Minggu malam ini perasaan Edo tidak
menentu. Sejak siang hingga saat ini ingatannya terus tertuju pada Tenri. Sejak
berpisah dengan gadis itu siang tadi, usai Tenri mengajaknya makan di sebuah restoran
sederhana yang menyajikan makanan khas sulawesi, berbagai pikiran terus
melintas di benak Edo.
Kejadiannya berawal pagi tadi, ketika
ia menerima pesan singkat dari Tenri.
“Edo, main yuk.” Begitu bunyi pesan
singkat dari Tenri. “Aku jemput jam 7.” Edo melirik jam dinding. Masih ada
waktu seperempat jam untuk bersiap. Tidak perlu mandi, ia hanya membasuh
tubuhnya dengan air, lalu memakai cologne. Sudah beberapa kali Tenri
mengajaknya main, dan tampaknya dia tidak bisa menerima penolakan. Edo hanya membalas
singkat, OK.
Kurang beberapa menit jam 7, sebuah
mobil sedan berwarna merah darah sudah berhenti di depan rumah kontrakan Edo.
Membunyikan klakson beberapa kali, membuat Edo berjalan tergesa, keluar
menenteng tas raketnya. Pintu bagasi mobil terbuka, dan ia menjejalkan tasnya
berdampingan dengan tas Tenri.
Edo lalu masuk ke dalam mobil dan
duduk di samping Tenri. Dilihatnya gadis itu memandang ke depan, seolah tidak
peduli dengan keberadaannya. Begitu pintu mobil ditutup, mobil itu menggerung,
melompat dengan ban berdecit saat bergesekan dengan aspal. Edo melongo. Untung
lalu lintas di jalanan tidak ramai pagi itu, sehingga Edo tidak terlalu
khawatir, meski Tenri melarikan kendaraanya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Edo maklum. Suasana hati Tenri sedang
tidak bagus. Ia menahan diri untuk bertanya macam-macam. Dia biarkan gadis itu
mengemudi menuju ke Kantor Bupati, dimana lapangan tennis berada.
Mereka tiba di lapangan tanpa
berbicara sepatah katapun. hal ini makin membuat Edo heran. Biasanya, di mobil,
Tenri akan berceloteh tentang apa saja. Mulai dari keluarganya, teman-temannya,
film kesukaannya, artis favoritnya, dan sebagainya. Kadang juga tentang Bisnu
sepupunya yang sekarang lebih sering marah-marah.
Kini, saat mereka bermainpun, tak ada
suara dari mulut Tenri. Hanya pukulan-pukulan Tenri yang dirasakan Edo menjadi
jauh lebih keras, seperti didorong oleh tenaga tambahan dari dalam diri gadis
itu. Itupun tampaknya bukan karena Tenri sedang bersemangat untuk bermain.
Karena tidak lama kemudian, usai bermain sekitar lima belas menit dengan
permainan yang berantakan, Tenri meninggalkan lapangan lalu berjalan menuju ke
tempat duduk di pinggir lapangan. Tangannya membekap wajah ketika ia sudah
duduk.
Edo ikut keluar lapangan dan mendekati
gadis itu. Ia duduk di samping Tenri dengan pandangan yang dipenuhi tanda
tanya.
“Tenri... ada apa?” Tanya Edo. Hampir
berbisik.
Tidak ada jawaban. Edo justru
mendengar gadis itu terisak.
Dengan mengerahkan segenap
keberaniannya, Edo mencoba meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya. Tenri
balas menggenggam tangan Edo. Edo duduk makin dekat. Di luar dugaannya, Tenri justru menyandarkan kepalanya di
bahu Edo. Edo jadi salah tingkah. Kenapa
tadi aku tidak mandi? Sesalnya dalam hati. Sekarang gadis itu benar-benar
menangis. Kedua tangan Edo sekarang merangkul tubuh Tenri. Mencoba memberikan
ketenangan.
Edo menunggu hingga Tenri lebih
tenang. Pelukan Edo mengendur dan Tenri melepaskan diri.
“Mau cerita nggak ada apa?” Tanya Edo
kemudian.
“Maaf, Do. Ini bukan urusan kamu.”
Katanya lembut. Tidak ada nada ketus dari suara itu. “Ini cuma karena aku lagi
sebel sama seseorang.”
“Tapi kok, aku yang jadi korban. Nih,
lihat. Bajuku basah karena air mata kamu.” Kata Edo seraya menunjuk bagian
bajunya yang basah oleh air mata Tenri
Tenri tertawa di sela isak tangisnya.
“Maaf, Do. Sekali lagi maaf, ya.”
“Mungkin kalau kamu cerita, kita bisa
cari solusinya.”
“Nggak. Aku nggak pa apa, kok.”
Katanya, wajahnya menyunggingkan sebuah senyum. Ia lalu meraih sebuah botol air
mineral lalu mencuci wajahnya dengan air. Usai mencuci muka, ia keringkan
wajahnya dengan handuk. Ternyata tanpa riasan sedikitpun wajah Tenri tetap
cantik. Pikir Edo, makin terpesona pada gadis itu.
Sesudah menumpahkan tangis, tampaknya
beban Tenri seperti terangkat seluruhnya.
“Kadang aku tidak bisa mengendalikan
perasaanku sendiri.” Katanya. “Mendingan kita main lagi, yuk!” katanya lagi
seraya menarik tangan Edo untuk kembali bermain. Edo hanya bisa mengurut dada
dan melayani permintaan Tenri. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman dengan
ketertutupan Tenri. Setelah semua yang terjadi di antara mereka selama ini, ia merasa
tidak seharusnya diabaikan seperti itu. Tapi apa dayanya? Tenri adalah anak
Boss. Melukai hatinya, bisa berarti melukai hati Bupati. Dan itu berarti bencana.
Tenri ceria seperti sedia kala.
Mereka berdua main hingga kelelahan. Lalu makan di sebuah Restoran yang
menyajikan makanan khas Sulawesi. Saat makan, Edo sama sekali tidak melihat ada
bekas-bekas kesedihan di wajah dan nada bicaranya. Edo hanya menyimpan ketidak
mengertiannya dan membiarkan semuanya berlalu tanpa penjelasan.
Tenri mengantar Edo kembali ke rumah
kontrakannya. Sebelum turun dari mobil, Tenri sempat mencium pipi Edo. Edo
ingat, ia hanya bengong memandangi mobil gadis itu menghilang dari pandangannya.
Tangannya sempat meraba pipinya yang tadi dicium. Edo senang, gadis itu juga
menyukainya. Walau hingga saat ini belum pernah sekalipun mereka bicara tentang
cinta.
Sebenarnya, yang membuat perasaan Edo
tidak menentu bukanlah ciuman Tenri, melainkan aroma yang terpancar dari tubuh
Tenri. Bau keringat yang membaur dengan parfum gadis itu tiba-tiba mengingatkan
Edo pada aroma tubuh seseorang. Aroma itu telah memicu sesuatu dari memorinya
di masa lalu untuk terbit kembali. Ia merasa aroma itu pernah begitu akrab
dengan hidungnya. Tapi lagi-lagi ia tidak tahu kapan dan di mana.
Yang pertama, adalah wajahnya. Di
mata Edo, wajah Tenri sungguh-sungguh tidak asing. Seperti pernah dilihatnya
jauh sebelum malam lepas sambut ketika pertama kali ia bertemu gadis itu.
Barangkali memang, seperti katanya, wajah seperti yang dimiliki Tenri banyak
beredar di Kota Bandung sehingga kepada Sangkala ia menyebutnya pasaran. Tapi
dalam kasusnya, ada seseorang yang pernah sangat dikenalnya memiliki wajah
seperti itu. ingatannya mengembara ke guru-guru dan teman-teman sekolahnya. Ke
teman-teman di klub tennisnya atau ke rekan-rekan penghuni dojo beladirinya.
Namun ia tidak menemukan seorangpun yang mirip dengan Tenri. Lalu dengan siapa
Tenri mirip?
Peristiwa pelukan spontan yang
terjadi siang tadi sekarang makin menambah rasa penasarannya. Selama
bertahun-tahun, otaknya menyimpan aroma tubuh seseorang disudutnya yang
terdalam. Tanpa diduganya, aroma tubuh Tenri menarik laci penyimpanan di
otaknya, dan membawa aroma itu kembali ke masa kini. Hanya yang membuat Edo
makin penasaran, siapa perempuan di masa lalunya yang beraroma seperti itu?
Ah, sudahlah. Suatu saat aku pasti
akan mengetahuinya. Katanya pada diri sendiri. Lebih baik aku menikmati
saat-saat indah ini, dengan mengenang ciumannya di pipiku. Ciuman di pipi? Naif
banget kamu jadi orang. Itu bukan tanda cinta, Doy. Ia bayangkan Sangkala
menertawainya. Ia buang jauh-jauh pikiran tentang cinta. Tapi semakin dia
berusaha, perasaan itu semakin gencar menyerbu hatinya. Aku jatuh cinta. Tenri
juga pasti jatuh cinta padaku.
Memang, tadi adalah saat pertama kali
ia memeluk gadis itu. Sudah beberapa kali mereka main bersama, jalan bersama,
makan bersama, tapi baru kali inilah Edo bisa menyentuhnya, bahkan memeluknya.
Bahkan mendapat kecupan di akhir pertemuan mereka tadi siang.
Apakah itu tanda cinta? Edo tidak
mengerti. Dari yang dia tahu selama ini, Tenri memang tidak pernah
mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Ia bercanda dengan Edo. Meminta Edo
melakukan ini itu untuknya dan sesekali menyebut Edo sebagai pemuda tampan yang
menawan.
No comments:
Post a Comment