Rumah
type 54 yang sudah direnovasi itu berada di sebuah kompleks perumahan
sederhana. Terletak tidak jauh dari kantor Bupati, hanya sekitar 1 km. Desain
aslinya hanya terdiri atas dua kamar tidur. Ruang tamu dan ruang keluarga
dipisahkan dengan sekat maya berupa perbedaan luas yang cukup kentara. Sesudah
direnovasi, rumah berkembang menjadi 4 kamar tidur. dua kamar tidur tambahan
ditempatkan di bagian belakang dan didesain sebagai kamar anak-anak. Dipisahkan
dari dapur dengan sebuah taman kecil berukuran 1 kali 2 meter.
Oleh
pemilik rumah, semua perabot bisa digunakan oleh Edo. Kecuali yang ada di kamar
tidur utama dan kamar tidur anak-anak. Kamar yang ditempati Edo sebetulnya
adalah Ruang praktek. Luasnya sekitar 17 meter persegi, termasuk kamar mandi. Selain
akses ke ruang tamu dan ke ruang keluarga, kamar itu juga punya pintu langsung
yang mengarah ke halaman depan dengan sebuah teras yang bersambung dengan teras
ruang tamu. Ketika dokter itu masih tinggal di rumah itu, teras itu berfungsi
sebagai ruang tunggu pasien.
Pada
prinsipnya, Edo hanya menyewa satu kamar itu, tapi dengan akses yang leluasa ke
bagian lain rumah, Edo merasa tempatnya sangat lapang. Apalagi karena pemilik
rumah tidak berada di rumah itu. ada beberapa barang pribadinya yang
ditempatkan di ruang keluarga.
Seorang
pembantu rumah tangga secara teratur datang membersihkan rumah itu beserta
perabot-perabotnya. Demikian pula seorang tukang kebun yang sekali seminggu
bertugas merawat tanaman hias yang ada di pekarangan.
Edo
memilih membiarkan bagian rumah yang lain tidak terpakai olehnya. Biar tidak
saling mengganggu, katanya. Lagi pula, jika sewaktu-waktu pemilik rumah pulang,
Edo tidak perlu merasa khawatir mengurangi kenyamanan mereka. Sementara ini,
kebutuhan Edo sudah terpenuhi di dalam satu kamar ini.
Malam
semakin larut. Sudah lebih tiga jam Edo memelototi komputernya. Tadi pagi, di
kantor, 5 orang wartawan foto telah memberinya cakram berisi ratusan foto-foto kegiatan
prosesi pelantikan Bupati dan Malam Lepas Sambut yang berlangsung beberapa hari
lalu. semua foto yang menampilkan wajah Tenri dicopy Edo ke hard drive komputernya tanpa kecuali.
Sisanya dia abaikan. Berikan saja nanti kepada petugas Humas. Selanjutnya foto
itu dicrop satu demi satu, sehingga tinggal menyisakan wajah dan sosok tenri
seorang diri.
Setelah
tiga jam berkutat dengan software pengolah gambar, seluruh foto Tenri yang telah
dicrop itu dikumpulkan dan disimpan di dalam sebuah folder khusus yang
diberinya nama: TENRI. Sekali lagi, diamatinya foto itu satu demi satu, di close up, diputar, di flip dan
sebagainya. Sampai seluruh sudut wajah Tenri terekam dengan sempurna di dalam
benaknya.
Gadis
itu memang cantik. Jika ia bilang pada Sangkala wajah gadis itu tergolong
pasaran, itu juga ada benarnya. Tapi entah mengapa ia benar-benar merasa sangat
tertarik. Bukan pada kecantikannya, tapi pada sesuatu yang Edo sendiri tidak
mengerti. Makin lama dia pandangi, makin terasa ada sesuatu yang tersembunyi di
balik wajah lembut itu yang membuat Edo tidak bisa mengacuhkannya. Dan, entah
ini nyata atau tidak, wajah itu terasa sangat tidak asing.
Ini
bukan kali pertama Edo jatuh cinta pada seorang gadis. Ketika masih kelas tiga SMP,
ia jatuh cinta pada seorang siswi kelas 1 SMA yang usianya satu tahun lebih tua.
Beruntung, gadis itu membalas cintanya, walau belakangan ia tahu bahwa ternyata
ia tidak mendapat balasan yang setimpal, karena gadis itu lebih menganggap
cinta hanya sebagai permainan. Kelas III SMA, ia kembali jatuh cinta pada
seorang mahasiswi yang belakangan ia tahu lebih menganggapnya sebagai adik dari
pada kekasih.
Barulah
ketika Edo berstatus mahasiswa, ia bisa menjalin hubungan yang benar-benar bisa
disebutnya serius dengan seorang teman kuliahnya, yang ternyata, walaupun satu
tingkat, tetapi usianya masih tetap lebih tua. Edo yang ganteng, digandrungi
banyak gadis, ternyata lebih sering jatuh cinta pada wanita yang lebih tua.
Banyak sudah gadis yang terpaksa gigit jari karena tidak mendapatkan respon
dari Edo, hanya karena Edo merasa mereka tidak cukup memahami dirinya. Oedipus
complex? Entahlah. Barangkali karena sejak kecil ia tidak punya figur ibu yang
mendampinginya tumbuh dewasa. Rasa haus akan kasih sayang seorang ibu selalu menjadi
pendorong utama atas hubungan dan interaksi sosial yang dilakukannya bersama
orang lain, terutama terhadap perempuan.
Sekarang,
untuk pertama kalinya Edo jatuh cinta pada gadis yang lebih muda darinya. Edo
mencoba mencari alasan pembenaran dari perasaan aneh itu dengan mengatakan
bahwa pasti karena Tenri memang orang yang pantas untuk digandrungi, pantas
untuk dicintai. Bagi orang seperti Tenri, tidak dibutuhkan alasan yang logis
untuk mencintainya.
Lebih
seratusan foto hasil cropping itu bergerak di layar secara otomatis dalam
tampilan slide show. Edo terus memandanginya sambil berbaring di tempat tidur. ia
teringat perkataan Sangkala. Konon, kalau ada kemiripan antara wajah seorang pria
dengan wajah seorang wanita, maka orang itu pasti berjodoh. Edo hanya tertawa
menanggapi Sangkala waktu itu. Belum ada bukti ilmiah yang mendukung teori itu,
sanggahnya. Tapi benarkah wajahnya mirip Tenri?
Ia
amati foto-foto yang tampil dalam durasi tertentu sebelum berganti dengan
gambar selanjutnya. Berbagai pose, berbagai sudut pengambilan, berbagai
pencahayaan, berbagai latar belakang. Terus menerus. Lalu perlahan-lahan dia mulai
mengakui bahwa memang ada kemiripan. Walau mungkin agak dipaksakan, pikirnya.
Jodoh?
Edo tidak berani berpikir lebih jauh. Sudah bisa berkenalan dan bersahabat
dengan gadis itu merupakan anugerah tersendiri. Lagi pula, ia kembali teringat
pesan ayahnya, jika menikah di sini, maka ia tidak akan kembali berkumpul
dengan ayahnya di Bandung. Ia akan punya keluarga dan punya anak di sini, yang
tentu jika suatu saat dia ajak boyongan ke kampung halamannya, akan menolak
dengan berbagai alasan.
You’re
the only one I ever had. Ayahnya selalu bilang begitu. Ketika Edo masih
kecil, ia sering bertanya tentang ibunya. Jawaban ayahnya, ibu selalu ada di hati kita, nak. Awalnya ia tidak paham kata-kata
itu. Sampai ia berusia remaja, barulah ia paham bahwa Ibunya meninggal ketika
ia masih berusia empat tahun dan ayahnya, demi cintanya kepada sang istri, tak
pernah berniat menggantikannya dengan perempuan manapun.
Wajah
ibunya samar-samar membayang di benaknya. Melintas sebagai gambar-gambar yang
buram yang silih berganti dengan cepat, berkelebat seperti masa kebersamaan
mereka yang singkat. Usia empat tahun tidak cukup memberi gambar yang utuh
baginya tentang wajah ibunya. Untung ada foto-foto tua yang sering ditunjukkan
oleh ayahnya dulu sehingga sedikit demi sedikit, wajah ibunya terbentuk menjadi
mozaik. Itulah yang selama ini terekam dalam memori Edo. Wajah seorang Ibu,
yang tidak pernah dikenalnya.
Dua
puluh tahun berikutnya, ia lalui bersama ayah yang tak pernah alpa hadir di
sisinya. Membimbing dan membesarkannya dengan kasih sayang seorang ibu
sekaligus perhatian dan perlindungan seorang ayah.
Edo merasakan
matanya begitu berat. Dia padamkan lampu kamarnya, lalu mengambil posisi yang
nyaman di tempat tidur. Ia biarkan komputernya bekerja, menampilkan wajah Tenri
untuk menemani tidurnya hingga pagi menjelang.
No comments:
Post a Comment