“Bodoh, bodoh, bodoh! Ini tindakan paling
bodoh yang pernah kamu lakukan, Burman!” Teriak Ibong. Tinjunya mengepal. Sorot
matanya berapi-api menatap Burman.
“Maaf, Boss.” Burman terkulai layu di
kursinya. Tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk menunggu kata-kata Ibong yang
meluncur bagai air terjun.
“Maaf, maaf, maaf! Katamu mereka profesional, efektif dan
tidak akan ada yang meninggalkan jejak. Eh, malah ada yang menyerahkan dirinya
bulat-bulat.
“Dia itu tidak menyerah, Boss. Seharusnya
dia juga sudah tewas di tempat.”
“Memang, kalau dia cerdas, seharusnya dia
bunuh diri kalau tidak mau ditangkap.”
“Tidak sempat, boss. Kata temannya, dia
sudah mati. Makanya ditinggal begitu saja.”
“Mereka juga bilang Sufri sudah tewas,
ternyata dokter dan perawat bedebah itu berhasil menyelamatkan nyawanya. Mereka
tahu tidak tandanya orang yang sudah mati?” Cecar Ibong sambil mendengus, makin
kesal, “dari mana kamu dapat orang-orang itu?”
Burman tidak menjawab.
“Burman, jawab pertanyaanku. Dari mana
mereka itu?”
Burman memilih terus berdiam. Sia-sia
baginya sekarang untuk bicara. Semua rencana mereka berantakan karena
kesalahan satu orang yang tidak
bisa membedakan antara mayat dengan orang hidup. Mungkin karena terlalu tergesa-gesa
sehingga ia tidak bisa memeriksa keadaan Sufri dengan teliti. Ketika dilihatnya
Sufri sudah tidak bergerak dengan luka tusukan di ulu hatinya, maka
disimpulkannya Sufri sudah tewas.
“Kalau sampai mereka bicara, kita habis,
Burman. Kita semua habis.” Bentak Ibong, tepat di depan wajah Burman. Ludah
Ibong bahkan sempat memercik di wajah Burman. Burman hanya bisa memejamkan
mata.
“Dasar kampungan.” Tambah Ibong. Itupun
ternyata belum bisa menuntaskan emosinya.
“Tidak, Boss. Mereka tidak mungkin bicara. Mereka pasti sudah ada di suatu tempat
yang jauh.”
“Iya, yang lain. Tapi bagaimana dengan
yang satu itu? Yang satu itu, yang harusnya bunuh diri, sekarang masih
terbaring di rumah sakit. Tidak bisa dibesuk oleh siapapun. Dijaga dengan ketat
oleh polisi siang dan malam. Dan jika dia bangun, kau pikir apa yang akan dia
lakukan. Dia pasti akan bicara, Burman. Dia pasti akan bicara.”
Burman diam membisu. Kecemasan membayang
dengan jelas di wajahnya. Seperti jelasnya kemarahan Ibong. Selama beberapa
hari belakangan ini, mereka terus memantau peristiwa itu dari media. Sufri
ternyata berhasil selamat dari usaha pembunuhan yang mereka rancang. Ia bisa
diselamatkan, walau mungkin tidak bisa bekerja dalam waktu yang cukup lama. Tapi
apa bedanya? Dia tetap saja masih hidup dan bisa mengendalikan jalannya pemerintahan
dari tempat tidur.
Saat menerima konfirmasi terbunuhnya
Sufri pada hari kejadian dari Burman, Ibong sudah melapor kepada ‘Boss’nya
bahwa pekerjaan mereka sudah
selesai. Sang Boss senang dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Tapi sekita
empat atau lima jam kemudian, si Boss menelponnya kembali dan mengatakan bahwa
Sufri selamat. Dan itu berarti anak buahmu
gagal total.
Ibong, Burman, Arhim dan Junaid langsung
berkumpul untuk membicarakan rencana yang akan mereka tempuh akibat kegagalan
itu. Beberapa skenario, seperti menyusup ke rumah sakit dan menyamar jadi
dokter atau perawat sempat dibahas. Namun berita baru tentang tertangkapnya salah
seorang terduga pelaku membuat situasi mereka menjadi jauh lebih sulit. Orang
itu mungkin belum bisa bicara, tapi suatu saat nanti, saat dia sudah mulai
sehat, dia pasti akan bicara. Apalagi jika sudah menjalani pemeriksaan.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan, Boss?”
tanya Burman, ragu-ragu.
Ibong diam. Pikirannya menerawang jauh
entah ke mana. Apa yang akan dia lakukan? Kabur, pergi meninggalkan istri dan
anak-anaknya? Oh tidak mungkin. Istri dan anak-anaknya tidak akan bisa hidup
dengan tenang di daerah ini lagi. Mereka akan menerima hukuman sosial. Hukuman
yang jauh lebih berat dari vonis pengadilan manapun. Bisa saja massa pendukung
Sufri mendatangi mereka lalu merajamnya beramai-ramai. Ibong bergidik
membayangkan kemungkinan itu.
Membawa mereka pergi? Itu juga sebuah
alternatif yang kurang menguntungkan. Mereka akan pergi ke mana? Dengan keadaan
keuangan mereka sekarang, sulit bagi mereka memulai hidup baru. apalagi di
sebuah tempat yang jauh yang mungkin tidak mereka kenal. Lagipula, bagaimana
Ibong akan membicarakan hal itu kepada istri dan anak-anaknya? Bagaimana ia
akan bicara dengan saudara-saudara dan mertuanya? Bagaimana ia bicara dengan
handai tolan mereka? Perlahan-lahan ia lepas kaca mata tebalnya, lalu menggosok-gosok
kedua matanya, mulai dari kening hingga ke pangkal hidungnya. Ini kiamat.
Pikirnya. Ia menoleh, mencari Burman, tapi pria itu sudah tidak ada di tempat
duduknya tadi.
Di luar sana, spekulasi, perkiraan dan tebakan,
perlahan tapi pasti semakin tumbuh dan berkembang seiring dengan belum
terungkapnya kasus itu. Semua orang menduga-duga. Kadang-kadang hanya dengan
berbekal hasil diskusi di warung kopi, orang-orang sudah berani menyimpulkan
sendiri apa yang telah terjadi, walau tanpa dasar pengetahuan yang memadai.
Pokoknya asal bicara. Kalau bicara tentang kasus itu terlihat keren dan
berwawasan luas.
Larilah Ibong.
Mumpung masih ada waktu.
Bisik hatinya. Tapi, ke mana? Yang
lebih meresahkan Ibong, si Boss terus menerus mendesaknya untuk melakukan
sesuatu agar perbuatan itu tidak dapat diusut hingga mencapai mereka. Ini
ancaman serius bagi kedudukan sosial, harkat dan martabat kita. Kata si Boss. “Kita
bukan saja akan jatuh miskin. Istri dan anak-anak kita juga akan menanggung
akibatnya.” Katanya lagi pada Ibong pada suatu waktu. “Tahu kamu dengan ancaman hukuman atas
pembunuhan berencana? Lima belas tahun penjara. Kalau kau tidak sanggup menerima
itu, lakukan sesuatu, Ibong. Lakukan sesuatu.”
“Iya, Boss. Saya akan berusaha.” Jawab
Ibong, tapi tak yakin dengan apa yang dikatakannya sendiri. Ia sudah memutar
otak, mencari sesuatu jalan yang bisa ia lakukan untuk menuntaskan tugasnya,
sekaligus menyelamatkan kelompok mereka, tapi ia sama sekali buntu. Tidak ada
jalan. Semua sudah dijaga dengan sangat ketat oleh polisi. Sang target, Sufri
ditunggui polisi berpakaian preman. Tidak bisa dibezuk sebelum diperiksa dengan
metal detector dan penggeledahan badan. Demikian pula dengan pelaku yang
tertangkap itu, justru diisolasi di sebuah ruangan di Rumah sakit polisi. Tidak
bisa dikunjungi dan ditemui oleh siapapun.
Semua jalan buntu. Dan ia tidak bisa lagi
memikirkan cara apapun untuk menyelesaikan persoalan ini. Berpikir untuk bunuh
diri? ya itu mungkin alternatif dengan tingkat resiko paling rendah. Ia mati,
orang-orang bersimpati pada keluarganya dan mungkin mereka akan diselamatkan
oleh pemerintah daerah. Tapi pikiran itu ia buang jauh-jauh. mereka harus
berusaha. Apapun caranya. Atau paling tidak menunggu hingga tertangkap dan
menyalahkan si boss yang hanya tahu menyuruh.
No comments:
Post a Comment