Tuesday 24 January 2012

Chapter Twenty Nine


Perlu waktu lebih dari dua belas jam bagi Barli untuk siuman dan sadar sepenuhnya atas apa yang telah terjadi. Saat terbangun, ia mendapati dirinya terbenam di sebuah tempat tidur dengan jarum infus menancap di lengan kanannya. Kepalanya terasa berat, pandangannya berkunang-kunang. Seluruh persendiannya kaku dan tak bisa ia gerakkan. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap agar penglihatannya bisa menjadi normal kembali.

Ketika penglihatannya makin jelas, orang pertama yang dilihatnya adalah ibunya yang sedang duduk tidak jauh dari tempatnya terbaring. Lalu tidak jauh dari ibunya, salah seorang adik perempuannya juga sedang duduk membaca sesuatu.
“Mak?” panggilnya lirih. Kedua perempuan itu terkejut. Keduanya serentak berdiri mendekati tempat tidur Barli.
“Oh, kamu sudah sadar, nak. Alhamdulillah, ya Allah. Anakku, kamu sudah sadar...” katanya seraya menggerakkan kedua telapak tangannya menghadap ke atas seperti orang yang sedang berdoa lalu mengusapkannya ke wajah. Di sela tangisnya ia tertawa bahagia sambil memeluk adik perempuan Barli yang berdiri di sisinya. Barli bingung. Ia biarkan suasana itu berlangsung. Ia bisa melihat bahwa ibunya benar-benar larut dalam kegembiraan. Ia memejamkan matanya kembali sambil mencoba mengumpulkan ingatan atas apa yang telah terjadi pada dirinya, tapi ia gagal.
Ia buka kembali matanya. Dinding berwarna putih dan gorden yang juga putih mengirim sinyal ke oraknya, bahwa ia berada di rumah sakit. Ya ini pasti rumah sakit, katanya dalam hati. Ketika ibu dan adiknya sudah lebih tenang, Barli bertanya, “saya kenapa, Mak? Saya sakit apa, Santi?” Perempuan tua itu mengambil napas panjang untuk menenangkan dirinya sebelum menjawab, “kamu hampir mati.”
“Mati? Aku hampir mati? Aku sakit apa?”
“Kata dokter, kakak over dosis?” yang menjawab adalah Santi, adiknya.
“Over dosis apa?”
“Heroin.”
“Heroin?”
Santi lalu menceritakan bahwa Barli tiba di rumah sakit dalam keadaan kejang-kejang dan tak sadarkan diri. Ada cairan seperti busa berwarna putih yang keluar dari mulutnya. Untungnya, kata dokter, Barli cepat tiba di rumah sakit sehingga bisa mendapatkan pertolongan. Jika seandainya Barli tidak mendapatkan perawatan yang semestinya, Barli bisa mengalami kegagalan sistem pernapasan yang berujung pada kematian.
Barli habis mengkonsumsi heroin, dan dia over dosis. Barli mendengar penjelasan adiknya dengan seksama. Aku over dosis? Tanyanya pada diri sendiri. Ia bingung, bagaimana bisa ia mengalami over dosisi padahal ia tidak pernah bersentuhan dengan narkoba atau barang-barang semacam itu. ia biarkan tanda tanya di kepalanya mengambang.
Ia memejamkan mata kembali. Mencoba menenangkan dirinya yang masih berada dalam gelombang kebingungan. Perlahan-lahan ingatannya ketika sedang mengemudikan mobil Sufri dari kantor kecamatan mulai muncul di dalam benaknya. Itulah hal terakhir yang diingatnya. Ia mengemudikan mobil Sufri dan menghentikannya secara tiba-tiba. Rasa penasaran muncul dalam hatinya mengenai apa yang terjadi setelah itu? Ia tidak pernah merasa turun dari mobil, apalagi berjalan pulang dan masuk ke rumah sakit.
“Mak, siapa yang membawaku ke sini?” Tanya Barli pada ibunya.
“Emak tidak tahu. Li. Kata orang Ambulance dari kecamatan. Emak diberitahu kamu sakit saat kamu sudah berada di sini.”
“Mobil Bapak mana? Apa yang terjadi dengan mobil Bapak?” Kalau Barli bilang ‘Bapak,’ orang tua dan adiknya sudah tahu bahwa yang dia maksud adalah Sufri.
“Ada di Kantor Polisi.”
“Ada apa, kenapa mobil itu di kantor polisi?”
Ibunya menggeleng. Ia menoleh kepada adiknya yang juga hanya bisa terdiam. Mobil itu adalah tanggung jawabnya. Barli harus tahu apa yang terjadi dengan mobil itu. Mengapa di saat terakhir yang ada dalam ingatannya, ia mengemudi dan berhenti tiba-tiba?
Barli merasa ada sesuatu yang salah dalam dirinya. Dan kenyataan bahwa ia sekarang sedang terbaring di rumah sakit, lalu mobil atasannya ada di kantor polisi merupakan pertanda bahwa ia telah melakukan kesalahan. Tapi ia sendiri tidak bisa menyimpulkan kesalahan seperti apa yang telah dia perbuat.
“Bapak marah, nggak?” tanyanya kemudian, kepada ibunya.
perempuan tua itu lagi-lagi hanya menggeleng.
“Saya mungkin salah. Tapi sampaikan pada Bapak, bu. Saya pasti tidak sengaja melakukan kesalahan.”
“Bapak tidak ada, Li.” Kata ibunya, wajahnya kini terlihat sangat sedih. Kebaikan Sufri kepada keluarganya, terutama kepada Barli terbayang di pelupuk matanya, dan itu membuat hatinya terenyuh. Iapun menagis tersedu-sedu.
Barli heran. Mengapa ibunya menangis. Diliriknya adiknya yang juga diam-diam tertunduk menangis.
“Kenapa? Bapak kemana, bu?”
“Bapak sekarang di Makassar, kak.”
“Kenapa?”
Ibunya hanya terdiam. Tak kuasa menjawab pertanyaan Barli. Tangis Ibu Barli makin keras. Santi adiknya mencoba menenangkan ibunya lalu mencoba menjelaskan pada Barli bahwa Sufri nyaris tewas dalam kejadian yang menimpa mereka bertiga.
Barli mencoba memahami penjelasan adiknya. Setiap kata didengarnya dengan hati-hati, sampai ia merasa paham.
“Bagaimana dengan pak ajudan?”
“Pak Ajudan juga terluka. Ada di ruang sebelah. Masih dirawat. Dia dipukuli oleh para perampok hingga pingsan.”
Barli terdiam. Ia mencoba merangkai peristiwa itu dalam kepalanya.  Perlahan-lahan ingatannya pulih. Ia lihat dirinya mengemudi mobil dan karena merasakan gejala aneh dalam dirinya, ia menghentikan mobil. Selanjutnya, ia tidak ingat apa-apa lagi. Dari penjelasan ibu dan adiknya, serta teman-teman yang datang menjenguknya, akhirnya Barli tahu, bahwa sebuah peristiwa besar telah terjadi dan hampir saja merenggut nyawanya, nyawa Ajudan Wakil Bupati dan bahkan nyawa Sufri.
Barli termenung sedih.

No comments:

Post a Comment