Monday 30 January 2012

Chapter Fourty


Imran berdiri mematung. Matanya menatap tajam pada sebuah foto berpigura besar yang menempel di dinding ruang tamu rumah dinasnya. Sejak kepergian tamunya sepuluh menit lalu, ia terus memandangi foto itu, menatap postur, kulit, mata, hidung dan garis bibir seorang gadis muda yang duduk anggun dengan dagu terangkat. Pandangannya lalu berpindah ke sebuah foto keluarga yang juga berukuran besar. Di foto itu ada gambar dirinya, istrinya dan Tenri, anak tunggalnya. Ia kembali memfokuskan pandangan pada gambar sang anak.

Foto-foto itu dipindahkan dari rumah pribadinya ketika ia mulai mendiami rumah dinas ini. Foto itu sendiri sudah dia miliki sejak dua tahun lalu. Tapi baru kali ini ia luangkan waktu berlama-lama memandanginya. Tidak ada yang salah dengan foto-foto itu, juga tidak dengan gadis yang ada di foto itu. Rasa penasarannya untuk memandangi foto itu hanya gara-gara celetukan tamunya barusan bahwa gadis di foto itu berwajah khas Priangan.
Setelah mencapai usia remaja, wajah gadis itu memang sama sekali tidak mirip dirinya atau istrinya. Dulu ketika rekan-rekannya bercanda  bahwa anak itu bukan anaknya, ia tidak merasa resah. Toh biasa terjadi wajah seorang anak berbeda jauh dari orang tuanya. Begitu tangkisnya waktu itu. Namun celetukan tamunya yang menyebut anak itu sebagai berwajah priangan, mulai merasuki pikirannya. Priangan? Kenapa bisa priangan? Padahal gadis itu adalah anak kandung satu-satunya yang lahir dari rahim istrinya satu-satunya. Istrinya melahirkan bayi itu lewat persalinan normal dan dia sendiri mendampingi istrinya di sepanjang waktu kritis itu. Bagaimana mungkin bisa berwajah Priangan? Ia kembali mengamati wajah gadis itu. 
Ia teringat bahwa anak itu lahir setelah upaya panjang tak kenal lelah yang dia lakukan bersama istrinya. Pikirannya melayang ke masa sekitar dua puluh tahun lalu. Ketika usia pernikahannya sudah memasuki tahun ketujuh, namun belum juga dikaruniai anak.
Imran berasal dari keluarga besar yang rata-rata punya banyak anak. Ia sendiri adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Sementara istrinyapun demikian, anak pertama dari enam bersaudara. Ya, keluarga besar dengan jumlah anak-anak yang fantastis.
Baik saudara-saudaranya maupun saudara istrinya yang sudah lebih dahulu menikah paling tidak sudah menggendong momongan. Bahkan adik bungsunya yang menikah empat tahun setelahnya, waktu itu juga sudah punya seorang anak. Hati mereka terkadang merasa minder, ketika seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah orang tuanya atau di rumah mertuanya, tinggal pasangan Imran yang tidak mengikutsertakan seorang anakpun.
Tahun pertama pernikahan mereka, semua masih berjalan normal. Bahkan bulan madu ke Singapura dan Bangkok, belanja perabotan baru untuk rumah baru, serta kesibukan di tempat kerja membuat mereka belum berpikir tentang anak. Tahun kedua menjadi target waktu minimal, dengan toleransi yang masih sangat longgar untuk memiliki momongan. Tapi rencana sudah mulai disusun. Jika sedang tidak mood, mereka pakai alat kontrasepsi. Tapi kadang jika tiba-tiba mereka menggebu-gebu untuk segera punya anak, maka alat kontrasepsi dijauhkan dari rumah itu. tapi sekali lagi, masih ada toleransi yang sangat longgar.
Memasuki tahun ketiga, mereka mulai memasang target. Pada ulang tahun ketiga pernikahan, mereka sudah harus punya anak. Sekarang alat kontrasepsi benara-benar diharamkan. Setiap malam mereka berupaya sungguh-sungguh, hingga berpeluh-peluh. Mewujudkan keinginan untuk mencapai target menimang momongan pada ulang tahun ketiga pernikahan mereka. Bulan januari, februari, maret, dan seterusnya berlalu, dan setiap bulan mereka harus memendam kekecewaan ketika Nurani mendapati dirinya tetap menstruasi secara teratur.
Tahun keempat, upaya mereka lebih intensif. Diet penyubur kandungan dilakoni dengan tekun dan telaten. Petunjuk dan saran orang-orang “pintar” diikuti dengan taat, termasuk mandi kembang tujuh rupa. Tidak sedikit dukun dan kiai yang mengajari mereka mantera dan do’a-do’a. Tidak jarang pula mereka berkendara ke pedalaman, sekedar untuk menemui orang yang bisa membantu. Namun, seiring dengan semakin membesarnya harapan mereka, janin di dalam rahim justru makin tak kunjung hadir.
Tahun kelima, mereka mulai gelisah. Jangan-jangan ada sesuatu yang salah dengan diri mereka berdua. Lalu dokter ahlipun menjadi sasaran kunjungan mereka berikutnya. Klinik kesuburan, Sin She, dan tabib jadi alternatif yang menyelingi konsultasi mereka ke dokter ahli, namun hingga akhir tahun keenam pernikahan mereka, upaya itu tidak berhasil sama sekali. Istri Imran masih tetap menstruasi setiap bulan secara teratur. Sebuah keteraturan yang menjengkelkan.
Di tahun ke tujuh, keadaan itu semakin menyesakkan dada Imran dan Istrinya. Bukan saja karena upaya-upaya mereka yang tidak membuahkan hasil. Tetapi juga karena dari kalangan keluarga, kolega dan rekan-rekan bisnis, mulai terdengar keraguan mengenai ‘keaslian’ mereka sebagai laki-laki dan perempuan. Itu menyakitkan. Aku pria jantan, jerit Imran. 
Beberapa orang kemudian mulai menyarankan untuk mengadopsi anak, katanya sebagai pancingan. Konon, setelah mengadopsi anak, banyak pasangan yang langsung dikaruniai anak kandung. Tapi ide itu tidak terlalu mereka respon. Bagaimanapun anak adopsi bukan anak kandung. Dan mereka tidak bisa membesarkan anak yang tidak jelas asal usulnya.
Di saat Pasangan imran dan Nurani sudah mulai putus asa, seorang rekan bisnis Imran menyebutkan nama seorang dokter di Bandung yang sudah berhasil menolong sejumlah pasangan suami istri melalui program bayi tabung. Tapi katanya biayanya cukup tinggi. Imran tidak peduli pada soal biaya. Selama ini mereka bisa membeli apa saja. Kecuali anak. Apalagi kebahagiaan menimang anak kandung tak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan memiliki harta benda dan kekayaan. Kebahagiaan itu tidak bisa dibandingkan, katanya.  Jangankan ke Bandung. Ke luar negeri sekalipun akan mereka datangi, jika itu memang menjanjikan keberhasilan.
Pesawat Boeing 747-400 Garuda Indonesia Airways dari Makassar mendarat dengan mulus di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng. Ketika pesawat itu telah terparkir dengan rapi, pintu-pintunya mulai terbuka. Beberapa mobil pengangkut barang segera menyelinap ke bagian bawah lambung pesawat, siap menerima tumpahan barang bawaan penumpang
Sekitar setengah jam kemudian, Imran dan istrinya berjalan keluar dari terminal kedatangan domestik dengan dua buah koper berukuran sedang. Mereka disambut oleh seorang sopir perusahaan yang sudah menunggu sejak sejam lalu. Namanya Didin. Usianya sekitar lima puluh tahun. Konon ia berasal dari kawasan Banjarwangi, sebuah kecamatan di pedalaman Kabupaten Garut.
“Wilujeng Sumping, bapak, Ibu.” Katanya dengan logat Sunda yang kental, “Apa kabar?” tanyanya, seraya meraih barang Imran dan istrinya.
“Baik, Din. Kamu sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah Sae, bapak.” Jawabnya sambil mengarahkan Imran dan istrinya berjalan menuju tempat parkir dan mendekati mobilnya. Ia buka pintu bagasi mobil lalu menempatkan dua buah koper itu ke dalam. Ia biarkan Imran dan istrinya masuk ke dalam mobil lalu berjalan ke pintu kemudi.
Didin tidak berani membukakan pintu untuk Imran, tidak seperti direksi atau komisaris perusahaan lainnya yang dia layani di Jakarta, Imran benci diperlakukan seperti itu. Ketika pertama kali ia menjemput Imran beberapa tahun lalu dan ia membukakan pintu, Imran mendampratnya. Imran bahkan duduk di samping kursi pengemudi. Tip Imran juga biasanya lebih besar daripada pejabat lainnya.  Hal itu membuatnya jadi lebih hormat kepada Imran di banding siapapun di perusahaan itu.
Mereka keluar dari kompleks bandara lalu berkendara menuju sebuah gedung di kawasan Slipi yang difungsikan sebagai mess bagi petinggi perusahaan yang berkunjung ke Jakarta. Di sana, Imran meminta Didin agar menjemput mereka keesokan harinya untuk diantar ke Bandung.
Nurani menyibak tirai yang membatasi ruang tamu dengan ruang tengah rumah dinas itu. kemunculannya yang tiba-tiba mengagetkan Imran dan membawanya kembali ke masa kini. “Tamunya sudah pulang, Yah?” tanyanya.
“Iya Ma, dari tadi.” Jawab Imran.
“Kok ayah bengong di situ?”
Imran mendekati istrinya, lalu mengajaknya memandangi foto Tenri.
“Mau ngapain, sih? Pakai narik-narik segala?”
“Perhatikan foto ini.” Kata Imran, tanpa menghiraukan pertanyaan istrinya. Sekarang Imran dan Nurani memandangi foto di ruang tamunya itu. Sebuah gambar lain tiba-tiba tersembul dari memori mereka, menyeruak mengambil alih kesadaran mereka. Mereka merasa pernah melihat foto yang hampir sama dengan foto di hadapan mereka sekarang, di suatu tempat, di suatu waktu di masa lampau. Tapi mereka lupa entah di mana. Mereka hanya saling pandang tak mengerti.

No comments:

Post a Comment