Tuesday 24 January 2012

Chapter Thirty Three


Edo menangkap reaksi yang beragam dari orang-orang yang ditemuinya di kantor terkait peristiwa yang menimpa Wakil Bupati. Walau  pada umumnya menampakkan keterkejutan dan keprihatinan, namun ada juga satu dua orang yang terlihat tidak begitu peduli. Sejauh ini, ia berusaha untuk tidak membicarakan peristiwa itu. Baginya, itu hanya peristiwa kriminal biasa, yang bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan terhadap siapa saja.

Perubahan sikap Edo terhadap peristiwa itu justru terjadi ketika sore harinya saat mereka berjalan-jalan di sebuah mall di kawasan Tanjung Bunga.
Tenri bicara bahwa menurut ayahnya, peristiwa ini adalah sebuah konspirasi yang besar. Edo berpikir bahwa Pak Bupati mungkin shock dengan peristiwa itu sehingga berimajinasi macam-macam. Tapi ia mencoba menggali lebih jauh.
“Atas dasar apa?” Tanya Edo.
“Banyak. Pertama, kata ayah, pilihan tempat dan waktunya.”
“Kenapa dengan tempatnya?”
“Tempatnya di luar kota, sebuah ruas jalan yang sepi dengan hutan di kiri kanan jalan. Sangat ideal untuk melakukan kejahatan seperti itu tanpa diketahui orang lain.”
“Kalau menurut saya sih, lokasi seperti itu memang menjadi pilihan tepat bagi para pelaku kejahatan.”
“Betul, Do. Tapi selama ini tempat itu selalu aman. Bahkan kata Kapolres, kalaupun ada perempuan telanjang lewat di situ, nggak bakalan diperkosa.”
“Kamu mau coba?” Tenri menyikut pinggangnya.
“Ih, jahat amat.” Tenri mendelik. Edo tertawa sambil menyeruput kopinya.
“Terus?”
“Nah, kalau daerahnya seaman itu, Kenapa tiba-tiba pada hari itu muncul serombongan orang yang melakukan kejahatan di tempat itu. Dan mereka itu diyakini bukan penduduk asli.”
“Kok bisa yakin? Kan orangnya belum ketahuan.”
“Nah, ini yang harus kamu tahu, Do. Polisi sudah menyusuri daerah sekitar situ dan berusaha mencari orang dengan ciri-ciri fisik seperti deskripsi  Ajudan Wakil Bupati. Tapi mereka tidak menemukannya. Pelakunya pasti orang yang berasal dari luar daerah.”  
“Boleh. Boleh dipertimbangkan untuk diterima.” Kata Edo.  “Nah, bagaimana dengan waktu?”
“Waktunya direncanakan dengan sangat cermat. Ingat waktu saya bilang Lokasi kejadian relatif selalu aman karena jarang dilalui. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa kejadian itu bukan sebuah kebetulan. Artinya, ada seseorang yang mengatur kejadian ini secara sistematis.”
Edo terdiam. Sambil berusaha mencoba untuk mencerna kata-kata Tenri. Gadis itu terlalu muda untuk bisa mengaitkan peristiwa-peristiwa seperti itu sebagai rentetan kejadian yang saling berhubungan satu sama lain. Tetapi kalau katanya itu menurut sang ayah, maka bisa jadi hal itu merupakan fakta, bukan sekedar asumsi.
Melihat lawan bicaranya bungkam, Tenri melanjutkan. “Kata ayah juga, perubahan drastis terhadap berbagai kebijakan pemerintahan membuat banyak orang yang sakit hati. itu motif yang sangat kuat.”
“Iya juga, sih. Sepertinya memang banyak orang yang merasa dirugikan dengan kebijakan baru ini.” Edo mencoba merenung. “Tapi kenapa bukan... maaf ya say.... kenapa Bukan Pak Bupati yang jadi target?”
Tenri diam. Pertanyaan itu membuat semua teori mengenai konspirasi itu mentah kembali. Ya, bukankan seharusnya jika memang mereka tidak setuju pada kebijakan Bupati dan Wakil Bupati, maka Bupatilah yang seharusnya lebih dahulu dilenyapkan.
“Aku tahu, aku tahu.” Tenri tiba-tiba bicara, seperti menemukan ilham. “Aturannya ‘kan berbunyi, kalau bupati berhalangan, maka wakil bupati yang menjalankan tugas sebagai bupati hingga periode jabatannya habis. Kalau itu yang terjadi, bisa-bisa keinginan mereka justru makin sulit terwujud. Karena pak Wakil Bupati juga punya komitmen yang tinggi untuk daerah ini.”
Edo lalu mencoba menanggapi dengan menyatakan pikirannya mengenai respon setiap orang yang kebetulan ditemunya. Dia ingat bincang-bincangnya dengan Sangkala beberapa hari lalu.
“O... memang. Biasalah, Doy. Kan ada juga orang yang tidak senang pada Wakil Bupati. Makanya, reaksi mereka biasa-biasa saja. Bahkan mungkin mereka merasa senang. Kata Sangkala waktu itu.
“Tapi ini lain, ngka. Aku juga mulai terpengaruh pada ulasan Tenri. sepertinya aku merasa ada sesuatu yang aneh.”
“Ah, masa?”
“Kamu lihat nggak kemarin, waktu pak Bupati ngasih briefing. Mereka seperti acuh tak acuh dan cenderung tidak memperhatikan.”
“Aku juga mulai curiga, ngka, peristiwa ini bermotif politik.”
“Kalau begitu, kita tunggu saja keterangan dari pelaku yang tertangkap. Kan ada satu orang yang berhasil ditangkap. Mungkin kalau dia bicara, semua bisa terungkap.”
Sudahlah, itu bukan urusan kita. Pungkas Edo. Ia lalu menoleh pada Tenri dan mengajaknya pulang. 

No comments:

Post a Comment