Malam harinya, Edo menerima telpon
ayahnya. Ayahnya menceritakan bahwa Fatwa Majelis ulama tidak berpihak pada
hasil penemuannya. Fatwa Majelis Ulama dengan tegas mengharamkan praktek
rekayasa Genetika dilakukan terhadap manusia. Melalui juru bicara yang
membacakan fatwa itu melalui siaran langsung di beberapa stasiun televisi,
Majelis Ulama Nasional menyimpulkan bahwa rekayasa genetika terhadap manusia
haram hukumnya. Alasannya banyak. Tapi pada umumnya karena para ulama itu
berpendapat tidak semestinya manusia mencampuri urusan manusia dalam penentuan
nasib. Jika suatu ketika anda sakit, maka itu merupakan bagian dari cobaan atau
ujian Tuhan yang harus dijalani oleh manusia untuk mengetahui kadar imannya.
Ardi menerima salinan fatwa itu beberapa
hari kemudian dan memutuskan untuk melakukan klarifikasi terhadap fatwa itu.
Dalam pandangannya, ada substansi yang tidak dipahami oleh sebagian anggota
Majelis ulama, dan itu sangat memengaruhi fatwa yang mereka ambil.
Pertama, bahwa rekayasa genetika bukan
menduga-duga, melainkan melakukan sesuatu berdasarkan fakta-fakta ilmiah yang
kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada yang tidak bisa
diperhitungkan dengan perangkat dan metode ilmiah.
Kedua, rekayasa genetika memiliki
maslahat yang jauh lebih besar di bandingkan musharatnya. Lebih baik mencegah
daripada mengobati. Itulah prinsip dasarnya. Jika sesuatu bisa dihindari,
bukankah itu menjadi jauh lebih baik daripada meunggu terjadinya, dan itu
adalah sesuatu yang pasti berdasarkan data ilmiah, untuk diobati. Biayanya bisa
saja menjadi jauh lebih mahal dan lebih menguras energi.
Ketiga, rekayasa genetika ini tak ubahnya
dengan transplantasi organ dalam bentuk yang sangat mini. Karena melalui
prosedur itu, bisa dilakukan penggantian kode genetik jika dianggap merugikan
calon individu yang akan dilahirkan.
Edo mencoba menyabarkan ayahnya dengan
mengatakan bahwa hal itu biasa tejadi dalam kehidupan, tapi ia buru-buru meralat
ucapannnya. Ia tahu, ayahnya telah mengahdapi banyak hal buruk dalam
kehidupannya dan fatwa haram yang merupakan penolakan terhadap hasil
penemuannya adalah sesautu yang tidak ada artinya.
“Aku telah kehilangan ibumu, dan itulah
kehilangan terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku.” Katanya pada anaknya. “Seandainya
tidak ada kamu, maka apa artinya hidupku ini? So, Don’t worry, son. Life goes on.”
Edo senang ayahnya tidak terpengaruh
dengan fatwa itu. Setelah berbincang tentang berbagai hal, iapun memutuskan
untuk menceritakan pengalamannya selama dua hari terakhir ini di Makassar.
“Rupanya kamu serius, ya?” Tanya sang
ayah.
“To
be honest, dad. Ya.”
“Kenapa?”
“Entahlah, Dad. Ada sesuatu yang membuat
semuanya berbeda dari biasanya. She’s so
special. Susah dijelaskan dan kayaknya ayah harus melihatnya langsung untuk
bisa mengerti.”
“Begitu ya?”
“Serius dad. Kalau ketemu, aku kira ayah
akan tahu. Kapan-kapan aku akan mengajaknya ke Bandung.”
“Okelah, Ayah percaya kamu akan melakukan
yang terbaik. You know the best for yourself.”
Edo kembali berpesan pada ayahnya untuk
tidak bersedih, dan dia berjanji akan segera mengirimkan foto gadis itu begitu
ia bisa. Soalnya dalam dua hari terakhir ini, Tenri seolah tidak memberinya waktu
untuk melakukan apapun selain menemaninya kemanapun ia pergi.
Di kamarnya sendiri, Tenri menerima
telpon dari Bisnu yang kecewa karena Tenri tidak jadi berangkat ke Australia
tahun ini. Bisnu penasaran dengan alasan Tenri yang terkesan tidak masuk akal
dan dibuat-buat. Tapi Tenri meyakinkan Bisnu bahwa tahun depan ia pasti akna
menyusul.
“Kak, Ternyata jadi anak bupati enak,
loh. Pantas anak-anak bupati di sekolah kita dulu suka bergaya borjuis.
Kemana-mana diantar dan selalu bawa uang banyak.”
“Ok kalau begitu. Tapi tadi Tante Amira telpon
katanya kamu sama seseorang di Makassar. Siapa itu?” Tante Amira adalah istri
salah seorang saudara ayah Tenri.
“Bukan siapa-siapa.”
“Bukan siapa-siapa? Tapi katanya kamu
dengan dia mesra sekali.”
“Tante Amira tahu dari mana?”
“Dia lihat kamu di mall kemarin malam.
Ngapain ke mall berdua malam-malam.”
“Saya cuma nonton, trus jalan-jalan keliling
kota.”
“Jawab pertanyaanku, Tenri. Siapa dia?”
Nada suara Bisnu terdengar tidak bersahabat. Terasa menghakimi dan terasa
menyalahkan. Tenri tidak suka nada itu.
“Bukan siapa-siapa.” Jawabnya lagi, tapi
asal-asalan.
“Kamu tidak jujur.”
“Teman.”
“Teman dari mana?”
“Dari daerah. Pegawainya bapak.”
“Ngapain dia ikut kamu ke situ?”
Haruskan Tenri menjelaskan siapa Edo
kepada Bisnu. Memangnya apa urusan Bisnu mau tahu apa yang dia lakukan dengan
Edo di sini? Tapi ia memilih diam.
“Tenri...?”
Tenri masih membisu.
“Halo... Tenri?” Suara Bisnu di seberang
sana meninggi. Tenripun meledak,
“Memangnya kamu siapa mau tahu semua
urusanku??!! Kamu bukan ayahku. Apa urusanmu dengan orang yang kutemani di sini?”
Bisnu terdiam di seberang sana.
Tenri menjatuhkan Bomnya, “kalau kau
berpikir bisa mendikte apa yang harus kulakukan, berarti kamu melakukan
kesalahan.” Tenri menutup telponnya lalu keluar menuju ke kamar Edo.
Edo baru saja berhenti bicara dengan
ayahnya ketika ia mendengar ketukan di pintu. Ia beranjak dan membuka pintu
kamar. Tenri menerobos masuk dan langsung menuju ke pintu teras. Dengan kasar
dibukanya pintu itu lalu keluar dan berdiri sambil membungkuk di terali besi.
Edo hanya bisa memandanginya dengan tanda
tanya memenuhi kepalanya. Ragu-ragu ia ikuti gadis itu lalu berdiri di
sampingnya. Cukup lama keduanya terdiam sebelum akhirnya Edo menyentuh pundak
Tenri.
“Ada apa? Ada masalah?” Tanya Edo. Tenri
hanya menggeleng. Edo ingat ketika Tenri ngambek pada seseorang, Ia hanya
mengajak main Tennis dan melampiaskannya kepada raket dan bolanya. Kali ini apa
yang akan menjadi pelampiasan Tenri? Jangan-jangan ia mau lompat dari Teras
itu. dirasuki pikiran seperti itu, Edo mendekap Tenri. Lagi-lagi Tenri balas
memeluknya dan menangis di dadanya.
Edo tiba-tiba teringat film-film romantis
di hollywood yang menampilkan tokohnya berpelukan di sebuah teras di gedung
yang tinggi. Dan seseorang meneropong dengan menggunakan teleskop. Edo menarik
tangan Tenri dan mengajaknya ke dalam kamar.
“Sekarang kamu boleh cerita. Apa yang
sebenarnya terjadi?” Tanya Edo.
Tenri duduk di tepi tempat tidur. Edo
duduk di sisinya. Mereka berpandangan
sambil berpegangan tangan. Terasa ada kehangatan yang mengalir dari
tangan masing-masing dan berkumpul di jemari mereka.
“Ini karena Bisnu.”
“Siapa
“Bisnu itu sepupuku. Selama ini dialah
orang yang selalu membantuku. Termasuk rencana keberangkatanku ke Australia
yang gagal itu. tadi dia nelpon dan marah-marah, karena ada tante yang melihat
kita jalan bareng. Aku sebel banget.”
“Mungkin dia suka sama kamu.”
“Memang.”
“Maksudnya?”
“Ya aku tahu dia suka sama aku, bukan
hanya sebagai sepupu. Kalau tidak kenapa dia bela-belain nelpon malam-malam
begini dari Australia. Sekarang di sana pasti sudah jam satu malam.”
“Berarti aku ada saingan, dong.”
“Edo sayang, dia bukan saingan kamu.”
“Maksud kamu?”
“Dia orang yang spesial. Sama seperti
kamu, orang yang spesial bagiku. Tapi dalam konteks yang berbeda. Dia memang spesial
untuk masa kanak-kanak hingga awal masa remajaku. Tapi kamu spesial di masa
dewasaku.”
“Kamu belum dewasa.”
“Siapa bilang. Aku sudah sembilan belas
tahun. Tahun depan bulan agustus aku akan berusia dua puluh tahun.”
“Tetap aja belum cukup umur.”
“Belum cukup umur untuk apa?”
“Untuk menikah tanpa izin orang tua.”
“Apa?”
“Iya, kan yang boleh menikah tanpa izin dari
orang tua cuma janda.”
Tenri tertawa. Suara tawanya lepas. Dia
kembali ceria. Seperti kebiasaannya yang sudah mulai dikenal oleh Edo.
“Sudahlah, Edo. Kamu memang paling bisa
membuatku pulih dari berbagai persoalan. Tidurlah. Besok kita punya banyak
acara.” Tenri berdiri dan menghadiahi Edo sebuah kecupan di kening. Edo menarik
tangannya dan balas mengecup bibir Tenri. Karena tidak mampu menahan dirinya,
Tenri jatuh ke tempat tidur. Edo memanfaatkan kesempatan itu untuk segera
mendekap Tenri dan melanjutkan kecupan singkatnya di bibir Tenri. Bibir Edo
mengulum bibir Tenri, sementara kedua tangannya membelai wajah dan rambut
Tenri. Ia merasa seluruh nafsunya telah berkumpul di ujung bibirnya.
Di luar dugaannya, Tenri membalas dan
membelai punggung Edo, serasa memberi dorongan untuk bertindak lebih jauh.
Malam kedua di Makassar di dalam sebuah rumah gedung yang megah, dengan kamar
dan tempat tidur yang nyaman, menjadi kombinasi sempurna yang mendukung
terbitnya keinginan mereka berdua untuk melakukan sesautu yang lebih berani.
Perlahan tapi pasti tangan Edo mulai
menyusup ke balik baju tidur Tenri yang berkain licin. Menyentuh sesuatu yang
kenyal. Tenri Menggeliat, sambil
melenguh dengan nafas memburu. Edo menyingkap baju tidur itu dan berusaha
membenamkan wajah di lembahnya yang curam, ketika tiba-tiba aroma tubuh dari
masa lalunya kembali menyerbu ke dalam indera penciumanya. Itu bukan aroma yang
penuh dengan ransangan nafsu. Melainkan aroma yang terbit oleh kasih sayang dan
cinta yang sejati. Yang tidak mungkin terbit terhadap perempuan yang disayangi
sepenuh jiwa. Mendadak nafsu yang telah mencapai ubun-ubun Edo hilang begitu
saja. Tapi ia terus memeluk dan mendekap tubuh Tenri dengan kerinduan membuncah
yang terbit entah dari mana.
Kerinduan selama sekian puluh tahun tanpa
kasih sayang seorang ibu, seolah menggumpal dan meledak dalam pelukan dan
dekapannya dengan Tenri. Edo memejamkan mata, menghirup aroma tubuh Tenri
sedalam-dalamnya . Menyimpannya di seluruh hati dan pikirannya. Rasa kehilangan
bertahun-tahun seolah terbayar tuntas malam ini. Rasa bahagia yang tidak
terperi melingkupi seluruh jiwa Edo. Ia pernah merasa seperti ini, sekian puluh
tahun yang lalu. Tapi malam ini, semua terulang dan Edo bisa merasakannya
dengan segenap jiwa dan raganya. Bukan hanya di dalam mimpi dan gambar-gambar
masa lalu.
Tenri juga menikmati moment itu dengan
segenap jiwa dan raganya. Merasa aneh karena seharusnya, mereka telah terlibat
dalam sebuah pertempuran fisik yang panas dan menggairahkan. Merasa heran
karena seharusnya mereka sudah terbeanm dalam lautan asmara yang membara. Kedua
fisik yang berbeda jenis itu seharusnya sudah lebur dalam kebersamaan yang indah
dan mendebarkan. Tapi mereka berdua justru merasakan getaran berbeda yang
muncul entah datang dari mana.
Mereka hanya terus berpelukan. Tak mampu
melakukan apa-apa selain berpelukan selama beberapa saat. Hingga kemudian Tenri
menggeliat dan mencoba untuk bangun. Edo mengendurkan pelukannya lalu bangun
lebih dahulu untuk membantu Tenri bangun dari tempat tidur.
Mereka masih berdiri di tengah kamar selama beberapa saat, saling pandang,
saling berpegangan tangan. Kemudian Tenri bergerak perlahan meninggalkan kamar,
diiringi tatapan mata Edo. Tenri tersenyum dan Edo membalasnya.
Ketika tinggal sendiri di dalam kamar,
Edo menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia mencoba menyelami perasaan aneh
yang timbul seketika saat mereka bersama tadi. Secara sepintas ia mulai bisa
mengenali keanehan perasaannya selama ini terhadap Tenri. Mulai saat pertama
kali melihatnya, hingga sekarang dalam kebersamaan mereka yang sudah
berlangsung lebih dari dua bulan ini.
Ketika dulu ia merasa bahwa wajah Tenri
tidak asing, ia tidak terlalu heran. Barulah ketika ia merasakan aroma tubuh
tenri yang mengingatkannya pada sesuatu yang pernah sangat ia akrabi. Ia mulai
merasakan keanehan. Juga wajah damai yang tertidur pulas seolah mengingatkannya
pada seseorang yang selalu pernah tertidur dengan wajah seperti itu. dan puncak
keheranannya terjadi pada malam hari ini. Ketika nafsu menguasai dirinya, namun
mendadak padam kerena wajah dan aroma tubuh itu kembali menguasai panca
inderanya.
Apa yang terjadi dengan diriku? Edo
mencoba memecahkan sendiri teka-teki itu, namun ia tidak mampu mencari hubungan
yang jelas antara masa lalunya yang kabur dengan masa kininya yang terang
benderang.
Edo tertidur dan bermimpi tentang ayahnya yang menyebutkan
bahwa Tenri adalah ibunya.
No comments:
Post a Comment