Tuesday 24 January 2012

Chapter Thirty Four



Malam harinya, Edo menerima telpon ayahnya. Ayahnya menceritakan bahwa Fatwa Majelis ulama tidak berpihak pada hasil penemuannya. Fatwa Majelis Ulama dengan tegas mengharamkan praktek rekayasa Genetika dilakukan terhadap manusia. Melalui juru bicara yang membacakan fatwa itu melalui siaran langsung di beberapa stasiun televisi, Majelis Ulama Nasional menyimpulkan bahwa rekayasa genetika terhadap manusia haram hukumnya. Alasannya banyak. Tapi pada umumnya karena para ulama itu berpendapat tidak semestinya manusia mencampuri urusan manusia dalam penentuan nasib. Jika suatu ketika anda sakit, maka itu merupakan bagian dari cobaan atau ujian Tuhan yang harus dijalani oleh manusia untuk mengetahui kadar imannya.


Ardi menerima salinan fatwa itu beberapa hari kemudian dan memutuskan untuk melakukan klarifikasi terhadap fatwa itu. Dalam pandangannya, ada substansi yang tidak dipahami oleh sebagian anggota Majelis ulama, dan itu sangat memengaruhi fatwa yang mereka ambil.
Pertama, bahwa rekayasa genetika bukan menduga-duga, melainkan melakukan sesuatu berdasarkan fakta-fakta ilmiah yang kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada yang tidak bisa diperhitungkan dengan perangkat dan metode ilmiah.
Kedua, rekayasa genetika memiliki maslahat yang jauh lebih besar di bandingkan musharatnya. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Itulah prinsip dasarnya. Jika sesuatu bisa dihindari, bukankah itu menjadi jauh lebih baik daripada meunggu terjadinya, dan itu adalah sesuatu yang pasti berdasarkan data ilmiah, untuk diobati. Biayanya bisa saja menjadi jauh lebih mahal dan lebih menguras energi.
Ketiga, rekayasa genetika ini tak ubahnya dengan transplantasi organ dalam bentuk yang sangat mini. Karena melalui prosedur itu, bisa dilakukan penggantian kode genetik jika dianggap merugikan calon individu yang akan dilahirkan.
Edo mencoba menyabarkan ayahnya dengan mengatakan bahwa hal itu biasa tejadi dalam kehidupan, tapi ia buru-buru meralat ucapannnya. Ia tahu, ayahnya telah mengahdapi banyak hal buruk dalam kehidupannya dan fatwa haram yang merupakan penolakan terhadap hasil penemuannya adalah sesautu yang tidak ada artinya.
“Aku telah kehilangan ibumu, dan itulah kehilangan terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku.” Katanya pada anaknya. “Seandainya tidak ada kamu, maka apa artinya hidupku ini? So, Don’t worry, son. Life goes on.”
Edo senang ayahnya tidak terpengaruh dengan fatwa itu. Setelah berbincang tentang berbagai hal, iapun memutuskan untuk menceritakan pengalamannya selama dua hari terakhir ini di Makassar.
“Rupanya kamu serius, ya?” Tanya sang ayah.
To be honest, dad. Ya.”
“Kenapa?”
“Entahlah, Dad. Ada sesuatu yang membuat semuanya berbeda dari biasanya. She’s so special. Susah dijelaskan dan kayaknya ayah harus melihatnya langsung untuk bisa mengerti.”
“Begitu ya?”
“Serius dad. Kalau ketemu, aku kira ayah akan tahu. Kapan-kapan aku akan mengajaknya ke Bandung.”
“Okelah, Ayah percaya kamu akan melakukan yang terbaik. You know the best for yourself.”
Edo kembali berpesan pada ayahnya untuk tidak bersedih, dan dia berjanji akan segera mengirimkan foto gadis itu begitu ia bisa. Soalnya dalam dua hari terakhir ini, Tenri seolah tidak memberinya waktu untuk melakukan apapun selain menemaninya kemanapun ia pergi.
Di kamarnya sendiri, Tenri menerima telpon dari Bisnu yang kecewa karena Tenri tidak jadi berangkat ke Australia tahun ini. Bisnu penasaran dengan alasan Tenri yang terkesan tidak masuk akal dan dibuat-buat. Tapi Tenri meyakinkan Bisnu bahwa tahun depan ia pasti akna menyusul.
“Kak, Ternyata jadi anak bupati enak, loh. Pantas anak-anak bupati di sekolah kita dulu suka bergaya borjuis. Kemana-mana diantar dan selalu bawa uang banyak.”
“Ok kalau begitu. Tapi tadi Tante Amira telpon katanya kamu sama seseorang di Makassar. Siapa itu?” Tante Amira adalah istri salah seorang saudara ayah Tenri.
“Bukan siapa-siapa.”
“Bukan siapa-siapa? Tapi katanya kamu dengan dia mesra sekali.”
“Tante Amira tahu dari mana?”
“Dia lihat kamu di mall kemarin malam. Ngapain ke mall berdua malam-malam.”
“Saya cuma nonton, trus jalan-jalan keliling kota.”
“Jawab pertanyaanku, Tenri. Siapa dia?” Nada suara Bisnu terdengar tidak bersahabat. Terasa menghakimi dan terasa menyalahkan. Tenri tidak suka nada itu.
“Bukan siapa-siapa.” Jawabnya lagi, tapi asal-asalan.
“Kamu tidak jujur.”
“Teman.”
“Teman dari mana?”
“Dari daerah. Pegawainya bapak.”
“Ngapain dia ikut kamu ke situ?”
Haruskan Tenri menjelaskan siapa Edo kepada Bisnu. Memangnya apa urusan Bisnu mau tahu apa yang dia lakukan dengan Edo di sini? Tapi ia memilih diam.
“Tenri...?”
Tenri masih membisu.
“Halo... Tenri?” Suara Bisnu di seberang sana meninggi. Tenripun meledak,
“Memangnya kamu siapa mau tahu semua urusanku??!! Kamu bukan ayahku. Apa urusanmu dengan orang yang kutemani di sini?”
Bisnu terdiam di seberang sana.
Tenri menjatuhkan Bomnya, “kalau kau berpikir bisa mendikte apa yang harus kulakukan, berarti kamu melakukan kesalahan.” Tenri menutup telponnya lalu keluar menuju ke kamar Edo.
Edo baru saja berhenti bicara dengan ayahnya ketika ia mendengar ketukan di pintu. Ia beranjak dan membuka pintu kamar. Tenri menerobos masuk dan langsung menuju ke pintu teras. Dengan kasar dibukanya pintu itu lalu keluar dan berdiri sambil membungkuk di terali besi.
Edo hanya bisa memandanginya dengan tanda tanya memenuhi kepalanya. Ragu-ragu ia ikuti gadis itu lalu berdiri di sampingnya. Cukup lama keduanya terdiam sebelum akhirnya Edo menyentuh pundak Tenri.
“Ada apa? Ada masalah?” Tanya Edo. Tenri hanya menggeleng. Edo ingat ketika Tenri ngambek pada seseorang, Ia hanya mengajak main Tennis dan melampiaskannya kepada raket dan bolanya. Kali ini apa yang akan menjadi pelampiasan Tenri? Jangan-jangan ia mau lompat dari Teras itu. dirasuki pikiran seperti itu, Edo mendekap Tenri. Lagi-lagi Tenri balas memeluknya dan menangis di dadanya.
Edo tiba-tiba teringat film-film romantis di hollywood yang menampilkan tokohnya berpelukan di sebuah teras di gedung yang tinggi. Dan seseorang meneropong dengan menggunakan teleskop. Edo menarik tangan Tenri dan mengajaknya ke dalam kamar.
“Sekarang kamu boleh cerita. Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Edo.
Tenri duduk di tepi tempat tidur. Edo duduk di sisinya. Mereka berpandangan  sambil berpegangan tangan. Terasa ada kehangatan yang mengalir dari tangan masing-masing dan berkumpul di jemari mereka.
“Ini karena Bisnu.”
“Siapa
“Bisnu itu sepupuku. Selama ini dialah orang yang selalu membantuku. Termasuk rencana keberangkatanku ke Australia yang gagal itu. tadi dia nelpon dan marah-marah, karena ada tante yang melihat kita jalan bareng. Aku sebel banget.”
“Mungkin dia suka sama kamu.”
“Memang.”
“Maksudnya?”
“Ya aku tahu dia suka sama aku, bukan hanya sebagai sepupu. Kalau tidak kenapa dia bela-belain nelpon malam-malam begini dari Australia. Sekarang di sana pasti sudah jam satu malam.”
“Berarti aku ada saingan, dong.”
“Edo sayang, dia bukan saingan kamu.”
“Maksud kamu?”
“Dia orang yang spesial. Sama seperti kamu, orang yang spesial bagiku. Tapi dalam konteks yang berbeda. Dia memang spesial untuk masa kanak-kanak hingga awal masa remajaku. Tapi kamu spesial di masa dewasaku.”
“Kamu belum dewasa.”
“Siapa bilang. Aku sudah sembilan belas tahun. Tahun depan bulan agustus aku akan berusia dua puluh tahun.”
“Tetap aja belum cukup umur.”
“Belum cukup umur untuk apa?”
“Untuk menikah tanpa izin orang tua.”
“Apa?”
“Iya, kan yang boleh menikah tanpa izin dari orang tua cuma janda.”
Tenri tertawa. Suara tawanya lepas. Dia kembali ceria. Seperti kebiasaannya yang sudah mulai dikenal oleh Edo.
“Sudahlah, Edo. Kamu memang paling bisa membuatku pulih dari berbagai persoalan. Tidurlah. Besok kita punya banyak acara.” Tenri berdiri dan menghadiahi Edo sebuah kecupan di kening. Edo menarik tangannya dan balas mengecup bibir Tenri. Karena tidak mampu menahan dirinya, Tenri jatuh ke tempat tidur. Edo memanfaatkan kesempatan itu untuk segera mendekap Tenri dan melanjutkan kecupan singkatnya di bibir Tenri. Bibir Edo mengulum bibir Tenri, sementara kedua tangannya membelai wajah dan rambut Tenri. Ia merasa seluruh nafsunya telah berkumpul di ujung bibirnya.
Di luar dugaannya, Tenri membalas dan membelai punggung Edo, serasa memberi dorongan untuk bertindak lebih jauh. Malam kedua di Makassar di dalam sebuah rumah gedung yang megah, dengan kamar dan tempat tidur yang nyaman, menjadi kombinasi sempurna yang mendukung terbitnya keinginan mereka berdua untuk melakukan sesautu yang lebih berani.
Perlahan tapi pasti tangan Edo mulai menyusup ke balik baju tidur Tenri yang berkain licin. Menyentuh sesuatu yang kenyal. Tenri Menggeliat,  sambil melenguh dengan nafas memburu. Edo menyingkap baju tidur itu dan berusaha membenamkan wajah di lembahnya yang curam, ketika tiba-tiba aroma tubuh dari masa lalunya kembali menyerbu ke dalam indera penciumanya. Itu bukan aroma yang penuh dengan ransangan nafsu. Melainkan aroma yang terbit oleh kasih sayang dan cinta yang sejati. Yang tidak mungkin terbit terhadap perempuan yang disayangi sepenuh jiwa. Mendadak nafsu yang telah mencapai ubun-ubun Edo hilang begitu saja. Tapi ia terus memeluk dan mendekap tubuh Tenri dengan kerinduan membuncah yang terbit entah dari mana.
Kerinduan selama sekian puluh tahun tanpa kasih sayang seorang ibu, seolah menggumpal dan meledak dalam pelukan dan dekapannya dengan Tenri. Edo memejamkan mata, menghirup aroma tubuh Tenri sedalam-dalamnya . Menyimpannya di seluruh hati dan pikirannya. Rasa kehilangan bertahun-tahun seolah terbayar tuntas malam ini. Rasa bahagia yang tidak terperi melingkupi seluruh jiwa Edo. Ia pernah merasa seperti ini, sekian puluh tahun yang lalu. Tapi malam ini, semua terulang dan Edo bisa merasakannya dengan segenap jiwa dan raganya. Bukan hanya di dalam mimpi dan gambar-gambar masa lalu.
Tenri juga menikmati moment itu dengan segenap jiwa dan raganya. Merasa aneh karena seharusnya, mereka telah terlibat dalam sebuah pertempuran fisik yang panas dan menggairahkan. Merasa heran karena seharusnya mereka sudah terbeanm dalam lautan asmara yang membara. Kedua fisik yang berbeda jenis itu seharusnya sudah lebur dalam kebersamaan yang indah dan mendebarkan. Tapi mereka berdua justru merasakan getaran berbeda yang muncul entah datang dari mana.
Mereka hanya terus berpelukan. Tak mampu melakukan apa-apa selain berpelukan selama beberapa saat. Hingga kemudian Tenri menggeliat dan mencoba untuk bangun. Edo mengendurkan pelukannya lalu bangun lebih dahulu untuk membantu Tenri bangun dari tempat tidur.
Mereka masih berdiri di tengah kamar  selama beberapa saat, saling pandang, saling berpegangan tangan. Kemudian Tenri bergerak perlahan meninggalkan kamar, diiringi tatapan mata Edo. Tenri tersenyum dan Edo membalasnya.
Ketika tinggal sendiri di dalam kamar, Edo menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia mencoba menyelami perasaan aneh yang timbul seketika saat mereka bersama tadi. Secara sepintas ia mulai bisa mengenali keanehan perasaannya selama ini terhadap Tenri. Mulai saat pertama kali melihatnya, hingga sekarang dalam kebersamaan mereka yang sudah berlangsung lebih dari dua bulan ini.
Ketika dulu ia merasa bahwa wajah Tenri tidak asing, ia tidak terlalu heran. Barulah ketika ia merasakan aroma tubuh tenri yang mengingatkannya pada sesuatu yang pernah sangat ia akrabi. Ia mulai merasakan keanehan. Juga wajah damai yang tertidur pulas seolah mengingatkannya pada seseorang yang selalu pernah tertidur dengan wajah seperti itu. dan puncak keheranannya terjadi pada malam hari ini. Ketika nafsu menguasai dirinya, namun mendadak padam kerena wajah dan aroma tubuh itu kembali menguasai panca inderanya.
Apa yang terjadi dengan diriku? Edo mencoba memecahkan sendiri teka-teki itu, namun ia tidak mampu mencari hubungan yang jelas antara masa lalunya yang kabur dengan masa kininya yang terang benderang.
Edo tertidur dan bermimpi tentang ayahnya yang menyebutkan bahwa Tenri adalah ibunya. 

No comments:

Post a Comment