canggih, semua
gagal.”
Edo terdiam, tidak tahu mau bicara apa.
Ia hanya memusatkan perhatian pada setiap patah kata yang disampaikan oleh
Imran. Nurani, Istri Imran duduk di salah satu sudut ruangan, ditemani beberapa
orang istri kepala perangkat daerah yang sudah mulai berdatangan.
“Kadang saya berpikir Tuhan tidak adil
pada Tenri. Dia satu-satunya anak yang kami miliki, tapi kebugaran fisiknya tak
pernah benar-benar prima. Ia harus mengonsumsi banyak obat-obatan setiap hari
agar bisa tetap berdiri.” Jelas Imran. Matanya nampak berkaca-kaca. “Itu juga
alasan utamanya, kenapa kami tak terlalu kecewa ia tidak melanjutkan pendidikan
di Australia. Kami lebih senang dia tetap ada di sini dan setiap saat bisa
menjaganya.”
Di hadapan Edo, Imran berusaha tegar.
Tapi Edo bisa menangkap kerapuhan pria itu akibat penyakit anaknya. Edo sungguh
bisa memahami apa yang dirasakan Imran. Pengalaman bersama ayahnya memberikan
cukup banyak wawasan tentang arti seorang anak bagi orang tuanya.
“Terima kasih, Edo. Selama beberapa bulan
terakhir ini, dia terlihat sangat bahagia. Dia banyak cerita tentang kamu di
rumah.”
“Saya juga berterima kasih, pak. Diberi
kesempatan untuk menjadi sahabat Tenri.”
Dokter yang menangani Tenri keluar dari
ruangan observasi dan mencari keluarga pasien. Imran dan Istrinya mendekati
dokter itu.
“Pak Bupati, sementara ini kami hanya
bisa menjaga agar kondisinya tidak bertambah buruk. Kami sarankan ananda segera
dirujuk ke Makassar untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif.”
“Iya, dok. Terima kasih. Kami memang akan
membawanya sekarang.”
Ambulance yang membawa Tenri berangkat
sekitar satu jam kemudian diikuti mobil Imran. Malam mulai turun, dan kegelapan
mulai menyelimuti kompleks rumah sakit itu, ketika kedua mobil itu menghilang
dari pandangan Edo. Bersama Sangkala, Edo meninggalkan rumah sakit itu dan
kembali ke rumah kontrakannya.
Dari informasi yang diberikan oleh ajudan Imran yang ikut
dalam rombongan itu melalui pesan singkat, Edo tahu bahwa Tenri bukannya dibawa
ke salah satu Rumah Sakit yang ada di Makassar, melainkan langsung diterbangkan
ke Singapura.
No comments:
Post a Comment