Edo menangkap reaksi yang beragam dari
orang-orang yang ditemuinya di kantor terkait peristiwa yang menimpa Wakil
Bupati. Walau pada umumnya menampakkan
keterkejutan dan keprihatinan, namun ada juga satu dua orang yang terlihat
tidak begitu peduli. Sejauh ini, ia berusaha untuk tidak membicarakan peristiwa
itu. Baginya, itu hanya peristiwa kriminal biasa, yang bisa terjadi kapan saja,
di mana saja dan terhadap siapa saja.
Perubahan sikap Edo terhadap peristiwa
itu justru terjadi ketika sore harinya saat mereka berjalan-jalan di sebuah
mall di kawasan Tanjung Bunga.
Tenri bicara bahwa menurut ayahnya,
peristiwa ini adalah sebuah konspirasi yang besar. Edo berpikir bahwa Pak
Bupati mungkin shock dengan peristiwa itu sehingga berimajinasi macam-macam.
Tapi ia mencoba menggali lebih jauh.
“Atas dasar apa?” Tanya Edo.
“Banyak. Pertama, kata ayah, pilihan
tempat dan waktunya.”
“Kenapa dengan tempatnya?”
“Tempatnya di luar kota, sebuah ruas
jalan yang sepi dengan hutan di kiri kanan jalan. Sangat ideal untuk melakukan
kejahatan seperti itu tanpa diketahui orang lain.”
“Kalau menurut saya sih, lokasi seperti
itu memang menjadi pilihan tepat bagi para pelaku kejahatan.”
“Betul, Do. Tapi selama ini tempat itu
selalu aman. Bahkan kata Kapolres, kalaupun ada perempuan telanjang lewat di
situ, nggak bakalan diperkosa.”
“Kamu mau coba?” Tenri menyikut
pinggangnya.
“Ih, jahat amat.” Tenri mendelik. Edo tertawa
sambil menyeruput kopinya.
“Terus?”
“Nah, kalau daerahnya seaman itu, Kenapa
tiba-tiba pada hari itu muncul serombongan orang yang melakukan kejahatan di
tempat itu. Dan mereka itu diyakini bukan penduduk asli.”
“Kok bisa yakin? Kan orangnya belum
ketahuan.”
“Nah, ini yang harus kamu tahu, Do. Polisi
sudah menyusuri daerah sekitar situ dan berusaha mencari orang dengan ciri-ciri
fisik seperti deskripsi Ajudan
Wakil Bupati. Tapi mereka tidak menemukannya. Pelakunya pasti orang yang
berasal dari luar daerah.”
“Boleh. Boleh dipertimbangkan untuk
diterima.” Kata Edo. “Nah,
bagaimana dengan waktu?”
“Waktunya direncanakan dengan sangat
cermat. Ingat waktu saya bilang Lokasi kejadian relatif selalu aman karena
jarang dilalui. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa kejadian itu bukan
sebuah kebetulan. Artinya, ada seseorang yang mengatur kejadian ini secara
sistematis.”
Edo terdiam. Sambil berusaha mencoba untuk
mencerna kata-kata Tenri. Gadis itu terlalu muda untuk bisa mengaitkan
peristiwa-peristiwa seperti itu sebagai rentetan kejadian yang saling
berhubungan satu sama lain. Tetapi kalau katanya itu menurut sang ayah, maka
bisa jadi hal itu merupakan fakta, bukan sekedar asumsi.
Melihat lawan bicaranya bungkam, Tenri
melanjutkan. “Kata ayah juga, perubahan drastis terhadap berbagai kebijakan
pemerintahan membuat banyak orang yang sakit hati. itu motif yang sangat kuat.”
“Iya juga, sih. Sepertinya memang banyak
orang yang merasa dirugikan dengan kebijakan baru ini.” Edo mencoba merenung.
“Tapi kenapa bukan... maaf ya say.... kenapa Bukan Pak Bupati yang jadi
target?”
Tenri diam. Pertanyaan itu membuat semua
teori mengenai konspirasi itu mentah kembali. Ya, bukankan seharusnya jika
memang mereka tidak setuju pada kebijakan Bupati dan Wakil Bupati, maka
Bupatilah yang seharusnya lebih dahulu dilenyapkan.
“Aku tahu, aku tahu.” Tenri tiba-tiba
bicara, seperti menemukan ilham. “Aturannya ‘kan berbunyi, kalau bupati
berhalangan, maka wakil bupati yang menjalankan tugas sebagai bupati hingga
periode jabatannya habis. Kalau itu yang terjadi, bisa-bisa keinginan mereka
justru makin sulit terwujud. Karena pak Wakil Bupati juga punya komitmen yang
tinggi untuk daerah ini.”
Edo lalu mencoba menanggapi dengan
menyatakan pikirannya mengenai respon setiap orang yang kebetulan ditemunya.
Dia ingat bincang-bincangnya dengan Sangkala beberapa hari lalu.
“O... memang. Biasalah, Doy. Kan ada juga
orang yang tidak senang pada Wakil Bupati. Makanya, reaksi mereka biasa-biasa
saja. Bahkan mungkin mereka merasa senang. Kata Sangkala waktu itu.
“Tapi ini lain, ngka. Aku juga mulai
terpengaruh pada ulasan Tenri. sepertinya aku merasa ada sesuatu yang aneh.”
“Ah, masa?”
“Kamu lihat nggak kemarin, waktu pak
Bupati ngasih briefing. Mereka seperti acuh tak acuh dan cenderung tidak
memperhatikan.”
“Aku juga mulai curiga, ngka, peristiwa
ini bermotif politik.”
“Kalau begitu, kita tunggu saja
keterangan dari pelaku yang tertangkap. Kan ada satu orang yang berhasil
ditangkap. Mungkin kalau dia bicara, semua bisa terungkap.”
Sudahlah, itu bukan urusan kita. Pungkas
Edo. Ia lalu menoleh pada Tenri dan mengajaknya pulang.
No comments:
Post a Comment