Seharusnya
hari ini, lima hari setelah pelantikan, Tenri sudah kembali ke Makassar. Tapi
rencana itu mendadak ia batalkan tanpa alasan yang jelas. Alasannya pada ayah
dan ibunya, ia masih mau melihat-lihat tempat wisata di daerah ini. Tempat wisata yang mana? Ibunya sempat bertanya, tapi tidak dijawabnya,
karena ia sendiri tidak tahu. Batas waktu satu minggu yang pernah dia targetkan
kepada orang tuanya sebelum berangkat ke sini tiba-tiba dirasakan Tenri terlalu
singkat. Melalui pesan pendek dan BBM, ia batalkan sejumlah janji ketemu dengan
teman-temannya. Katanya masih ada urusan yang harus diselesaikan. Sampai kapan? Sampai semua urusan selesai.
Teman-temannya mengamuk. Tapi ia tidak peduli.
Ketika
diajak menghadiri pelantikan ayahnya sebagai Bupati lebih seminggu lalu, ia
menolak dengan alasan punya banyak agenda. Lagipula, apa yang menarik dari
daerah sekecil itu? Tidak bisa lagi nonton film-film hollywood yang lagi trend.
Atau menonton pertunjukan live concert
artis-artis ibukota yang setiap akhir pekan manggung di hotel-hotel berbintang.
Mending tinggal di kota, banyak hiburan, katanya. Ibunya harus berjuang keras
untuk membujuknya agar bersedia ikut, paling tidak menghadiri acara pelantikan.
Itu peristiwa penting bagi ayah, kita
harus ada di sana. Begitu bujuk ibunya. Ia akhirnya setuju dengan syarat:
maksimal satu minggu. Meski terlalu singkat, ayah dan ibunya terpaksa setuju.
Sudahlah, yang penting dia sudah mau ikut. Ayahnya menghibur ibunya.
Tapi sekarang semua itu berubah. Tenri
juga tidak mengerti, mengapa sekarang tiba-tiba ia merasa lebih senang tinggal
di kota kecil itu. Rencana persiapan keberangkatan ke Australia yang sudah dischedule sebelumnya bahkan tidak lagi
dipikirkannya. Sekolah bisa menunggu. Katanya. Telpon dan pesan dari sepupunya,
Bisnu, bahkan tidak dihiraukannya sama sekali. Tenri tahu, Bisnu pasti
mencak-mencak. Tapi Tenri juga tahu, Bisnu tidak akan pernah bisa marah
kepadanya. Pria itu terlalu menyayanginya, bahkan untuk sekedar melontarkan
kata ‘tidak’. Pria itu terlalu memanjakannya, sehingga kadang Tenri merasa dia
bukan lagi sekedar seorang sepupu yang penuh perhatian.
Bisnu
adalah anak ketiga dari pamannya, kakak tertua ayahnya. Usianya dua tahun di
atas Tenri. Sudah hampir tiga tahun kuliah di Australia. Ayah dan pamannya
sudah merencanakan bahwa pada saat Tenri tamat SMA, ia akan bersama-sama Bisnu
kuliah di Australia. Biar ada yang nuntun, kata mereka. Tenri enjoy saja dengan
rencana itu. Apalagi Bisnu juga adalah seorang pemuda yang baik. Tenri suka
pada pria itu. Walau kadang Tenri juga merasa jengkel karena Bisnu terlalu
possesif. Memangnya aku pacarmu?
Katanya suatu waktu. Saat itu Bisnu tidak menjawab. Hanya wajahnya yang
memerah.
Lupakan Bisnu, lupakan
Makassar, dan lupakan Australia, untuk sementara, tentunya.
Aku sedang ingin berlama-lama di kota kecil ini. Tidak ada kemacetan lalu
lintas, tidak ada anjal dan gepeng, tidak ada polusi dari emisi gas buang
kendaraan and so on, and so on.
Banyak yang membuatnya mulai terpikat. Tapi sejauh ini ia sendiri tidak bisa
mendefinisikan, apa itu.
Ingatannya
melayang pada Edo. Wajah pemuda tampan asal Bandung itu tiba-tiba melintas di
benaknya. Bermain tennis dengannya menjadi sesuatu yang menggairahkan.
Menggairahkan? Ia merasakannya seperti itu. Dengan jadwal penggunaan lapangan
yang hanya tiga kali dalam seminggu, rasanya jeda satu hari membuatnya harus
menunggu terlalu lama. Dan itu menyiksanya. Kenapa tidak tiap hari?
Tenri
merasakan ada sesuatu yang membuatnya ingin bermain tennis setiap hari,
ragu-ragu ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah itu karena Edo? Dan mengapa
pula karena Edo? Bukankah ia bisa main tennis dengan siapa saja? Di klub
tennisnya di ibu kota provinsi, tidak sedikit pemain yang sebagus Edo. Baik
putri maupun putra. Belum lagi karena dengan banyaknya pilihan lawan, ia bisa
meningkatkan kombinasi pukulannya karena tantangannya jauh lebih bervariasi.
Telponnya
tiba-tiba berdering. O, itu Bisnu.
Merasa berdosa karena sering mengabaikan panggilan dan pesan dari pria itu, hatinyapun
tergerak menjawabnya.
“Ya,
kakakku sayang?” Katanya, begitu
panggilan itu tersambung. Tenri memang lebih nyaman menyebutnya kakak daripada
sebutan lain yang biasa digunakan orang untuk saudara sepupunya. Sejak kecil,
Bisnu adalah orang yang paling dekat dengannya. Kebetulan rumah mereka
berdekatan sehingga relatif setiap hari mereka biasa bertemu, bermain dan belajar
bersama.
“Kok
telpon dan sms gak pernah dijawab?” Tanya Bisnu, suaranya terdengar geram.
Tenri membayangkan, mata Bisnu sekarang pasti sedang melotot. Persis seperti
kalau mainannya disembunyikan Tenri waktu mereka masih kecil. Tenri hanya tertawa manja.
“Sorry,
lagi sibuk aja. Kadang HP nggak kebawa.” Jawab Tenri sekenanya.
“Sibuk
apaan sih? Yang Bupati ‘kan ayah, bukan kamu.”
“Duh,
segitu sewotnya. Sabar dong, kak”
“Mau
berangkat gak, sih?”
“Mau,
mau, mau.” Jawab Tenri, berusaha terdengar antusias.
“Kalau
mau, ya pulang dong sekarang.”
“Nanti
aja deh, kak. Waktu kita masih sebulan lagi, kok.”
“Iya
tapi ‘kan banyak yang harus disiapkan. Belum lagi...”
“Santai
aja... udah, ya. ada tamu tuh.” Tenri berbohong. Tiba-tiba ia merasa tidak
begitu nyaman berbicara lama-lama dengan Bisnu. Aneh ya? Pikirnya, Tenri
menutup telpon. Ia yakin Bisnu pasti teriak-teriak di seberang sana. Dan ia
terseyum geli.
Maafkan aku kakakku
sayang. Bisiknya. Seraya melempar ponselnya ke atas
bantal yang ada di tempat tidurnya. Ia rebahkan tubuhnya, lalu ingatannya
melayang ke masa ketika ia dan Bisnu masih sekolah di salah satu yayasan
pendidikan terkemuka di Ibukota provinsi. Bisnu yang saat itu kelas III SMP
menjadi free guide baginya yang masih
murid baru. Seluruh kebutuhan dan keinginannya disediakan oleh Bisnu. Dijemput
dari rumah lalu diantar pulang. Buku-buku pelajaran kalau tidak diwariskan oleh
Bisnu, maka Bisnu yang akan keliling kota dari toko buku yang satu ke toko buku
yang lain, untuk mencarikannya. Seragam, sepatu dan sebagainya tinggal pakai. Semua
Bisnu yang tahu.
Ia
memang tidak perlu merasa berat hati karena ia paham betul bahwa untuk memenuhi
semua kebutuhannya itu, Bisnu menggunakan uang dari orang tua Tenri sendiri. Begitu
seterusnya hingga ia kelas I SMA, karena kebetulan SMP dan SMA yayasan itu
berada dalam satu kompleks.
Ketika
Bisnu melanjutkan pendidikan di Australia, Tenri merasa sangat kehilangan.
Hampir setiap hari ia menelpon Bisnu di Australia. Terkadang, karena perbedaan
zona waktu hingga tiga jam, Bisnu terkadang bangun tengah malam hanya untuk
sekedar menjawab telpon Tenri yang mencari buku mata pelajaran tertentu.
Enam
bulan berikutnya, Tenri sudah mulai bisa mandiri. Intensitas telponnya kepada
Bisnu sudah berkurang hingga setengah dari biasanya. Lalu ketika ia sendiri
sudah kelas tiga paling-paling ia bicara dengan Bisnu jika Bisnu yang
menelponnya. Meski demikian, Tenri tetap menyayangi sepupunya itu. Dan dia
tahun Bisnu juga tetap menyayanginya. Sebagai Adik, mungkin. Tenri belum pernah
berpikir selain itu.
Telpon Tenri
berdering kembali, masih dari Bisnu. Tenri diam menunggu hingga dering
panggilan itu berhenti lalu ia ambil telponnya dan menekan nomor Edo. Ketika
panggilan itu tersambung ia membuat dirinya senyaman mungkin dan merekapun
mengobrol panjang lebar. Tetapi cuma
tentang tennis. Tenri membatasi dirinya dengan ketat. Cuma tentang tennis, tidak lebih.
No comments:
Post a Comment