Imran berdiri mematung. Matanya menatap
tajam pada sebuah foto berpigura besar yang menempel di dinding ruang tamu
rumah dinasnya. Sejak kepergian tamunya sepuluh menit lalu, ia terus memandangi
foto itu, menatap postur, kulit, mata, hidung dan garis bibir seorang gadis
muda yang duduk anggun dengan dagu terangkat. Pandangannya lalu berpindah ke
sebuah foto keluarga yang juga berukuran besar. Di foto itu ada gambar dirinya,
istrinya dan Tenri, anak tunggalnya. Ia kembali memfokuskan pandangan pada
gambar sang anak.
Foto-foto itu dipindahkan dari rumah
pribadinya ketika ia mulai mendiami rumah dinas ini. Foto itu sendiri sudah dia
miliki sejak dua tahun lalu. Tapi baru kali ini ia luangkan waktu berlama-lama
memandanginya. Tidak ada yang salah dengan foto-foto itu, juga tidak dengan
gadis yang ada di foto itu. Rasa penasarannya untuk memandangi foto itu hanya
gara-gara celetukan tamunya barusan bahwa gadis di foto itu berwajah khas
Priangan.
Setelah mencapai usia remaja, wajah gadis
itu memang sama sekali tidak mirip dirinya atau istrinya. Dulu ketika
rekan-rekannya bercanda bahwa anak
itu bukan anaknya, ia tidak merasa resah. Toh biasa terjadi wajah seorang anak
berbeda jauh dari orang tuanya. Begitu tangkisnya waktu itu. Namun celetukan
tamunya yang menyebut anak itu sebagai berwajah priangan, mulai merasuki
pikirannya. Priangan? Kenapa bisa priangan? Padahal gadis itu adalah anak
kandung satu-satunya yang lahir dari rahim istrinya satu-satunya. Istrinya
melahirkan bayi itu lewat persalinan normal dan dia sendiri mendampingi
istrinya di sepanjang waktu kritis itu. Bagaimana mungkin bisa berwajah
Priangan? Ia kembali mengamati wajah gadis itu.
Ia teringat bahwa anak itu lahir setelah
upaya panjang tak kenal lelah yang dia lakukan bersama istrinya. Pikirannya
melayang ke masa sekitar dua puluh tahun lalu. Ketika usia pernikahannya sudah
memasuki tahun ketujuh, namun belum juga dikaruniai anak.
Imran berasal dari keluarga besar yang
rata-rata punya banyak anak. Ia sendiri adalah anak ketujuh dari delapan
bersaudara. Sementara istrinyapun demikian, anak pertama dari enam bersaudara.
Ya, keluarga besar dengan jumlah anak-anak yang fantastis.
Baik saudara-saudaranya maupun saudara
istrinya yang sudah lebih dahulu menikah paling tidak sudah menggendong
momongan. Bahkan adik bungsunya yang menikah empat tahun setelahnya, waktu itu
juga sudah punya seorang anak. Hati mereka terkadang merasa minder, ketika
seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah orang tuanya atau di rumah
mertuanya, tinggal pasangan Imran yang tidak mengikutsertakan seorang anakpun.
Tahun pertama pernikahan mereka, semua
masih berjalan normal. Bahkan bulan madu ke Singapura dan Bangkok, belanja
perabotan baru untuk rumah baru, serta kesibukan di tempat kerja membuat mereka
belum berpikir tentang anak. Tahun kedua menjadi target waktu minimal, dengan
toleransi yang masih sangat longgar untuk memiliki momongan. Tapi rencana sudah
mulai disusun. Jika sedang tidak mood, mereka pakai alat kontrasepsi. Tapi
kadang jika tiba-tiba mereka menggebu-gebu untuk segera punya anak, maka alat
kontrasepsi dijauhkan dari rumah itu. tapi sekali lagi, masih ada toleransi
yang sangat longgar.
Memasuki tahun ketiga, mereka mulai
memasang target. Pada ulang tahun ketiga pernikahan, mereka sudah harus punya
anak. Sekarang alat kontrasepsi benara-benar diharamkan. Setiap malam mereka
berupaya sungguh-sungguh, hingga berpeluh-peluh. Mewujudkan keinginan untuk
mencapai target menimang momongan pada ulang tahun ketiga pernikahan mereka.
Bulan januari, februari, maret, dan seterusnya berlalu, dan setiap bulan mereka
harus memendam kekecewaan ketika Nurani mendapati dirinya tetap menstruasi
secara teratur.
Tahun keempat, upaya mereka lebih
intensif. Diet penyubur kandungan dilakoni dengan tekun dan telaten. Petunjuk
dan saran orang-orang “pintar” diikuti dengan taat, termasuk mandi kembang
tujuh rupa. Tidak sedikit dukun dan kiai yang mengajari mereka mantera dan
do’a-do’a. Tidak jarang pula mereka berkendara ke pedalaman, sekedar untuk
menemui orang yang bisa membantu. Namun, seiring dengan semakin membesarnya
harapan mereka, janin di dalam rahim justru makin tak kunjung hadir.
Tahun kelima, mereka mulai gelisah.
Jangan-jangan ada sesuatu yang salah dengan diri mereka berdua. Lalu dokter
ahlipun menjadi sasaran kunjungan mereka berikutnya. Klinik kesuburan, Sin She,
dan tabib jadi alternatif yang menyelingi konsultasi mereka ke dokter ahli,
namun hingga akhir tahun keenam pernikahan mereka, upaya itu tidak berhasil sama
sekali. Istri Imran masih tetap menstruasi setiap bulan secara teratur. Sebuah
keteraturan yang menjengkelkan.
Di tahun ke tujuh, keadaan itu semakin
menyesakkan dada Imran dan Istrinya. Bukan saja karena upaya-upaya mereka yang
tidak membuahkan hasil. Tetapi juga karena dari kalangan keluarga, kolega dan
rekan-rekan bisnis, mulai terdengar keraguan mengenai ‘keaslian’ mereka sebagai
laki-laki dan perempuan. Itu menyakitkan. Aku
pria jantan, jerit Imran.
Beberapa orang kemudian mulai menyarankan
untuk mengadopsi anak, katanya sebagai pancingan. Konon, setelah mengadopsi
anak, banyak pasangan yang langsung dikaruniai anak kandung. Tapi ide itu tidak
terlalu mereka respon. Bagaimanapun anak adopsi bukan anak kandung. Dan mereka
tidak bisa membesarkan anak yang tidak jelas asal usulnya.
Di saat Pasangan imran dan Nurani sudah
mulai putus asa, seorang rekan bisnis Imran menyebutkan nama seorang dokter di
Bandung yang sudah berhasil menolong sejumlah pasangan suami istri melalui
program bayi tabung. Tapi katanya biayanya cukup tinggi. Imran tidak peduli
pada soal biaya. Selama ini mereka bisa membeli apa saja. Kecuali anak. Apalagi
kebahagiaan menimang anak kandung tak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan
memiliki harta benda dan kekayaan. Kebahagiaan itu tidak bisa dibandingkan,
katanya. Jangankan ke Bandung. Ke
luar negeri sekalipun akan mereka datangi, jika itu memang menjanjikan
keberhasilan.
Pesawat
Boeing 747-400 Garuda Indonesia Airways dari Makassar mendarat dengan mulus di
Bandara Soekarno Hatta Cengkareng. Ketika pesawat itu telah terparkir dengan
rapi, pintu-pintunya mulai terbuka. Beberapa mobil pengangkut barang segera
menyelinap ke bagian bawah lambung pesawat, siap menerima tumpahan barang
bawaan penumpang
Sekitar
setengah jam kemudian, Imran dan istrinya berjalan keluar dari terminal
kedatangan domestik dengan dua buah koper berukuran sedang. Mereka disambut
oleh seorang sopir perusahaan yang sudah menunggu sejak sejam lalu. Namanya
Didin. Usianya sekitar lima puluh tahun. Konon ia berasal dari kawasan
Banjarwangi, sebuah kecamatan di pedalaman Kabupaten Garut.
“Wilujeng
Sumping, bapak, Ibu.” Katanya dengan logat Sunda yang kental, “Apa kabar?”
tanyanya, seraya meraih barang Imran dan istrinya.
“Baik,
Din. Kamu sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah
Sae, bapak.” Jawabnya sambil
mengarahkan Imran dan istrinya berjalan menuju tempat parkir dan mendekati
mobilnya. Ia buka pintu bagasi mobil lalu menempatkan dua buah koper itu ke
dalam. Ia biarkan Imran dan istrinya masuk ke dalam mobil lalu berjalan ke pintu
kemudi.
Didin
tidak berani membukakan pintu untuk Imran, tidak seperti direksi atau komisaris
perusahaan lainnya yang dia layani di Jakarta, Imran benci diperlakukan seperti
itu. Ketika pertama kali ia menjemput Imran beberapa tahun lalu dan ia membukakan
pintu, Imran mendampratnya. Imran bahkan duduk di samping kursi pengemudi. Tip
Imran juga biasanya lebih besar daripada pejabat lainnya. Hal itu membuatnya jadi lebih hormat
kepada Imran di banding siapapun di perusahaan itu.
Mereka
keluar dari kompleks bandara lalu berkendara menuju sebuah gedung di kawasan
Slipi yang difungsikan sebagai mess bagi petinggi perusahaan yang berkunjung ke
Jakarta. Di sana, Imran meminta Didin agar menjemput mereka keesokan harinya
untuk diantar ke Bandung.
Nurani
menyibak tirai yang membatasi ruang tamu dengan ruang tengah rumah dinas itu.
kemunculannya yang tiba-tiba mengagetkan Imran dan membawanya kembali ke masa
kini. “Tamunya sudah pulang, Yah?” tanyanya.
“Iya
Ma, dari tadi.” Jawab Imran.
“Kok
ayah bengong di situ?”
Imran
mendekati istrinya, lalu mengajaknya memandangi foto Tenri.
“Mau
ngapain, sih? Pakai narik-narik segala?”
“Perhatikan foto ini.” Kata Imran, tanpa menghiraukan
pertanyaan istrinya. Sekarang Imran dan Nurani memandangi foto di ruang tamunya
itu. Sebuah gambar lain tiba-tiba tersembul dari memori mereka, menyeruak
mengambil alih kesadaran mereka. Mereka merasa pernah melihat foto yang hampir
sama dengan foto di hadapan mereka sekarang, di suatu tempat, di suatu waktu di
masa lampau. Tapi mereka lupa entah di mana. Mereka hanya saling pandang tak
mengerti.
No comments:
Post a Comment