Thursday 5 January 2012

Chapter Six


Seharusnya hari ini, lima hari setelah pelantikan, Tenri sudah kembali ke Makassar. Tapi rencana itu mendadak ia batalkan tanpa alasan yang jelas. Alasannya pada ayah dan ibunya, ia masih mau melihat-lihat tempat wisata di daerah ini. Tempat wisata yang  mana? Ibunya sempat bertanya, tapi tidak dijawabnya, karena ia sendiri tidak tahu. Batas waktu satu minggu yang pernah dia targetkan kepada orang tuanya sebelum berangkat ke sini tiba-tiba dirasakan Tenri terlalu singkat. Melalui pesan pendek dan BBM, ia batalkan sejumlah janji ketemu dengan teman-temannya. Katanya masih ada urusan yang harus diselesaikan. Sampai kapan? Sampai semua urusan selesai. Teman-temannya mengamuk. Tapi ia tidak peduli.

Ketika diajak menghadiri pelantikan ayahnya sebagai Bupati lebih seminggu lalu, ia menolak dengan alasan punya banyak agenda. Lagipula, apa yang menarik dari daerah sekecil itu? Tidak bisa lagi nonton film-film hollywood yang lagi trend. Atau menonton pertunjukan live concert artis-artis ibukota yang setiap akhir pekan manggung di hotel-hotel berbintang. Mending tinggal di kota, banyak hiburan, katanya. Ibunya harus berjuang keras untuk membujuknya agar bersedia ikut, paling tidak menghadiri acara pelantikan. Itu peristiwa penting bagi ayah, kita harus ada di sana. Begitu bujuk ibunya. Ia akhirnya setuju dengan syarat: maksimal satu minggu. Meski terlalu singkat, ayah dan ibunya terpaksa setuju. Sudahlah, yang penting dia sudah mau ikut. Ayahnya  menghibur ibunya.
 Tapi sekarang semua itu berubah. Tenri juga tidak mengerti, mengapa sekarang tiba-tiba ia merasa lebih senang tinggal di kota kecil itu. Rencana persiapan keberangkatan ke Australia yang sudah dischedule sebelumnya bahkan tidak lagi dipikirkannya. Sekolah bisa menunggu. Katanya. Telpon dan pesan dari sepupunya, Bisnu, bahkan tidak dihiraukannya sama sekali. Tenri tahu, Bisnu pasti mencak-mencak. Tapi Tenri juga tahu, Bisnu tidak akan pernah bisa marah kepadanya. Pria itu terlalu menyayanginya, bahkan untuk sekedar melontarkan kata ‘tidak’. Pria itu terlalu memanjakannya, sehingga kadang Tenri merasa dia bukan lagi sekedar seorang sepupu yang penuh perhatian.
Bisnu adalah anak ketiga dari pamannya, kakak tertua ayahnya. Usianya dua tahun di atas Tenri. Sudah hampir tiga tahun kuliah di Australia. Ayah dan pamannya sudah merencanakan bahwa pada saat Tenri tamat SMA, ia akan bersama-sama Bisnu kuliah di Australia. Biar ada yang nuntun, kata mereka. Tenri enjoy saja dengan rencana itu. Apalagi Bisnu juga adalah seorang pemuda yang baik. Tenri suka pada pria itu. Walau kadang Tenri juga merasa jengkel karena Bisnu terlalu possesif. Memangnya aku pacarmu? Katanya suatu waktu. Saat itu Bisnu tidak menjawab. Hanya wajahnya yang memerah.
Lupakan Bisnu, lupakan Makassar, dan lupakan Australia, untuk sementara, tentunya. Aku sedang ingin berlama-lama di kota kecil ini. Tidak ada kemacetan lalu lintas, tidak ada anjal dan gepeng, tidak ada polusi dari emisi gas buang kendaraan and so on, and so on. Banyak yang membuatnya mulai terpikat. Tapi sejauh ini ia sendiri tidak bisa mendefinisikan, apa itu.
Ingatannya melayang pada Edo. Wajah pemuda tampan asal Bandung itu tiba-tiba melintas di benaknya. Bermain tennis dengannya menjadi sesuatu yang menggairahkan. Menggairahkan? Ia merasakannya seperti itu. Dengan jadwal penggunaan lapangan yang hanya tiga kali dalam seminggu, rasanya jeda satu hari membuatnya harus menunggu terlalu lama. Dan itu menyiksanya. Kenapa tidak tiap hari?
Tenri merasakan ada sesuatu yang membuatnya ingin bermain tennis setiap hari, ragu-ragu ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah itu karena Edo? Dan mengapa pula karena Edo? Bukankah ia bisa main tennis dengan siapa saja? Di klub tennisnya di ibu kota provinsi, tidak sedikit pemain yang sebagus Edo. Baik putri maupun putra. Belum lagi karena dengan banyaknya pilihan lawan, ia bisa meningkatkan kombinasi pukulannya karena tantangannya jauh lebih bervariasi.
Telponnya tiba-tiba berdering. O, itu Bisnu. Merasa berdosa karena sering mengabaikan panggilan dan pesan dari pria itu, hatinyapun tergerak menjawabnya.
“Ya, kakakku sayang?”  Katanya, begitu panggilan itu tersambung. Tenri memang lebih nyaman menyebutnya kakak daripada sebutan lain yang biasa digunakan orang untuk saudara sepupunya. Sejak kecil, Bisnu adalah orang yang paling dekat dengannya. Kebetulan rumah mereka berdekatan sehingga relatif setiap hari mereka biasa bertemu, bermain dan belajar bersama.
“Kok telpon dan sms gak pernah dijawab?” Tanya Bisnu, suaranya terdengar geram. Tenri membayangkan, mata Bisnu sekarang pasti sedang melotot. Persis seperti kalau mainannya disembunyikan Tenri waktu mereka masih kecil.  Tenri hanya tertawa manja.
“Sorry, lagi sibuk aja. Kadang HP nggak kebawa.” Jawab Tenri sekenanya.
“Sibuk apaan sih? Yang Bupati ‘kan ayah, bukan kamu.”
“Duh, segitu sewotnya. Sabar dong, kak”
“Mau berangkat gak, sih?”
“Mau, mau, mau.” Jawab Tenri, berusaha terdengar antusias.
“Kalau mau, ya pulang dong sekarang.”
“Nanti aja deh, kak. Waktu kita masih sebulan lagi, kok.” 
“Iya tapi ‘kan banyak yang harus disiapkan. Belum lagi...”
“Santai aja... udah, ya. ada tamu tuh.” Tenri berbohong. Tiba-tiba ia merasa tidak begitu nyaman berbicara lama-lama dengan Bisnu. Aneh ya? Pikirnya, Tenri menutup telpon. Ia yakin Bisnu pasti teriak-teriak di seberang sana. Dan ia terseyum geli.
Maafkan aku kakakku sayang. Bisiknya. Seraya melempar ponselnya ke atas bantal yang ada di tempat tidurnya. Ia rebahkan tubuhnya, lalu ingatannya melayang ke masa ketika ia dan Bisnu masih sekolah di salah satu yayasan pendidikan terkemuka di Ibukota provinsi. Bisnu yang saat itu kelas III SMP menjadi free guide baginya yang masih murid baru. Seluruh kebutuhan dan keinginannya disediakan oleh Bisnu. Dijemput dari rumah lalu diantar pulang. Buku-buku pelajaran kalau tidak diwariskan oleh Bisnu, maka Bisnu yang akan keliling kota dari toko buku yang satu ke toko buku yang lain, untuk mencarikannya. Seragam, sepatu dan sebagainya tinggal pakai. Semua Bisnu yang tahu.
Ia memang tidak perlu merasa berat hati karena ia paham betul bahwa untuk memenuhi semua kebutuhannya itu, Bisnu menggunakan uang dari orang tua Tenri sendiri. Begitu seterusnya hingga ia kelas I SMA, karena kebetulan SMP dan SMA yayasan itu berada dalam satu kompleks.
Ketika Bisnu melanjutkan pendidikan di Australia, Tenri merasa sangat kehilangan. Hampir setiap hari ia menelpon Bisnu di Australia. Terkadang, karena perbedaan zona waktu hingga tiga jam, Bisnu terkadang bangun tengah malam hanya untuk sekedar menjawab telpon Tenri yang mencari buku mata pelajaran tertentu.
Enam bulan berikutnya, Tenri sudah mulai bisa mandiri. Intensitas telponnya kepada Bisnu sudah berkurang hingga setengah dari biasanya. Lalu ketika ia sendiri sudah kelas tiga paling-paling ia bicara dengan Bisnu jika Bisnu yang menelponnya. Meski demikian, Tenri tetap menyayangi sepupunya itu. Dan dia tahun Bisnu juga tetap menyayanginya. Sebagai Adik, mungkin. Tenri belum pernah berpikir selain itu.
Telpon Tenri berdering kembali, masih dari Bisnu. Tenri diam menunggu hingga dering panggilan itu berhenti lalu ia ambil telponnya dan menekan nomor Edo. Ketika panggilan itu tersambung ia membuat dirinya senyaman mungkin dan merekapun mengobrol panjang lebar. Tetapi cuma tentang tennis. Tenri membatasi dirinya dengan ketat. Cuma tentang tennis, tidak lebih

No comments:

Post a Comment