Thursday 5 January 2012

Chapter Five


Di dalam ruang kantornya, di sebuah meja rapat yang berbentuk lingkaran, Sufri membuat coret-coretan di atas kertas, berisi rencana untuk menghindari terjadinya kebocoran anggaran pada tahun ini. ‘Penyakit’ yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan sudah berurat berakar di dalam tubuh birokrasi di daerah ini harus segera diakhiri. Mark up, gratifikasi, dan berbagai modus korupsi lainnya sudah menjadi budaya, dan itu harus dihentikan sekarang. Apalagi perintah Imran sangat jelas dan tegas: Tangani!

Di hadapannya, seorang pria berusia sekitar 50 tahun duduk sambil mengamati sejumlah dokumen yang rata-rata setebal tujuh hingga delapan centi. Lembar demi lembar diamati, ditandai dengan tinta berwarna terang, kadang dilipat, lalu beralih ke halaman lain atau ke dokumen lain. Seorang pegawai lainnya, berusia jauh lebih muda, sedang mengoperasikan komputer. Jemarinya lincah bergerak di atas tombol-tombol keyboard. Padangannya sesekali berpindah dari layar ke dokumen-dokumen yang ada didekatnya.
APBD tahun ini sudah terlanjur ditetapkan sebelum pelantikan Bupati dan Wakil Bupati. Tapi Sufri melihat banyak item belanja dan pembiayaan yang tidak rasional. Dari struktur APBD ini Sufri tahu, bahwa dari seluruh dana yang dianggarkan dalam APBD tersebut, sekitar 60-an persen habis untuk membayarkan gaji dan tunjangan bagi pegawai negeri. Sisanya, 40-an persen, yang seharusnya digunakan untuk program pembangunan, masih digerogoti dengan operasional kegiatan yang seluruhnya hanya dinikmati oleh pegawai dan pejabat yang melaksanakan kegiatan itu dengan nilai mencapai 30 persen. Itu berarti, tinggal 70 persen dari yang 40 persen yang benar-benar bisa dibelanjakan untuk pengadaan modal barang dan jasa. Namun jika ditelusuri lebih jauh, manfaat belanja modal barang dan jasa itu sendiri belum tentu berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Dengan komposisi seperti itu, apa yang bisa dihasilkan oleh sebuah pemerintahan? Apa yang bisa diberikan kepada rakyat selaku pemilik kedaulatan bangsa ini? Lalu apa perlunya daerah ini tetap eksis? Dan untuk apa ada Bupati, ada Wakil Bupati dan seluruh pejabat birokrasi? Untuk apa mereka dihidupi, diberi fasilitas mewah yang dibiayai dari uang negara?
Sufri sudah bertekad, bahwa APBD yang ada sekarang harus segera direvisi. Walau jarang proses perubahan APBD terjadi di awal-awal tahun anggaran, namun bagi Sufri itu bukan masalah. Itulah bukti kesungguhan mereka, pasangan pemimpin yang baru dilantik, untuk melakukan perbaikan secara sistematis, langsung dari dasarnya.
“Ok, Pak Arfah, kita mulai dengan biaya-biaya umum.” Kata Sufri, seraya membuka salah satu dokumen tebal yang ada di hadapannya. Kepala Bagian Keuangan yang dipanggil Arfah itu mengambil dokumen lain yang serupa. Sementara stafnya yang mengoperasikan komputer bersiap menunggu.
“Perjalanan Dinas luar daerah... kurangi enam puluh persen.” Ia menandai beberapa halaman dengan tinta warna, diikuti oleh Arfah. “Makan minum rapat dan makan minum tamu... kurangi lima puluh persen. Alat Tulis Kantor... tujuh puluh persen. Kendaraan Dinas, seratus persen...”
Staf yang mengoperasikan komputer menyesuaikan angka-angka yang ada dilayar dengan mengurangi prosentasenya sesuai petunjuk Sufri. Lalu hasil pengurangan itu diakumulasikan secara keseluruhan. “Sudah, pak.” Katanya.
“Berapa hasilnya?”
“Delapan milyar, enam ratus tiga puluh juta.” Jawab si operator komputer.
“Bagus. Sekarang kita pindah pada honor-honor kegiatan. Biasanya yang terima honor banyak, tapi yang kerja sedikit. Jadi semua jumlah honor dikurangi 70 persen. Dengan sisa tiga puluh persen ini, tinggal yang benar-benar bekerja yang akan diberi honor.”
“Baik, pak.”
“Sekarang berapa hasilnya?”
“Tiga milyar seratus empat puluh juta.”
“Itu angka yang lumayan besar, Pak Arfah. Ok. Untuk sementara saya kira cukup. Khusus untuk kegiatan pembangunan nanti akan kita telusuri dan kita rasionalisasi setelah lembaganya selesai dirampingkan.” Kedua orang itu mengumpulkan dokumen yang berserakan di atas meja, lalu pamit meninggalkan Sufri.
Selama hampir dua puluh lima tahun menjadi pegawai negeri, Sufri lebih banyak makan hati karena ide-ide dan gagasannya dalam penghematan anggaran tidak dapat diterapkan dalam sistem yang sudah terlanjur buruk. Ia bahkan sering termarginalkan karena berlawanan dengan arus utama.
Kadang ia merasa bahwa mungkin memang ide-idenya yang aneh. Sering pula ia berpikir bahwa ia memang berbeda dengan orang lain. Namun ketika ia mencoba membicarakan ide-ide tersebut kepada beberapa orang yang dianggapnya mampu berpikir logis dan jernih, tanggapan dan respon yang diterimanya cukup positif. Dengan begitu, iapun yakin bahwa ia berada di jalur pemikiran yang benar.
Sekarang sebuah jalan meraih cita-cita besar yang tertanam di benaknya sejak masih menjadi pejabat rendahan kini terbentang lebar di hadapannya. Ia tidak mau kehilangan kesempatan besar ini untuk mewujudkannya. Inilah saatnya, sekarang atau tidak sama sekali.
Sebagai pegawai, Sufri mengawali kariernya di sebuah tempat yang terpencil sebagai Lurah ketika usianya masih dua puluh empat tahun. Sesudah bergeser kesana kemari dalam berbagai jabatan selama beberapa tahun, ia lalu diangkat sebagai Camat. Saat itu usianya tiga puluh lima tahun. Tapi untuk meningkat ke level jabatan selanjutnya, Sufri harus mengalami berbagai guncangan dalam kariernya. Dianggap tidak loyal, dituduh pengkhianat, dan sebagainya, karena seringnya ia berseberangan dengan atasannya.
Sepanjang perjalanan kariernya, ia dikenal sebagai pejabat yang cerdas dan merakyat. Banyak masyaraakt yang senang karena ia vokal terhadap kebijakan pimpinan yang dinilainya tidak tepat. Keberaniannya menyuarakan apa yang tidak disenanginya secara spontan dan terbuka, membuat kedudukannya sering menjadi tidak stabil. Dan itu membuat kariernya tersendat.
Puncak pembangkangannya terjadi ketika ia sementara menjabat sebagai seorang kepala dinas sekitar dua tahun lalu. Mantan bupati yang saat itu sedang menjabat sebagai Bupati, menuduhnya tidak loyal, membangkang, dan tidak bisa bekerja dalam tim. Sufri tahu, itu hanya akal-akalan Bupati agar ia menyetor sejumlah uang sebagai imbalan karena telah diberi kedudukan sebagai Kepala Dinas. Sudah banyak yang jadi korbannya. Dan biasanya dengan ancaman seperti itu, pejabat yang terlalu cinta pada kedudukannya akan memenuhi permintaan bupati.
Sufri menolak dengan keras. Saya duduk di jabatan ini untuk membantu agar anda berhasil sebagai bupati. Kalau anda sudah tidak membutuhkan bantuan saya lagi, kenapa pula saya harus membayar untuk tetap bertahan? Begitu alasannya waktu itu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pengunduran diri itu sekaligus menjadi pengumuman perang bagi atasannya.
Reputasinya di mata politisi dan di mata rakyat justru semakin mengkilap setelah peristiwa itu. Media massa lokal menulis berita pengunduran dirinya sebagai headline dengan judul besar-besar. Meskipun si mantan Bupati mencoba berkelit dengan berkoar di media, bahwa Sufri adalah pejabat yang tidak disiplin, dan tidak bisa bekerja sama dengan atasan, namun rakyat tidak bodoh. Rakyat cuma tidak mau bicara.
Di saat sudah mengundurkan diri itulah, ia mendapat kesempatan menjadi wakil bupati. Sebuah koalisi Partai bermaksud untuk memasangkannya dengan Imran, seorang pengusaha sukses yang mencoba terjun ke dunia Politik. Kesempatan itu ditangkapnya dengan hati-hati.  Ia punya ide, ia punya gagasan, dan ia punya cita-cita. Kalau koalisi partai pendukungnya setuju dengan semua gagasannya itu, ia akan menerima tawaran itu. Tapi kalau ia hanya akan dijadikan sebagai pengumpul suara untuk kemenangan partai, maka ia akan berkata dengan lantang, no thanks. Get the hell out of my face!
Pimpinan Partai pengusungnya menerima tawaran itu. Kata pengurus partai, kami hendak melakukan perbaikan. Dan andalah orang yang kami butuhkan untuk mendampingi Pak Imran. Kebetulan Imran yang sama sekali tidak punya latar belakang politik dan pemerintahan, juga membutuhkan figur Sufri untuk memperkuat elektibilitasnya sehingga bisa bersaing dengan calon Bupati lainnya yang relatif lebih mapan di ranah politik.
Pasangan ini kemudian mendeklarasikan diri sebagai pasangan kepala daerah dan wakilnya, dan berkompetisi dalam Pemilihan Umum. Imran, putra daerah yang sukses sebagai pengusaha nasional di ibukota provinsi, berpasangan dengan Sufri, pendekar kejujuran birokrasi yang teraniaya, adalah magnet dengan dua kutub berbeda. Keduanya sanggup menarik pemilih yang sudah bosan dibodohi oleh pemimpin yang hanya bisa mengeruk kekayaan bagi kepentingan diri dan keluarganya saja.
Sufri kembali ke meja kerjanya. Memperhatikan angka-angka pada bagian belanja barang dan jasa. Ia lalu memencet sejumlah angka di ponselnya. Ia bersandar sambil menunggu jawaban dari seberang sana. Inspektur Kabupaten yang ditelpon Sufri menyahut. Tanpa basa-basi Sufri menyampaikan perintahnya dengan singkat dan jelas : Inspektur! Segera sampaikan kepada seluruh pimpinan lembaga perangkat daerah, untuk tidak melakukan kegiatan pembelanjaan dalam bentuk apapun sampai Perubahan APBD disahkan oleh DPRD.
Sufri menutup telpon setelah mendengar konfirmasi perintahnya telah diterima dengan jelas. Ia terdiam, membayangkan kehebohan baru yang akan segera terjadi di kalangan birokrasi di daerah ini. This is a new era. Bisiknya, pada diri sendiri. It’s a brand new system.

No comments:

Post a Comment