Monday 16 January 2012

Chapter Nineteen


Minggu malam ini perasaan Edo tidak menentu. Sejak siang hingga saat ini ingatannya terus tertuju pada Tenri. Sejak berpisah dengan gadis itu siang tadi, usai Tenri mengajaknya makan di sebuah restoran sederhana yang menyajikan makanan khas sulawesi, berbagai pikiran terus melintas di benak Edo.

Kejadiannya berawal pagi tadi, ketika ia menerima pesan singkat dari Tenri.
“Edo, main yuk.” Begitu bunyi pesan singkat dari Tenri. “Aku jemput jam 7.” Edo melirik jam dinding. Masih ada waktu seperempat jam untuk bersiap. Tidak perlu mandi, ia hanya membasuh tubuhnya dengan air, lalu memakai cologne. Sudah beberapa kali Tenri mengajaknya main, dan tampaknya dia tidak bisa menerima penolakan. Edo hanya membalas singkat, OK.
Kurang beberapa menit jam 7, sebuah mobil sedan berwarna merah darah sudah berhenti di depan rumah kontrakan Edo. Membunyikan klakson beberapa kali, membuat Edo berjalan tergesa, keluar menenteng tas raketnya. Pintu bagasi mobil terbuka, dan ia menjejalkan tasnya berdampingan dengan tas Tenri.
Edo lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Tenri. Dilihatnya gadis itu memandang ke depan, seolah tidak peduli dengan keberadaannya. Begitu pintu mobil ditutup, mobil itu menggerung, melompat dengan ban berdecit saat bergesekan dengan aspal. Edo melongo. Untung lalu lintas di jalanan tidak ramai pagi itu, sehingga Edo tidak terlalu khawatir, meski Tenri melarikan kendaraanya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Edo maklum. Suasana hati Tenri sedang tidak bagus. Ia menahan diri untuk bertanya macam-macam. Dia biarkan gadis itu mengemudi menuju ke Kantor Bupati, dimana lapangan tennis berada.
Mereka tiba di lapangan tanpa berbicara sepatah katapun. hal ini makin membuat Edo heran. Biasanya, di mobil, Tenri akan berceloteh tentang apa saja. Mulai dari keluarganya, teman-temannya, film kesukaannya, artis favoritnya, dan sebagainya. Kadang juga tentang Bisnu sepupunya yang sekarang lebih sering marah-marah.
Kini, saat mereka bermainpun, tak ada suara dari mulut Tenri. Hanya pukulan-pukulan Tenri yang dirasakan Edo menjadi jauh lebih keras, seperti didorong oleh tenaga tambahan dari dalam diri gadis itu. Itupun tampaknya bukan karena Tenri sedang bersemangat untuk bermain. Karena tidak lama kemudian, usai bermain sekitar lima belas menit dengan permainan yang berantakan, Tenri meninggalkan lapangan lalu berjalan menuju ke tempat duduk di pinggir lapangan. Tangannya membekap wajah ketika ia sudah duduk.
Edo ikut keluar lapangan dan mendekati gadis itu. Ia duduk di samping Tenri dengan pandangan yang dipenuhi tanda tanya.
“Tenri... ada apa?” Tanya Edo. Hampir berbisik.
Tidak ada jawaban. Edo justru mendengar gadis itu terisak.
Dengan mengerahkan segenap keberaniannya, Edo mencoba meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya. Tenri balas menggenggam tangan Edo. Edo duduk makin dekat.  Di luar dugaannya, Tenri justru menyandarkan kepalanya di bahu Edo. Edo jadi salah tingkah. Kenapa tadi aku tidak mandi? Sesalnya dalam hati. Sekarang gadis itu benar-benar menangis. Kedua tangan Edo sekarang merangkul tubuh Tenri. Mencoba memberikan ketenangan.
Edo menunggu hingga Tenri lebih tenang. Pelukan Edo mengendur dan Tenri melepaskan diri.
“Mau cerita nggak ada apa?” Tanya Edo kemudian.
“Maaf, Do. Ini bukan urusan kamu.” Katanya lembut. Tidak ada nada ketus dari suara itu. “Ini cuma karena aku lagi sebel sama seseorang.”
“Tapi kok, aku yang jadi korban. Nih, lihat. Bajuku basah karena air mata kamu.” Kata Edo seraya menunjuk bagian bajunya yang basah oleh air mata Tenri
Tenri tertawa di sela isak tangisnya.
“Maaf, Do. Sekali lagi maaf, ya.”
“Mungkin kalau kamu cerita, kita bisa cari solusinya.”
“Nggak. Aku nggak pa apa, kok.” Katanya, wajahnya menyunggingkan sebuah senyum. Ia lalu meraih sebuah botol air mineral lalu mencuci wajahnya dengan air. Usai mencuci muka, ia keringkan wajahnya dengan handuk. Ternyata tanpa riasan sedikitpun wajah Tenri tetap cantik. Pikir Edo, makin terpesona pada gadis itu.
Sesudah menumpahkan tangis, tampaknya beban Tenri seperti terangkat seluruhnya.
“Kadang aku tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri.” Katanya. “Mendingan kita main lagi, yuk!” katanya lagi seraya menarik tangan Edo untuk kembali bermain. Edo hanya bisa mengurut dada dan melayani permintaan Tenri. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman dengan ketertutupan Tenri. Setelah semua yang terjadi di antara mereka selama ini, ia merasa tidak seharusnya diabaikan seperti itu. Tapi apa dayanya? Tenri adalah anak Boss. Melukai hatinya, bisa berarti melukai hati Bupati. Dan itu berarti bencana.
Tenri ceria seperti sedia kala. Mereka berdua main hingga kelelahan. Lalu makan di sebuah Restoran yang menyajikan makanan khas Sulawesi. Saat makan, Edo sama sekali tidak melihat ada bekas-bekas kesedihan di wajah dan nada bicaranya. Edo hanya menyimpan ketidak mengertiannya dan membiarkan semuanya berlalu tanpa penjelasan.
Tenri mengantar Edo kembali ke rumah kontrakannya. Sebelum turun dari mobil, Tenri sempat mencium pipi Edo. Edo ingat, ia hanya bengong memandangi mobil gadis itu menghilang dari pandangannya. Tangannya sempat meraba pipinya yang tadi dicium. Edo senang, gadis itu juga menyukainya. Walau hingga saat ini belum pernah sekalipun mereka bicara tentang cinta.
Sebenarnya, yang membuat perasaan Edo tidak menentu bukanlah ciuman Tenri, melainkan aroma yang terpancar dari tubuh Tenri. Bau keringat yang membaur dengan parfum gadis itu tiba-tiba mengingatkan Edo pada aroma tubuh seseorang. Aroma itu telah memicu sesuatu dari memorinya di masa lalu untuk terbit kembali. Ia merasa aroma itu pernah begitu akrab dengan hidungnya. Tapi lagi-lagi ia tidak tahu kapan dan di mana.
Yang pertama, adalah wajahnya. Di mata Edo, wajah Tenri sungguh-sungguh tidak asing. Seperti pernah dilihatnya jauh sebelum malam lepas sambut ketika pertama kali ia bertemu gadis itu. Barangkali memang, seperti katanya, wajah seperti yang dimiliki Tenri banyak beredar di Kota Bandung sehingga kepada Sangkala ia menyebutnya pasaran. Tapi dalam kasusnya, ada seseorang yang pernah sangat dikenalnya memiliki wajah seperti itu. ingatannya mengembara ke guru-guru dan teman-teman sekolahnya. Ke teman-teman di klub tennisnya atau ke rekan-rekan penghuni dojo beladirinya. Namun ia tidak menemukan seorangpun yang mirip dengan Tenri. Lalu dengan siapa Tenri mirip?
Peristiwa pelukan spontan yang terjadi siang tadi sekarang makin menambah rasa penasarannya. Selama bertahun-tahun, otaknya menyimpan aroma tubuh seseorang disudutnya yang terdalam. Tanpa diduganya, aroma tubuh Tenri menarik laci penyimpanan di otaknya, dan membawa aroma itu kembali ke masa kini. Hanya yang membuat Edo makin penasaran, siapa perempuan di masa lalunya yang beraroma seperti itu?
Ah, sudahlah. Suatu saat aku pasti akan mengetahuinya. Katanya pada diri sendiri. Lebih baik aku menikmati saat-saat indah ini, dengan mengenang ciumannya di pipiku. Ciuman di pipi? Naif banget kamu jadi orang. Itu bukan tanda cinta, Doy. Ia bayangkan Sangkala menertawainya. Ia buang jauh-jauh pikiran tentang cinta. Tapi semakin dia berusaha, perasaan itu semakin gencar menyerbu hatinya. Aku jatuh cinta. Tenri juga pasti jatuh cinta padaku.
Memang, tadi adalah saat pertama kali ia memeluk gadis itu. Sudah beberapa kali mereka main bersama, jalan bersama, makan bersama, tapi baru kali inilah Edo bisa menyentuhnya, bahkan memeluknya. Bahkan mendapat kecupan di akhir pertemuan mereka tadi siang.
Apakah itu tanda cinta? Edo tidak mengerti. Dari yang dia tahu selama ini, Tenri memang tidak pernah mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Ia bercanda dengan Edo. Meminta Edo melakukan ini itu untuknya dan sesekali menyebut Edo sebagai pemuda tampan yang menawan.

No comments:

Post a Comment