Meskipun tidak sepenuhnya yakin, tapi
Tenri mulai bisa menyatakan bahwa
keputusannya untuk tetap tinggal di daerah ini adalah karena Edo. Ia
suka pemuda itu. cinta? Not yet. Itu
masih harus diuji dengan berbagai instrumen sebelum sampai pada kesimpulan itu.
Lagipula, konsepnya tentang cinta
masih terlalu prematur untuk menjadi alasan perubahan keinginan yang drastis
itu.
Edo menawan hatinya. Tapi bukan
karena alasan-alasan yang bersifat fisik. Ia cuma selalu merasa ingin dekat
dengan pemuda itu. Karena sesuatu alasan yang tidak bisa dia jelaskan. Edo
ganteng, tinggi dan atletis, itu relatif. Edo cerdas dan hebat main tennis. Itu
juga bukan sesuatu yang istimewa.
Tenri cuma merasa, setiap kali
bersama Edo, ada perasaan senang dan bahagia yang meliputi hatinya. Semacam rasa nyaman ketika berteduh di bawah
pohon yang rindang di kala matahari bersinar begitu terik. Senang ketika berada
di sana tapi tidak pernah sekalipun berniat untuk tinggal. Tenri tertawa
geli dengan perumpamaan yang dibuatnya sendiri. Tapi seperti itulah yang dia
rasakan tentang Edo.
Memiliki cinta, apalagi dengan
tingkat keseriusan yang tinggi lalu berpikir hingga ke jenjang pernikahan
adalah sesuatu yang masih terlalu dini buatnya. Let it flows. Biarkan saja mengalir hingga suatu saat tiba di
muaranya.
Berteduhlah saja, ketika kenyamanan
itu masih kau rasakan. Suatu saat rasa itu akan berakhir dan itulah saatnya kau
harus pergi. Sebenarnya Tenri tahu kalau Edo mencintainya. Cara Edo berbicara,
cara Edo memandangnya, dan cara Edo memperlakukannya, sudah cukup menjadi
jawaban. Ia memang tidak pernah memberikan kesempatan kepada Edo untuk
mengungkapkan perasaan itu secara verbal, karena khawatir ia tidak bisa memberi
jawaban yang tepat.
Selain main tennis dan makan bersama,
Tenri juga makin sering mengunjungi Edo di kantor. Menemaninya bekerja atau sekedar
mengganggunya. Tidak ada orang yang berani memprotes. Jika sesekali Edo mengeluh
karena merasa terganggu, Tenri akan mengeluarkan ancaman yang menjadi senjata
pamungkasnya, kembali ke Makassar dan berangkat ke Australia. Maka Edopun
buru-buru meralat ucapannya.
Tenri tak sungkan menggandeng tangan
Edo berjalan di halaman kantor. Mengabaikan tatapan iri gadis-gadis lain yang naksir
sama Edo.
No comments:
Post a Comment