Keempat
laki-laki paruh baya itu tertunduk menatap kartu domino di tangan mereka
masing-masing. Hawa pegunungan di pinggiran kota yang berhembus sepoi-sepoi
tidak membuat mereka kedinginan, walau malam sudah semakin larut. Beberapa
cangkir berisi ampas kopi masih berada di sisi masing-masing orang. Tiga buah
piring berisi penganan tradisional yang sudah hapir tandas juga masih setia
menemani.
“Sepertinya,
langkah-langkah yang ditempuh oleh Bupati dan Wakil Bupati akan menyulitkan
Boss kita.” Berkata seseorang yang usianya paling muda di antara mereka.
Namanya Junaid.
“Kau
pikir begitu?” rekannya yang duduk di sisi kanannya mencoba menanggapi.
“Ya,
Pak Arhim.” Ia mengangguk, “sekarang yang tersentuh memang masih kepala
perangkat daerah setingkat dinas dan badan. Kalau itu sudah beres, pasti nanti
akan merembet ke atas atau ke bawah.”
Mereka
terdiam. Tetap melanjutkan
permainan dalam kebisuan.
“Pastinya,
ini hanya ide Wakil Bupati.” Seseorang yang berkaca mata tebal kembali membuka
pembicaraan, dia merupakan orang yang tertua di antara mereka, seraya melempar sebuah kartu di atas
meja.
“Ya,
betul kata Pak Ibong. Itu memang seratus persen ide Sufri.” Burman yang berbaju
kaos oblong putih membenarkan. “Dulu, dia memang sering membicarakan
wacana-wacana ini sebelum dia terpilih menjadi wakil Bupati.”
“Betul,
boleh dikata ide ini sudah matang jauh sebelum dia dilantik.” Kata Ibong lagi.
“Apakah
itu berarti Bupati tidak tahu?” kali ini yang bertanya adalah Junaid.
“Bukannya
tidak tahu. Bupati baru itu ‘kan seorang pengusaha. Mana dia mengerti urusan
pemerintahan?” kata Burman lagi, sambil tertawa sinis. “paling-paling yang dia
pikirkan cuma keuntungan, berapa keuntungan yang bisa dia dapat selama menjadi
bupati.”
Rekan-rekannya
yang lain tertawa kecut, tapi diam-diam menyetujui.
“Itu
yang harus kita cari tahu.” Kata Ibong. “Kita tunggu saja perkembangan
selanjutnya. Bagaimana dengan orang-orang kalian. Apakah sudah berada di posisi
masing-masing?”
“Siap,
komandan.” Hampir serentak tiga
orang yang ada di situ menyahut.
“Ok,
suruh mereka tetap memantau situasi dan melaporkan perkembangan yang terjadi setiap
saat. Jika ‘Boss’ sudah memberi tanda, kita akan segera bertindak.” Tiga orang
rekannya mengangguk patuh.
Setelah
satu putaran permainan itu selesai, Ibong kembali menambahkan, “mulai sekarang,
pertemuan seperti ini harus kita lakukan di tempat tertutup. Aku akan
menghubungi kalian dengan nomor telpon khusus. Nomor yang aman dan tidak
terlacak. Lokasi pertemuan kita tidak harus selalu berubah, tapi yang penting
waktunya, jangan rutin.
Mereka
masih bermain hingga beberapa putaran, dan waktu sudah menunjukkan lewat tengah
malam. Usai berdiskusi tentang kalah menang dalam permainan itu, semuanya lalu
kembali ke rumah masing-masing. Lain kali kalau berkumpul, jangan pakai
kendaraan pribadi. Terlalu mudah dikenali. Pesan mereka satu sama lain sebelum
berpisah.
No comments:
Post a Comment