Sunday 8 January 2012

Chapter Ten


Keempat laki-laki paruh baya itu tertunduk menatap kartu domino di tangan mereka masing-masing. Hawa pegunungan di pinggiran kota yang berhembus sepoi-sepoi tidak membuat mereka kedinginan, walau malam sudah semakin larut. Beberapa cangkir berisi ampas kopi masih berada di sisi masing-masing orang. Tiga buah piring berisi penganan tradisional yang sudah hapir tandas juga masih setia menemani.


“Sepertinya, langkah-langkah yang ditempuh oleh Bupati dan Wakil Bupati akan menyulitkan Boss kita.” Berkata seseorang yang usianya paling muda di antara mereka. Namanya Junaid.
“Kau pikir begitu?” rekannya yang duduk di sisi kanannya mencoba menanggapi.
“Ya, Pak Arhim.” Ia mengangguk, “sekarang yang tersentuh memang masih kepala perangkat daerah setingkat dinas dan badan. Kalau itu sudah beres, pasti nanti akan merembet ke atas atau ke bawah.”
Mereka terdiam.  Tetap melanjutkan permainan dalam kebisuan.
“Pastinya, ini hanya ide Wakil Bupati.” Seseorang yang berkaca mata tebal kembali membuka pembicaraan, dia merupakan orang yang tertua di antara mereka,  seraya melempar sebuah kartu di atas meja.
“Ya, betul kata Pak Ibong. Itu memang seratus persen ide Sufri.” Burman yang berbaju kaos oblong putih membenarkan. “Dulu, dia memang sering membicarakan wacana-wacana ini sebelum dia terpilih menjadi wakil Bupati.”
“Betul, boleh dikata ide ini sudah matang jauh sebelum dia dilantik.” Kata Ibong lagi.
“Apakah itu berarti Bupati tidak tahu?” kali ini yang bertanya adalah Junaid.
“Bukannya tidak tahu. Bupati baru itu ‘kan seorang pengusaha. Mana dia mengerti urusan pemerintahan?” kata Burman lagi, sambil tertawa sinis. “paling-paling yang dia pikirkan cuma keuntungan, berapa keuntungan yang bisa dia dapat selama menjadi bupati.”
Rekan-rekannya yang lain tertawa kecut, tapi diam-diam menyetujui.
“Itu yang harus kita cari tahu.” Kata Ibong. “Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Bagaimana dengan orang-orang kalian. Apakah sudah berada di posisi masing-masing?”
“Siap, komandan.”  Hampir serentak tiga orang yang ada di situ menyahut.
“Ok, suruh mereka tetap memantau situasi dan melaporkan perkembangan yang terjadi setiap saat. Jika ‘Boss’ sudah memberi tanda, kita akan segera bertindak.” Tiga orang rekannya mengangguk patuh.
Setelah satu putaran permainan itu selesai, Ibong kembali menambahkan, “mulai sekarang, pertemuan seperti ini harus kita lakukan di tempat tertutup. Aku akan menghubungi kalian dengan nomor telpon khusus. Nomor yang aman dan tidak terlacak. Lokasi pertemuan kita tidak harus selalu berubah, tapi yang penting waktunya, jangan rutin.
Mereka masih bermain hingga beberapa putaran, dan waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Usai berdiskusi tentang kalah menang dalam permainan itu, semuanya lalu kembali ke rumah masing-masing. Lain kali kalau berkumpul, jangan pakai kendaraan pribadi. Terlalu mudah dikenali. Pesan mereka satu sama lain sebelum berpisah. 

No comments:

Post a Comment