Di
dalam ruang kantornya, di sebuah meja rapat yang berbentuk lingkaran, Sufri
membuat coret-coretan di atas kertas, berisi rencana untuk menghindari
terjadinya kebocoran anggaran pada tahun ini. ‘Penyakit’ yang sudah berlangsung
selama bertahun-tahun dan sudah berurat berakar di dalam tubuh birokrasi di
daerah ini harus segera diakhiri. Mark up,
gratifikasi, dan berbagai modus korupsi lainnya sudah menjadi budaya, dan itu
harus dihentikan sekarang. Apalagi perintah Imran sangat jelas dan tegas:
Tangani!
Di
hadapannya, seorang pria berusia sekitar 50 tahun duduk sambil mengamati
sejumlah dokumen yang rata-rata setebal tujuh hingga delapan centi. Lembar demi
lembar diamati, ditandai dengan tinta berwarna terang, kadang dilipat, lalu
beralih ke halaman lain atau ke dokumen lain. Seorang pegawai lainnya, berusia
jauh lebih muda, sedang mengoperasikan komputer. Jemarinya lincah bergerak di
atas tombol-tombol keyboard. Padangannya sesekali berpindah dari layar ke
dokumen-dokumen yang ada didekatnya.
APBD
tahun ini sudah terlanjur ditetapkan sebelum pelantikan Bupati dan Wakil
Bupati. Tapi Sufri melihat banyak item belanja dan pembiayaan yang tidak
rasional. Dari struktur APBD ini Sufri tahu, bahwa dari seluruh dana yang
dianggarkan dalam APBD tersebut, sekitar 60-an persen habis untuk membayarkan gaji
dan tunjangan bagi pegawai negeri. Sisanya, 40-an persen, yang seharusnya digunakan
untuk program pembangunan, masih digerogoti dengan operasional kegiatan yang
seluruhnya hanya dinikmati oleh pegawai dan pejabat yang melaksanakan kegiatan
itu dengan nilai mencapai 30 persen. Itu berarti, tinggal 70 persen dari yang
40 persen yang benar-benar bisa dibelanjakan untuk pengadaan modal barang dan
jasa. Namun jika ditelusuri lebih jauh, manfaat belanja modal barang dan jasa itu
sendiri belum tentu berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Dengan
komposisi seperti itu, apa yang bisa dihasilkan oleh sebuah pemerintahan? Apa
yang bisa diberikan kepada rakyat selaku pemilik kedaulatan bangsa ini? Lalu
apa perlunya daerah ini tetap eksis? Dan untuk apa ada Bupati, ada Wakil Bupati
dan seluruh pejabat birokrasi? Untuk apa mereka dihidupi, diberi fasilitas
mewah yang dibiayai dari uang negara?
Sufri
sudah bertekad, bahwa APBD yang ada sekarang harus segera direvisi. Walau
jarang proses perubahan APBD terjadi di awal-awal tahun anggaran, namun bagi
Sufri itu bukan masalah. Itulah bukti kesungguhan mereka, pasangan pemimpin
yang baru dilantik, untuk melakukan perbaikan secara sistematis, langsung dari
dasarnya.
“Ok,
Pak Arfah, kita mulai dengan biaya-biaya umum.” Kata Sufri, seraya membuka
salah satu dokumen tebal yang ada di hadapannya. Kepala Bagian Keuangan yang
dipanggil Arfah itu mengambil dokumen lain yang serupa. Sementara stafnya yang
mengoperasikan komputer bersiap menunggu.
“Perjalanan
Dinas luar daerah... kurangi enam puluh persen.” Ia menandai beberapa halaman
dengan tinta warna, diikuti oleh Arfah. “Makan minum rapat dan makan minum tamu...
kurangi lima puluh persen. Alat Tulis Kantor... tujuh puluh persen. Kendaraan
Dinas, seratus persen...”
Staf
yang mengoperasikan komputer menyesuaikan angka-angka yang ada dilayar dengan
mengurangi prosentasenya sesuai petunjuk Sufri. Lalu hasil pengurangan itu
diakumulasikan secara keseluruhan. “Sudah, pak.” Katanya.
“Berapa
hasilnya?”
“Delapan
milyar, enam ratus tiga puluh juta.” Jawab si operator komputer.
“Bagus.
Sekarang kita pindah pada honor-honor kegiatan. Biasanya yang terima honor
banyak, tapi yang kerja sedikit. Jadi semua jumlah honor dikurangi 70 persen.
Dengan sisa tiga puluh persen ini, tinggal yang benar-benar bekerja yang akan
diberi honor.”
“Baik,
pak.”
“Sekarang
berapa hasilnya?”
“Tiga
milyar seratus empat puluh juta.”
“Itu
angka yang lumayan besar, Pak Arfah. Ok. Untuk sementara saya kira cukup.
Khusus untuk kegiatan pembangunan nanti akan kita telusuri dan kita
rasionalisasi setelah lembaganya selesai dirampingkan.” Kedua orang itu
mengumpulkan dokumen yang berserakan di atas meja, lalu pamit meninggalkan
Sufri.
Selama
hampir dua puluh lima tahun menjadi pegawai negeri, Sufri lebih banyak makan
hati karena ide-ide dan gagasannya dalam penghematan anggaran tidak dapat
diterapkan dalam sistem yang sudah terlanjur buruk. Ia bahkan sering termarginalkan
karena berlawanan dengan arus utama.
Kadang
ia merasa bahwa mungkin memang ide-idenya yang aneh. Sering pula ia berpikir
bahwa ia memang berbeda dengan orang lain. Namun ketika ia mencoba membicarakan
ide-ide tersebut kepada beberapa orang yang dianggapnya mampu berpikir logis
dan jernih, tanggapan dan respon yang diterimanya cukup positif. Dengan begitu,
iapun yakin bahwa ia berada di jalur pemikiran yang benar.
Sekarang
sebuah jalan meraih cita-cita besar yang tertanam di benaknya sejak masih
menjadi pejabat rendahan kini terbentang lebar di hadapannya. Ia tidak mau
kehilangan kesempatan besar ini untuk mewujudkannya. Inilah saatnya, sekarang atau tidak sama sekali.
Sebagai
pegawai, Sufri mengawali kariernya di sebuah tempat yang terpencil sebagai Lurah
ketika usianya masih dua puluh empat tahun. Sesudah bergeser kesana kemari
dalam berbagai jabatan selama beberapa tahun, ia lalu diangkat sebagai Camat. Saat
itu usianya tiga puluh lima tahun. Tapi untuk meningkat ke level jabatan
selanjutnya, Sufri harus mengalami berbagai guncangan dalam kariernya. Dianggap
tidak loyal, dituduh pengkhianat, dan sebagainya, karena seringnya ia
berseberangan dengan atasannya.
Sepanjang
perjalanan kariernya, ia dikenal sebagai pejabat yang cerdas dan merakyat. Banyak
masyaraakt yang senang karena ia vokal terhadap kebijakan pimpinan yang
dinilainya tidak tepat. Keberaniannya menyuarakan apa yang tidak disenanginya
secara spontan dan terbuka, membuat kedudukannya sering menjadi tidak stabil. Dan
itu membuat kariernya tersendat.
Puncak
pembangkangannya terjadi ketika ia sementara menjabat sebagai seorang kepala
dinas sekitar dua tahun lalu. Mantan bupati yang saat itu sedang menjabat
sebagai Bupati, menuduhnya tidak loyal, membangkang, dan tidak bisa bekerja
dalam tim. Sufri tahu, itu hanya akal-akalan Bupati agar ia menyetor sejumlah
uang sebagai imbalan karena telah diberi kedudukan sebagai Kepala Dinas. Sudah
banyak yang jadi korbannya. Dan biasanya dengan ancaman seperti itu, pejabat
yang terlalu cinta pada kedudukannya akan memenuhi permintaan bupati.
Sufri
menolak dengan keras. Saya duduk di
jabatan ini untuk membantu agar anda berhasil sebagai bupati. Kalau anda sudah
tidak membutuhkan bantuan saya lagi, kenapa pula saya harus membayar untuk
tetap bertahan? Begitu alasannya waktu itu. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengundurkan diri dari jabatannya. Pengunduran diri itu sekaligus menjadi
pengumuman perang bagi atasannya.
Reputasinya
di mata politisi dan di mata rakyat justru semakin mengkilap setelah peristiwa
itu. Media massa lokal menulis berita pengunduran dirinya sebagai headline
dengan judul besar-besar. Meskipun si mantan Bupati mencoba berkelit dengan
berkoar di media, bahwa Sufri adalah pejabat yang tidak disiplin, dan tidak
bisa bekerja sama dengan atasan, namun rakyat tidak bodoh. Rakyat cuma tidak
mau bicara.
Di
saat sudah mengundurkan diri itulah, ia mendapat kesempatan menjadi wakil
bupati. Sebuah koalisi Partai bermaksud untuk memasangkannya dengan Imran,
seorang pengusaha sukses yang mencoba terjun ke dunia Politik. Kesempatan itu
ditangkapnya dengan hati-hati. Ia
punya ide, ia punya gagasan, dan ia punya cita-cita. Kalau koalisi partai
pendukungnya setuju dengan semua gagasannya itu, ia akan menerima tawaran itu.
Tapi kalau ia hanya akan dijadikan sebagai pengumpul suara untuk kemenangan
partai, maka ia akan berkata dengan lantang, no thanks. Get the hell out
of my face!
Pimpinan
Partai pengusungnya menerima tawaran itu. Kata pengurus partai, kami hendak melakukan perbaikan. Dan andalah
orang yang kami butuhkan untuk mendampingi Pak Imran. Kebetulan Imran yang
sama sekali tidak punya latar belakang politik dan pemerintahan, juga
membutuhkan figur Sufri untuk memperkuat elektibilitasnya sehingga bisa
bersaing dengan calon Bupati lainnya yang relatif lebih mapan di ranah politik.
Pasangan
ini kemudian mendeklarasikan diri sebagai pasangan kepala daerah dan wakilnya, dan
berkompetisi dalam Pemilihan Umum. Imran, putra daerah yang sukses sebagai
pengusaha nasional di ibukota provinsi, berpasangan dengan Sufri, pendekar
kejujuran birokrasi yang teraniaya, adalah magnet dengan dua kutub berbeda. Keduanya
sanggup menarik pemilih yang sudah bosan dibodohi oleh pemimpin yang hanya bisa
mengeruk kekayaan bagi kepentingan diri dan keluarganya saja.
Sufri
kembali ke meja kerjanya. Memperhatikan angka-angka pada bagian belanja barang
dan jasa. Ia lalu memencet sejumlah angka di ponselnya. Ia bersandar sambil menunggu
jawaban dari seberang sana. Inspektur Kabupaten yang ditelpon Sufri menyahut.
Tanpa basa-basi Sufri menyampaikan perintahnya dengan singkat dan jelas : Inspektur! Segera sampaikan kepada seluruh
pimpinan lembaga perangkat daerah, untuk tidak melakukan kegiatan pembelanjaan
dalam bentuk apapun sampai Perubahan APBD disahkan oleh DPRD.
Sufri menutup
telpon setelah mendengar konfirmasi perintahnya telah diterima dengan jelas. Ia
terdiam, membayangkan kehebohan baru yang akan segera terjadi di kalangan
birokrasi di daerah ini. This is a new
era. Bisiknya, pada diri sendiri. It’s
a brand new system.
No comments:
Post a Comment