Istri Sufri bernama Naimah, ia adalah
seorang ibu rumah tangga biasa. The real
housewife. Meski berpendidikan sarjana, ia memilih untuk tidak bekerja di
luar rumah. Konon karena itu permintaan Sufri sendiri, beberapa hari setelah
mereka menikah. Biar perawatan dan pendidikan anak-anak dilakukan oleh tangan
pertama, yaitu ibunya sendiri.
Sejauh ini anak mereka memang cuma dua
orang. Yang sulung sudah kelas II sekolah menengah pertama, sedangkan yang
kedua kelas empat SD. Terlalu kecil untuk ukuran pasangan seusia mereka. Tapi
itu bukan salah siapa-siapa, melainkan salah Sufri seorang diri. ia memutuskan
untuk menikah ketika usianya sudah mendekati kepala empat. Entah apa yang
dipikirkannya saat itu, tapi kegilaannya pada pendidikan membuat dia lupa pada
salah satu hal paling esensil dalam kehidupan pribadinya.
Yang penting, kata Sufri waktu itu, sang
istri bisa merasa puas dengan penghasilan Sufri sebagai Pegawai negeri yang
pas-pasan. Ia setuju. Walau sesekali terjadi juga pertengkaran kecil karena naluri
sebagai wanita kadang menuntutnya tampil modis dan berkelas sesuai dengan
status sosial yang mereka sandang.
Selama enam belas tahun, mereka hidup
berpindah-pindah dari rumah kontrakan yang satu ke rumah kontrakan yang lain.
Pernah pula menumpang hidup di rumah orang tua atau mertua. Sampai anak mereka
berjumlah dua orang. Sebuah rahmat tidak terduga, membuat mereka bisa memiliki
sebuah rumah sangat sederhana di sebuah kompleks perumahan yang terletak di
luar kota. Rumah itu diperoleh tanpa harus membayar DP, tinggal langsung
dicicil di sebuah Bank Pemerintah setiap bulan.
Kehidupan mereka mulai berubah ketika
Sufri menjadi camat. Penghasilan mereka meningkat drastis. Di samping karena tunjangan
jabatannya meningkat, penghasilan lain berasal dari kedudukan Sufri yang juga
merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS). Sufri mulai
berani mengambil pinjaman yang lebih besar dari bank sehingga bisa melunasi
cicilan rumahnya. Bahkan karena masih ada sisa uangnya, rumah sangat sederhana yang
mereka tempati itu bisa direhab sehingga lebih layak dihuni oleh orang dengan
jabatan seperti itu.
Kehidupan boleh berubah, tapi
kesederhanaan jangan sampai ditinggalkan. Pesan Sufri kepada Naimah dan
anak-anaknya. Keluarga mereka tetap hidup sederhana. Itu pula sebabnya, hingga
saat-saat menjelang pengunduran dirinya, kendaraan Sufri masih kendaraan dinas yang
sudah berusia lebih dari sepuluh tahun. Karena usianya, setiap saat kendaraan harus
selalu dicarikan biaya perawatan dan pemeliharaan.
Kadang biaya perawatan itu berasal dari
kantor, tapi lebih sering berasal dari kantong pribadinya. Jika ia ditanya,
mengapa tidak minta biaya dari kantor, ia akan bilang bahwa tidak selamanya ia
harus mendapatkan sesuatu dari kantor, karena seringkali ia mendapatkan sesuatu
yang lebih dari semestinya. Makanya, ia berkata bahwa lebih baik ia menggunakan
uang pribadi karena itu bisa menutupi kelebihan uang yang bisa ia dapatkan dari
hal-hal lainnya.
Naimah sempat komplain ketika Sufri
mengundurkan diri dari jabatannya. Tapi ia tidak bisa menyalahkan alasan
suaminya yang merasa harga dirinya terluka dan terabaikan. Mereka sempat
bertengkar beberapa hari, karena Naimah mempersoalkan biaya sekolah anak-anak
yang sudah beranjak dewasa dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Akan tetapi
Sufri menjelaskan bahwa kalaupun ia membayar untuk jabatan itu, seluruh
pendapatan dan penghasilan yang didapatnya adalah uang haram, da ia tidak ingin
menyekolahkan anaknya dengan uang seperti itu. akhirnya, Ia dukung suaminya
sepenuh hati. Ia hormati suami dan keputusan yang diambilnya.
Di saat masa-masa sulit menjelang
pemilihan kepala daerah yang mendebarkan itu, Naimah hadir di sisi suaminya
sebagai pendukung yang paling setia. Ia tampil penuh kelembutan, menghadirkan
citra seorang ibu yang penyayang. Karakter keras suaminya yang kadang tidak kenal
kompromi, dinetralisir oleh kelembutan sikap, tutur kata dan perilakunya kepada
orang lain.
Ketika akhirnya mereka terpilih, hidup
mereka kembali berubah. Tapi jabatan wakil bupati yang diemban suaminya tidak
membuatnya berubah sikap. Ia tetap seorang ibu rumah tangga sejati. Pendamping
suami yang setia. The real housewife. Ia tetap menggoreng nasi untuk sarapan
suami dan anak-anaknya di pagi hari. Ia tetap mencuci dan menyetrika pakaian seperti
yang selama ini ia lakukan.
Pagi itu, seperti biasa Naimah
menjalankan rutinitasnya. Menyiapkan sarapan pagi berupa nasi goreng sosis ayam
dengan sebuah telor mata sapi yang menjadi kegemaran suaminya. Tidak ada yang
berbeda. Sufri makan dengan lahap dan tak pernah lupa memuji masakan istrinya
sebagai masakan terlezat di dunia, yang kadang ditanggapi oleh naimah dengan
kata : Gombal atau Boring. Itulah rutinitasnya sebelum berangkat ke kantor.
“Mungkin saya nggak makan siang di
rumah.” Katanya pada sang istri. “Saya mau meninjau sebuah kecamatan di luar
kota. Mungkin sore baru pulang.”
Istrinya tidak menjawab. Ia bereskan
peralatan makan suaminya sambil bersenandung lirih. Ketika Sufri pamit
berangkat ke kantor dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan di pipi, ia hanya
tersenyum, lalu berpesan, “hati-hati ya, pa.”
Sekarang ia tinggal sendirian di rumah
dinas yang berdiri di atas tanah seluas satu hektar. Rumah itu terletak di
sebuah jalan protokol sehingga relatif sangat mudah diakses dan disorot. Banyak
bangunan lain yang berada di sekitarnya. Pagi itu, ketika Sufri berangkat,
seseorang dari seberang jalan mengirim pesan singkat ke sebuah nomor. Target sudah bergerak.
Tidak ada firasat apa-apa, juga pertanda
apa-apa. Ia lanjutkan aktifitasnya sambil menunggu anak-anaknya pulang dari
sekolah. Si sulung yang sudah berusia lebih dua puluh tahun sementara menempuh
pendidikan di ibukota provinsi. Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama
sudah akan kembali sebagai seorang dokter. Seorang anak yang masih menemaninya
hingga kini adalah seorang siswa Sekolah menengah pertama kelas tiga.
No comments:
Post a Comment