Tuesday 24 January 2012

Chapter Thirty One


“Bodoh, bodoh, bodoh! Ini tindakan paling bodoh yang pernah kamu lakukan, Burman!” Teriak Ibong. Tinjunya mengepal. Sorot matanya berapi-api menatap Burman.

“Maaf, Boss.” Burman terkulai layu di kursinya. Tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk menunggu kata-kata Ibong yang meluncur bagai air terjun.
“Maaf, maaf, maaf!  Katamu mereka profesional, efektif dan tidak akan ada yang meninggalkan jejak. Eh, malah ada yang menyerahkan dirinya bulat-bulat.
“Dia itu tidak menyerah, Boss. Seharusnya dia juga sudah tewas di tempat.”
“Memang, kalau dia cerdas, seharusnya dia bunuh diri kalau tidak mau ditangkap.”
“Tidak sempat, boss. Kata temannya, dia sudah mati. Makanya ditinggal begitu saja.”
“Mereka juga bilang Sufri sudah tewas, ternyata dokter dan perawat bedebah itu berhasil menyelamatkan nyawanya. Mereka tahu tidak tandanya orang yang sudah mati?” Cecar Ibong sambil mendengus, makin kesal, “dari mana kamu dapat orang-orang itu?”
Burman tidak menjawab.
“Burman, jawab pertanyaanku. Dari mana mereka itu?”
Burman memilih terus berdiam. Sia-sia baginya sekarang untuk bicara. Semua rencana mereka berantakan karena kesalahan  satu orang yang tidak bisa membedakan antara mayat dengan orang hidup. Mungkin karena terlalu tergesa-gesa sehingga ia tidak bisa memeriksa keadaan Sufri dengan teliti. Ketika dilihatnya Sufri sudah tidak bergerak dengan luka tusukan di ulu hatinya, maka disimpulkannya Sufri sudah tewas.
“Kalau sampai mereka bicara, kita habis, Burman. Kita semua habis.” Bentak Ibong, tepat di depan wajah Burman. Ludah Ibong bahkan sempat memercik di wajah Burman. Burman hanya bisa memejamkan mata.
“Dasar kampungan.” Tambah Ibong. Itupun ternyata belum bisa menuntaskan emosinya.
“Tidak,  Boss. Mereka tidak mungkin bicara.  Mereka pasti sudah ada di suatu tempat yang jauh.”
“Iya, yang lain. Tapi bagaimana dengan yang satu itu? Yang satu itu, yang harusnya bunuh diri, sekarang masih terbaring di rumah sakit. Tidak bisa dibesuk oleh siapapun. Dijaga dengan ketat oleh polisi siang dan malam. Dan jika dia bangun, kau pikir apa yang akan dia lakukan. Dia pasti akan bicara, Burman. Dia pasti akan bicara.”
Burman diam membisu. Kecemasan membayang dengan jelas di wajahnya. Seperti jelasnya kemarahan Ibong. Selama beberapa hari belakangan ini, mereka terus memantau peristiwa itu dari media. Sufri ternyata berhasil selamat dari usaha pembunuhan yang mereka rancang. Ia bisa diselamatkan, walau mungkin tidak bisa bekerja dalam waktu yang cukup lama. Tapi apa bedanya? Dia tetap saja masih hidup dan bisa mengendalikan jalannya pemerintahan dari tempat tidur.
Saat menerima konfirmasi terbunuhnya Sufri pada hari kejadian dari Burman, Ibong sudah melapor kepada ‘Boss’nya bahwa pekerjaan mereka  sudah selesai. Sang Boss senang dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Tapi sekita empat atau lima jam kemudian, si Boss menelponnya kembali dan mengatakan bahwa Sufri selamat. Dan itu berarti anak buahmu gagal total.
Ibong, Burman, Arhim dan Junaid langsung berkumpul untuk membicarakan rencana yang akan mereka tempuh akibat kegagalan itu. Beberapa skenario, seperti menyusup ke rumah sakit dan menyamar jadi dokter atau perawat sempat dibahas. Namun berita baru tentang tertangkapnya salah seorang terduga pelaku membuat situasi mereka menjadi jauh lebih sulit. Orang itu mungkin belum bisa bicara, tapi suatu saat nanti, saat dia sudah mulai sehat, dia pasti akan bicara. Apalagi jika sudah menjalani pemeriksaan.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan, Boss?” tanya Burman, ragu-ragu.
Ibong diam. Pikirannya menerawang jauh entah ke mana. Apa yang akan dia lakukan? Kabur, pergi meninggalkan istri dan anak-anaknya? Oh tidak mungkin. Istri dan anak-anaknya tidak akan bisa hidup dengan tenang di daerah ini lagi. Mereka akan menerima hukuman sosial. Hukuman yang jauh lebih berat dari vonis pengadilan manapun. Bisa saja massa pendukung Sufri mendatangi mereka lalu merajamnya beramai-ramai. Ibong bergidik membayangkan kemungkinan itu.
Membawa mereka pergi? Itu juga sebuah alternatif yang kurang menguntungkan. Mereka akan pergi ke mana? Dengan keadaan keuangan mereka sekarang, sulit bagi mereka memulai hidup baru. apalagi di sebuah tempat yang jauh yang mungkin tidak mereka kenal. Lagipula, bagaimana Ibong akan membicarakan hal itu kepada istri dan anak-anaknya? Bagaimana ia akan bicara dengan saudara-saudara dan mertuanya? Bagaimana ia bicara dengan handai tolan mereka? Perlahan-lahan ia lepas kaca mata tebalnya, lalu menggosok-gosok kedua matanya, mulai dari kening hingga ke pangkal hidungnya. Ini kiamat. Pikirnya. Ia menoleh, mencari Burman, tapi pria itu sudah tidak ada di tempat duduknya tadi.
Di luar sana, spekulasi, perkiraan dan tebakan, perlahan tapi pasti semakin tumbuh dan berkembang seiring dengan belum terungkapnya kasus itu. Semua orang menduga-duga. Kadang-kadang hanya dengan berbekal hasil diskusi di warung kopi, orang-orang sudah berani menyimpulkan sendiri apa yang telah terjadi, walau tanpa dasar pengetahuan yang memadai. Pokoknya asal bicara. Kalau bicara tentang kasus itu terlihat keren dan berwawasan luas.
Larilah Ibong. Mumpung masih ada waktu. Bisik hatinya. Tapi, ke mana? Yang lebih meresahkan Ibong, si Boss terus menerus mendesaknya untuk melakukan sesuatu agar perbuatan itu tidak dapat diusut hingga mencapai mereka. Ini ancaman serius bagi kedudukan sosial, harkat dan martabat kita. Kata si Boss. “Kita bukan saja akan jatuh miskin. Istri dan anak-anak kita juga akan menanggung akibatnya.” Katanya lagi pada Ibong pada suatu waktu.  “Tahu kamu dengan ancaman hukuman atas pembunuhan berencana? Lima belas tahun penjara. Kalau kau tidak sanggup menerima itu, lakukan sesuatu, Ibong. Lakukan sesuatu.”
“Iya, Boss. Saya akan berusaha.” Jawab Ibong, tapi tak yakin dengan apa yang dikatakannya sendiri. Ia sudah memutar otak, mencari sesuatu jalan yang bisa ia lakukan untuk menuntaskan tugasnya, sekaligus menyelamatkan kelompok mereka, tapi ia sama sekali buntu. Tidak ada jalan. Semua sudah dijaga dengan sangat ketat oleh polisi. Sang target, Sufri ditunggui polisi berpakaian preman. Tidak bisa dibezuk sebelum diperiksa dengan metal detector dan penggeledahan badan. Demikian pula dengan pelaku yang tertangkap itu, justru diisolasi di sebuah ruangan di Rumah sakit polisi. Tidak bisa dikunjungi dan ditemui oleh siapapun.
Semua jalan buntu. Dan ia tidak bisa lagi memikirkan cara apapun untuk menyelesaikan persoalan ini. Berpikir untuk bunuh diri? ya itu mungkin alternatif dengan tingkat resiko paling rendah. Ia mati, orang-orang bersimpati pada keluarganya dan mungkin mereka akan diselamatkan oleh pemerintah daerah. Tapi pikiran itu ia buang jauh-jauh. mereka harus berusaha. Apapun caranya. Atau paling tidak menunggu hingga tertangkap dan menyalahkan si boss yang hanya tahu menyuruh.

No comments:

Post a Comment