Thursday 19 January 2012

Chapter Twenty Five


Istri Sufri bernama Naimah, ia adalah seorang ibu rumah tangga biasa. The real housewife. Meski berpendidikan sarjana, ia memilih untuk tidak bekerja di luar rumah. Konon karena itu permintaan Sufri sendiri, beberapa hari setelah mereka menikah. Biar perawatan dan pendidikan anak-anak dilakukan oleh tangan pertama, yaitu ibunya sendiri.

Sejauh ini anak mereka memang cuma dua orang. Yang sulung sudah kelas II sekolah menengah pertama, sedangkan yang kedua kelas empat SD. Terlalu kecil untuk ukuran pasangan seusia mereka. Tapi itu bukan salah siapa-siapa, melainkan salah Sufri seorang diri. ia memutuskan untuk menikah ketika usianya sudah mendekati kepala empat. Entah apa yang dipikirkannya saat itu, tapi kegilaannya pada pendidikan membuat dia lupa pada salah satu hal paling esensil dalam kehidupan pribadinya.
Yang penting, kata Sufri waktu itu, sang istri bisa merasa puas dengan penghasilan Sufri sebagai Pegawai negeri yang pas-pasan. Ia setuju. Walau sesekali terjadi juga pertengkaran kecil karena naluri sebagai wanita kadang menuntutnya tampil modis dan berkelas sesuai dengan status sosial yang mereka sandang.
Selama enam belas tahun, mereka hidup berpindah-pindah dari rumah kontrakan yang satu ke rumah kontrakan yang lain. Pernah pula menumpang hidup di rumah orang tua atau mertua. Sampai anak mereka berjumlah dua orang. Sebuah rahmat tidak terduga, membuat mereka bisa memiliki sebuah rumah sangat sederhana di sebuah kompleks perumahan yang terletak di luar kota. Rumah itu diperoleh tanpa harus membayar DP, tinggal langsung dicicil di sebuah Bank Pemerintah setiap bulan.
Kehidupan mereka mulai berubah ketika Sufri menjadi camat. Penghasilan mereka meningkat drastis. Di samping karena tunjangan jabatannya meningkat, penghasilan lain berasal dari kedudukan Sufri yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS). Sufri mulai berani mengambil pinjaman yang lebih besar dari bank sehingga bisa melunasi cicilan rumahnya. Bahkan karena masih ada sisa uangnya, rumah sangat sederhana yang mereka tempati itu bisa direhab sehingga lebih layak dihuni oleh orang dengan jabatan seperti itu.
Kehidupan boleh berubah, tapi kesederhanaan jangan sampai ditinggalkan. Pesan Sufri kepada Naimah dan anak-anaknya. Keluarga mereka tetap hidup sederhana. Itu pula sebabnya, hingga saat-saat menjelang pengunduran dirinya, kendaraan Sufri masih kendaraan dinas yang sudah berusia lebih dari sepuluh tahun. Karena usianya, setiap saat kendaraan harus selalu dicarikan biaya perawatan dan pemeliharaan.
Kadang biaya perawatan itu berasal dari kantor, tapi lebih sering berasal dari kantong pribadinya. Jika ia ditanya, mengapa tidak minta biaya dari kantor, ia akan bilang bahwa tidak selamanya ia harus mendapatkan sesuatu dari kantor, karena seringkali ia mendapatkan sesuatu yang lebih dari semestinya. Makanya, ia berkata bahwa lebih baik ia menggunakan uang pribadi karena itu bisa menutupi kelebihan uang yang bisa ia dapatkan dari hal-hal lainnya.
Naimah sempat komplain ketika Sufri mengundurkan diri dari jabatannya. Tapi ia tidak bisa menyalahkan alasan suaminya yang merasa harga dirinya terluka dan terabaikan. Mereka sempat bertengkar beberapa hari, karena Naimah mempersoalkan biaya sekolah anak-anak yang sudah beranjak dewasa dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Akan tetapi Sufri menjelaskan bahwa kalaupun ia membayar untuk jabatan itu, seluruh pendapatan dan penghasilan yang didapatnya adalah uang haram, da ia tidak ingin menyekolahkan anaknya dengan uang seperti itu. akhirnya, Ia dukung suaminya sepenuh hati. Ia hormati suami dan keputusan yang diambilnya.
Di saat masa-masa sulit menjelang pemilihan kepala daerah yang mendebarkan itu, Naimah hadir di sisi suaminya sebagai pendukung yang paling setia. Ia tampil penuh kelembutan, menghadirkan citra seorang ibu yang penyayang. Karakter keras suaminya yang kadang tidak kenal kompromi, dinetralisir oleh kelembutan sikap, tutur kata dan perilakunya kepada orang lain.
Ketika akhirnya mereka terpilih, hidup mereka kembali berubah. Tapi jabatan wakil bupati yang diemban suaminya tidak membuatnya berubah sikap. Ia tetap seorang ibu rumah tangga sejati. Pendamping suami yang setia. The real housewife. Ia tetap menggoreng nasi untuk sarapan suami dan anak-anaknya di pagi hari. Ia tetap mencuci dan menyetrika pakaian seperti yang selama ini ia lakukan.
Pagi itu, seperti biasa Naimah menjalankan rutinitasnya. Menyiapkan sarapan pagi berupa nasi goreng sosis ayam dengan sebuah telor mata sapi yang menjadi kegemaran suaminya. Tidak ada yang berbeda. Sufri makan dengan lahap dan tak pernah lupa memuji masakan istrinya sebagai masakan terlezat di dunia, yang kadang ditanggapi oleh naimah dengan kata : Gombal atau Boring. Itulah rutinitasnya sebelum berangkat ke kantor.
“Mungkin saya nggak makan siang di rumah.” Katanya pada sang istri. “Saya mau meninjau sebuah kecamatan di luar kota. Mungkin sore baru pulang.”
Istrinya tidak menjawab. Ia bereskan peralatan makan suaminya sambil bersenandung lirih. Ketika Sufri pamit berangkat ke kantor dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan di pipi, ia hanya tersenyum, lalu berpesan, “hati-hati ya, pa.”
Sekarang ia tinggal sendirian di rumah dinas yang berdiri di atas tanah seluas satu hektar. Rumah itu terletak di sebuah jalan protokol sehingga relatif sangat mudah diakses dan disorot. Banyak bangunan lain yang berada di sekitarnya. Pagi itu, ketika Sufri berangkat, seseorang dari seberang jalan mengirim pesan singkat ke sebuah nomor. Target sudah bergerak.
Tidak ada firasat apa-apa, juga pertanda apa-apa. Ia lanjutkan aktifitasnya sambil menunggu anak-anaknya pulang dari sekolah. Si sulung yang sudah berusia lebih dua puluh tahun sementara menempuh pendidikan di ibukota provinsi. Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah akan kembali sebagai seorang dokter. Seorang anak yang masih menemaninya hingga kini adalah seorang siswa Sekolah menengah pertama kelas tiga.

No comments:

Post a Comment