Perlu waktu lebih dari dua belas jam bagi
Barli untuk siuman dan sadar sepenuhnya atas apa yang telah terjadi. Saat
terbangun, ia mendapati dirinya terbenam di sebuah tempat tidur dengan jarum
infus menancap di lengan kanannya. Kepalanya terasa berat, pandangannya
berkunang-kunang. Seluruh persendiannya kaku dan tak bisa ia gerakkan. Ia
mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap agar penglihatannya bisa menjadi normal
kembali.
Ketika penglihatannya makin jelas, orang
pertama yang dilihatnya adalah ibunya yang sedang duduk tidak jauh dari tempatnya
terbaring. Lalu tidak jauh dari ibunya, salah seorang adik perempuannya juga
sedang duduk membaca sesuatu.
“Mak?” panggilnya lirih. Kedua perempuan
itu terkejut. Keduanya serentak berdiri mendekati tempat tidur Barli.
“Oh, kamu sudah sadar, nak.
Alhamdulillah, ya Allah. Anakku, kamu sudah sadar...” katanya seraya
menggerakkan kedua telapak tangannya menghadap ke atas seperti orang yang
sedang berdoa lalu mengusapkannya ke wajah. Di sela tangisnya ia tertawa
bahagia sambil memeluk adik perempuan Barli yang berdiri di sisinya. Barli
bingung. Ia biarkan suasana itu berlangsung. Ia bisa melihat bahwa ibunya benar-benar
larut dalam kegembiraan. Ia memejamkan matanya kembali sambil mencoba
mengumpulkan ingatan atas apa yang telah terjadi pada dirinya, tapi ia gagal.
Ia buka kembali matanya. Dinding berwarna
putih dan gorden yang juga putih mengirim sinyal ke oraknya, bahwa ia berada di
rumah sakit. Ya ini pasti rumah sakit,
katanya dalam hati. Ketika ibu dan adiknya sudah lebih tenang, Barli bertanya, “saya
kenapa, Mak? Saya sakit apa, Santi?” Perempuan tua itu mengambil napas panjang untuk
menenangkan dirinya sebelum menjawab, “kamu hampir mati.”
“Mati? Aku hampir mati? Aku sakit apa?”
“Kata dokter, kakak over dosis?” yang
menjawab adalah Santi, adiknya.
“Over dosis apa?”
“Heroin.”
“Heroin?”
Santi lalu menceritakan bahwa Barli tiba
di rumah sakit dalam keadaan kejang-kejang dan tak sadarkan diri. Ada cairan
seperti busa berwarna putih yang keluar dari mulutnya. Untungnya, kata dokter,
Barli cepat tiba di rumah sakit sehingga bisa mendapatkan pertolongan. Jika
seandainya Barli tidak mendapatkan perawatan yang semestinya, Barli bisa mengalami
kegagalan sistem pernapasan yang berujung pada kematian.
Barli habis mengkonsumsi heroin, dan dia
over dosis. Barli mendengar penjelasan adiknya dengan seksama. Aku over dosis? Tanyanya pada diri
sendiri. Ia bingung, bagaimana bisa ia mengalami over dosisi padahal ia tidak
pernah bersentuhan dengan narkoba atau barang-barang semacam itu. ia biarkan
tanda tanya di kepalanya mengambang.
Ia memejamkan mata kembali. Mencoba
menenangkan dirinya yang masih berada dalam gelombang kebingungan. Perlahan-lahan
ingatannya ketika sedang mengemudikan mobil Sufri dari kantor kecamatan mulai muncul
di dalam benaknya. Itulah hal terakhir yang diingatnya. Ia mengemudikan mobil Sufri
dan menghentikannya secara tiba-tiba. Rasa penasaran muncul dalam hatinya
mengenai apa yang terjadi setelah itu? Ia tidak pernah merasa turun dari mobil,
apalagi berjalan pulang dan masuk ke rumah sakit.
“Mak, siapa yang membawaku ke sini?”
Tanya Barli pada ibunya.
“Emak tidak tahu. Li. Kata orang
Ambulance dari kecamatan. Emak diberitahu kamu sakit saat kamu sudah berada di
sini.”
“Mobil Bapak mana? Apa yang terjadi
dengan mobil Bapak?” Kalau Barli bilang ‘Bapak,’ orang tua dan adiknya sudah
tahu bahwa yang dia maksud adalah Sufri.
“Ada di Kantor Polisi.”
“Ada apa, kenapa mobil itu di kantor polisi?”
Ibunya menggeleng. Ia menoleh kepada
adiknya yang juga hanya bisa terdiam. Mobil itu adalah tanggung jawabnya. Barli
harus tahu apa yang terjadi dengan mobil itu. Mengapa di saat terakhir yang ada
dalam ingatannya, ia mengemudi dan berhenti tiba-tiba?
Barli merasa ada sesuatu yang salah dalam
dirinya. Dan kenyataan bahwa ia sekarang sedang terbaring di rumah sakit, lalu
mobil atasannya ada di kantor polisi merupakan pertanda bahwa ia telah
melakukan kesalahan. Tapi ia sendiri tidak bisa menyimpulkan kesalahan seperti
apa yang telah dia perbuat.
“Bapak marah, nggak?” tanyanya kemudian,
kepada ibunya.
perempuan tua itu lagi-lagi hanya
menggeleng.
“Saya mungkin salah. Tapi sampaikan pada
Bapak, bu. Saya pasti tidak sengaja melakukan kesalahan.”
“Bapak tidak ada, Li.” Kata ibunya,
wajahnya kini terlihat sangat sedih. Kebaikan Sufri kepada keluarganya,
terutama kepada Barli terbayang di pelupuk matanya, dan itu membuat hatinya terenyuh.
Iapun menagis tersedu-sedu.
Barli heran. Mengapa ibunya menangis. Diliriknya
adiknya yang juga diam-diam tertunduk menangis.
“Kenapa? Bapak kemana, bu?”
“Bapak sekarang di Makassar, kak.”
“Kenapa?”
Ibunya hanya terdiam. Tak kuasa menjawab
pertanyaan Barli. Tangis Ibu Barli makin keras. Santi adiknya mencoba
menenangkan ibunya lalu mencoba menjelaskan pada Barli bahwa Sufri nyaris tewas
dalam kejadian yang menimpa mereka bertiga.
Barli mencoba memahami penjelasan
adiknya. Setiap kata didengarnya dengan hati-hati, sampai ia merasa paham.
“Bagaimana dengan pak ajudan?”
“Pak Ajudan juga terluka. Ada di ruang
sebelah. Masih dirawat. Dia dipukuli oleh para perampok hingga pingsan.”
Barli terdiam. Ia mencoba merangkai
peristiwa itu dalam kepalanya. Perlahan-lahan
ingatannya pulih. Ia lihat dirinya mengemudi mobil dan karena merasakan gejala
aneh dalam dirinya, ia menghentikan mobil. Selanjutnya, ia tidak ingat apa-apa
lagi. Dari penjelasan ibu dan adiknya, serta teman-teman yang datang
menjenguknya, akhirnya Barli tahu, bahwa sebuah peristiwa besar telah terjadi
dan hampir saja merenggut nyawanya, nyawa Ajudan Wakil Bupati dan bahkan nyawa
Sufri.
Barli termenung sedih.
No comments:
Post a Comment