Rumah orang tua Ibong berada di salah
satu kecamatan yang cukup jauh dari ibu kota Kabupaten. Waktu tempuh rata-rata
dari kota hingga ke rumah itu adalah sekitar 40 menit dengan asumsi jalanan
nasional yang merupakan satu-satunya akses ke rumah itu tidak dipenuhi kendaraan
berat antar provinsi.
Setengah jam yang lalu, dengan nomor
khusus yang dipakainya untuk tujuan tertentu, ia telah memanggil tiga orang rekannya,
Junaid, Burman dan Arhim. Mereka harus bertemu malam ini karena Boss sudah
memberikan petunjuk.
Ibong adalah bekas ketua Tim Sukses
mantan Bupati yang digantikan oleh Imran. Ketika tahapan awal pemilu kepala
daerah periode lalu tengah berlangsung, Ibonglah yang menjadi aktor intelektual
di balik kemenangan sang mantan. Ia memang hanya seorang pengusaha kecil,
dengan bidang usaha jasa konstruksi kategori K2. Tapi ia punya koneksi dengan
sumber uang yang mengalir bagai air terjun.
Di bawah kendalinya, seluruh
orang-orang yang tergabung dalam timnya bekerja siang dan malam mengampanyekan
sang calon. Mereka berkeliling dari desa yang satu ke desa lainnya sambil
membagi-bagikan dua atau tiga liter gula pasir, sarung dan sejumlah uang kepada
masyarakat, dengan syarat mereka akan memilih calonnya. Saat ditanya dari mana
uang sebanyak itu untuk membeli gula pasir dan sarung, Ibong hanya menjawab
pada sang calon Bupati, itu bukan urusan anda. Urusan anda adalah menjadi
Bupati.
Calon Bupati itu percaya sepenuhnya
pada kemampuan Ibong. Dan ternyata, kepercayaan itu tidak disia-siakan. Dengan
manuver money politics, sugar politics dan saroong politics, Ibong berhasil mengantarkan calonnya menjadi
bupati. Imbalannya sederhana, kata Ibong. Biarkan aku mengatur proyek, setengah
dari hasilnya menjadi milik anda juga. Bupati setuju.
Selama hampir lima tahun bupati itu
menjabat, Ibong juga berkuasa penuh dalam pengaturan proyek. Makanya, seiring
dengan kemenangan calon yang didukungnya, pundi-pundi kekayaan Ibong juga ikut bertambah
drastis.
Proyek-proyek APBD bernilai miliaran
rupiah berada di bawah kekuasaannya. Kepala Dinas PU dan Ketua panitia
pengadaan cukup bertanda tangan, tapi operasionalnya dijalankan sepenuhnya oleh
Ibong. Jika seorang kontraktor bermaksud mendapatkan pekerjaan, berlututlah di
hadapan Ibong, serahkan sejumlah sebuah amplop berisi uang angpaw, maka jatuhlah
proyek itu kepadanya.
Besarnya angpaw bervariasi. Tergntung
dari besar kecilnya nilai proyek dan bergantung kepada jenis proyek yang akan
dikerjakan. Jika proyek itu adalah baggunan, maka nilai angpawnya sepuluh
persen. Tapi kalau proyek itu adalah pengerjaan jalan, maka nilai angpawnya
bisa mencapai dua belas persen.
Bersama tiga orang rekannya, Junaid,
Burman dan Arhim, yang bertugas mengintimidasi para kontraktor, Ibong meraja
lela, bukan saja di kalangan
kontraktor, tetapi juga di kalangan pimpinan lembaga perangkat daerah. Mereka
bagaikan hantu yang menakutkan. Para kepala perangkat daerah tidak berkutik,
karena mereka tahu Ibong adalah orangnya bupati.
Menjelang pemilu kepala daerah
periode ini, Ibong dan tiga orang rekannya kembali menjalankan taktik dan
strategi yang serupa dengan sebelumnya. Hanya saja kali ini mereka tidak segarang
periode yang lalu. Mereka lebih percaya diri dan memiliki keyakinan menang yang
berlipat ganda. Apalagi dengan posisi sebagai calon incumbent. Jangankan sebagai incumbent, menantang calon incumbent
sekalipun mereka bisa memenangkan pemilu.
Tetapi perhitungan mereka ternyata
meleset. Kebobrokan demi kebobrokan yang terjadi selama Bupati ini berkuasa,
semisal praktek jual beli jabatan yang berlangsung secara terang-terangan,
pengaturan proyek dengan angpaw yang mencekik, korupsi dan kebocoran anggaran
yang tidak terkendali, membuat pemilih-pemilih yang lebih cerdas berpaling. Pasangan
Imran dan Sufri menjelma menjadi pasangan alternatif yang lebih sejuk dan
menjanjikan.
Memang masih ada masyarakat yang
bodoh, gampang terpengaruh oleh manisnya gula, hangatnya sarung dan harumnya
uang Ibong. Tetapi tidak semuanya. Masih lebih banyak yang mendambakan
perbaikan secara sistematis. Maka Ibongpun kalah dengan telak.
Kekecewaan karena kekalahan itu tidak
bisa ditanggung oleh Ibong. Miliaran uang yang sudah ia kucurkan untuk
membiayai kampanye calon Bupatinya, lenyap tanpa bekas. Ia jatuh miskin, persis
ketika proses pemilu kepala daerah yang lalu belum berlangsung. Seluruh koneksinya
juga terputus. Bahkan ia masih harus melunasi berbagai kewajiban kepada
pedagang grosir atas pengambilan ratusan kilogram gula pasir dan puluhan kodi
sarung pelekat. Hal itulah yang membangun kebencian dan kedengkian terhadap
pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih periode ini. Jika mereka tidak bisa
dikalahkan dalam pemilu, selesaikan di luar arena. Maksudnya apa? Jika kita
tidak bisa berkuasa, maka mereka juga tidak.
Tepat pukul sembilan malam, sebuah
mobil berjalan pelan-pelan mendekati rumah rumah orang tua Ibong. Sesudah
mendapatkan tanda berupa cahaya dari sebuah layar ponsel yang digerak-gerakkan
oleh Ibong, mobil itu menepi dan berbelok ke bawah kolong rumah. Mobil itu
diparkir berdampingan dengan sebuah mobil lain yang dirental Ibong sore tadi.
Saat lampu depannya dimatikan, tak ada tanda sedikitpun kalau di bawah kolong
rumah itu ada dua buah mobil sedang diparkir.
Selang sepuluh menit kemudian, sebuah
mobil lain mengurangi kecepatan saat mendekati rumah itu. Kembali sebuah tanda
berupa cahaya yang terbersit dari sebuah layar ponsel mmbuat mobil melambat dan
membelok ke bawah kolong rumah orang tua Ibong, mobil itu berhenti dan diparkir
di sisi dua mobil yang terlebih dahulu terparkir di situ. Mobil keempat
menyusul sekitar lima belas menit kemudian dan mengikuti prosedur yang sama
sebelum akhirnya turut terparkir seperti tiga mobil lainnya.
Lewat sebuah tangga yang terletak di
bagian tengah rumah, mereka menaiki rumah itu lewat sebuah pintu yang berada di
lantai rumah panggung itu. Keempatnya kemudian berkumpul di sebuah sofa tua.
Istri Ibong menyiapkan penganan berupa buah-buahan yang dihasilkan dari
kecamatan itu.
Ibong memandangi rekan-rekannya
sesaat, sebelum memulai dengan kata-kata yang menyentuh dianggapnya bisa perasaan
mereka, “orang-orang kita sudah banyak yang terpental.” Katanya pelan, tapi
terdengar bagai bunyi gong yang bertalu-talu. “Akses kita ke sumber-sumber anggaran juga sudah tertutup.”
Junaid yang pertama menanggapi,
“masih ada dua orang anggota kita yang duduk dalam ‘kabinet’ ini. Apa mereka
tidak bisa membantu?
“Tampaknya sangat susah. Posisi
mereka tidak terlalu menguntungkan. Apalagi Sufri memegang kendali sepenuhnya
atas penggunaan anggaran pada setiap perangkat daerah. Mereka tidak bisa
berkutik.”
“Kalau begitu, loyalitas mereka pada boss
harus dipertanyakan.”
“Ini bukan soal loyal atau tidak
loyal, Arhim. Ini persoalan kesempatan.”
“Jadi menurut anda mereka masih
setia?”
“Masih, saya kira. Cuma memang ruang
gerak mereka sangat terbatas. Boss sendiri yang bilang begitu.”
“Jadi?” Tanya Arhim
“Kita sudah harus segera bertindak.”
Kata Ibong lagi.
“Jadi?”
“Kita jalankan rencana yang sudah
kita buat beberapa waktu yang lalu. Mulailah dengan menebang batang pohonnya.”
“Ok, saya setuju. Orang yang saya
siapkan untuk menjalankan tugas itu juga sudah bisa segera didatangkan.” Junaid
mendukung.
“Peralatannya?”
“Gampang. Semua sudah ada. Kapan saja
kita minta, segera dia siapkan.”
“Ok, sekarang kita tinggal menunggu
informasi dari bawah, kapan waktu yang tepat. Itu tugas Burman.”
“Siap, komandan.” Burman menyahut.
“Ingat, jangan sampai orangmu meninggalkan
jejak.” Pesan Ibong.
“Tentu, boss.”
Seperti saat mereka datang,
pulangnya pun mereka tidak berbarengan. Tidak melewati pintu depan. Melainkan
lewat pintu yang ada di lantai. Lampu kendaraan tidak dinyalakan hingga
mencapai jalan raya. Mereka keluar dengan selisih waktu antara 10 hingga lima
belas menit. Ibong yang terakhir meninggalkan tempat itu setelah mengunci semua
pintu dan jendela.
No comments:
Post a Comment