Nomor ponsel Ajudan Bupati berkedip ketika
sebuah panggilan masuk di ponsel Edo. Jantung Edo berdegup, tugas baru pasti
sedang disiapkan Bupati Untuknya. Edo menjawab telpon sang ajudan. Katanya,
Imran memanggil Edo ke rumah dinas untuk menyiapkan konsep pidatonya dalam
rangka kunjungan Gebernur besok sore. Edo melirik jam dinding. Sudah jam
sepuluh malam? Berarti pekerjaan ini akan berakhir paling tidak lewat tengah
malam. Apalagi kalau sedang diburu oleh deadline seperti ini dan si boss berada
di sekitarnya. Edo melenguh jengkel. Tapi segera ia menghibur diri bahwa siapa
tahu ia bisa bertemu Tenri di sana.
Sepeda motornya diparkir di dekat pos
penjagaan. Sejak pelaksanaan Malam lepas Sambut, baru kali ini Edo memasuki
kompleks rumah dinas itu. Ada beberapa perubahan mencolok yang tampak berbeda
ketika ia berada di situ sebelumnya. Kali ini Edo melihat lebih banyak tanaman
hias. Lebih teduh dan sejuk, serta lebih bersih.
Ajudan menyambutnya di pintu ruang
tamu yang langsung membawanya ke salah satu set sofa mewah. Ternyata suasana di
dalam ruang tamu juga sudah berubah jauh. Seperti halnya di pekarangan, di
dalam ruang tamu itu juga dihiasi dengan berbagai tanaman yang menyejukkan
pandangan. Edo hampir memastikan, bahwa bossnya ini adalah orang yang sangat
menyukai keindahan.
Edo duduk di sofa. Menunggu Ajudan
memberitahukan Imran bahwa ia sudah datang. Imran keluar menuju ke tempat Edo
duduk. Ia hanya mengenakan kaos oblong dengan celana jeans. Dengan penampilan
seperti itu, tidak ada sama sekali kesan formal yang terpancar dari sosoknya.
Imran berbasa-basi soal gangguan
tengah malam, yang dijawab Edo bahwa hal itu sudah biasa baginya. Mereka lalu
berdiskusi tentang beberapa hal yang harus dilaporkan Imran kepada gubernur.
Imran memberi petunjuk, sesekali Edo memberi saran yang kemudian dituangkannya
kedalam naskah di komputernya.
Ternyata pekerjaan itu tidak selama
yang dibayangkan Edo. Imran tidak mendesak naskah itu harus selesai malam ini.
Masih ada cukup waktu besok pagi, katanya. Edo bermaksud mohon diri, tapi Imran
menahannya untuk santap malam. Meski merasa sungkan, Edo tidak bisa menolak.
Bertiga dengan ajudan mereka menyantap hidangan di ruang makan.
Suasana cair yang dibangun Imran
membuat Edo merasa santai, walau malam sudah semakin larut. Sambil makan Imran
bercerita tentang diri dan keluarganya. Edo sudah pernah mendengarnya. Terutama
waktu malam lepas sambut. Kadang-kadang pejabat biasa terlupa kalau ia sudah
mengulang-ulang sebuah cerita. Tapi Edo berusaha menjadi pendengar yang baik.
Saat Imran mulai bercerita tentang anak tunggalnya, Edo menyela, “saya juga
anak tunggal pak.” Ia ingin menelan kembali ucapannya dan merasa sangat
menyesal mengatakan hal itu tanpa ditanya.
“O ya?” Imran menanggapi, tapi sesaat
kemudian, ia kembali larut ke dalam kisah hidupnya.
Imran lalu bercerita tentang
kelahiran Tenri yang menurutnya merupakan peristiwa paling membahagiakan dalam
hidupnya. Perjuangannya yang tak kenal lelah untuk memperoleh keturunan
ternyata tidak sia-sia. Imran menangis bahagia ketika dokter yang membantunya
lewat program bayi tabung mengatakan istrinya positif hamil. Edo ingat ayahnya.
Jangan-jangan Pak Bupati ini adalah
pasien ayah dulu. Sepanjang yang Edo ingat, pada tahun sembilan puluhan,
ayahnya adalah satu-satunya dokter di negeri ini yang bisa melakukan
fertilisasi di dalam tabung. Edo ingin menyela, barangkali ayahnya adalah
dokter yang Imran maksud, tapi segera diurungkannya niat itu. Sekali lagi kau
menyela pembicaraan boss,
Imran tinggal di Bandung bersama
istrinya selama tiga bulan. Mengikuti seluruh prosedur yang dipersyaratkan oleh
program itu. Kali ini usaha mereka tidak sia-sia. Istri Imran positif hamil.
Seluruh rutinitas dan aktifitas Imran berubah sejak kehamilan istrinya.
Perhatian penuh ditumpahkan kepada sang istri dan sang janin. Ia hampir tak
mengizinkan istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga dalam bentuk apapun.
Serahkan saja pada pembantu, katanya. Jaga dirimu dan anak kita baik-baik.
Walau sangat mengharapkan kehadiran
bayi laki-laki, namun kelahiran seorang bayi perempuan sembilan bulan kemudian
tidak sediktitpun mengurangi kebahagiaan keluarga besar Imran dan Istrinya.
Itulah sebabnya, ketika lahir bayi perempuan itu diberi nama Tenrisanna, yang berarti anugerah yang
tak terduga.
Sensasional, itulah perasaan Imran
ketika menjadi seorang ayah. Saat menyentuh kulit bayinya yang lembut bagai
sutra, saat merasakan detak jantungnya yang lembut, saat merasakan hembusan
nafasnya yang hangat, juga saat merasakan cengkeraman tangan mungilnya di
ujung-ujung jemarinya, Imran merasa hidup ini menjadi begitu berarti. Saat
melihat bibir mungil itu bergerak menguap, saat melihat sepasang mata yang
kecil itu berkedip, saat melihat tubuh kecil itu menggeliat, Imran merasa masa
depan cerah membentang di hadapannya.
Sejak kelahiran putrinya, cara
pandang Imran terhadap kehidupan ini berubah total. Ia merasa, sudah ada
seseorang yang kelak menuai segala jerih payah dan pengorbanannya. Ia merasa,
bahwa saat itu ia hidup untuk seseorang. Bekerja untuk seseorang. Dan orang itu
adalah Tenrisanna, anak amat didamba dan dirindukannya, bahkan jauh sebelum dia
lahir ke dunia ini.
Pada saat itu, Imran juga tiba pada
sebuah kesadaran lain. Bayi seberat 2,8 kg dan panjang 48 cm itu begitu kecil,
ringkih dan tak berdaya, pastilah tak berbeda jauh dengan keadaan dirinya sendiri ketika ia dilahirkan. Dan fakta
bahwa ia telah hidup hingga kini untuk menimang anaknya sendiri, tak lain dan
tak bukan karena perjuangan orang tuanya. Serta merta kesadaran itu membawanya
pada sebuah penghormatan yang sempurna terhadap kedua orang tua yang telah
melahirkan dan membesarkannya. Sebesar itukah arti seorang ibu bagi diriku?
Karena selain tangis, apa lagi yang bisa dilakukan makhluk kecil itu kepada
orang lain di sekitarnya? Edo termenung mendengar penuturan bernada filosofis
itu. Ia sendiri merasa tidak seberuntung Tenri, karena ibunya telah wafat
sebelum ia mengerti apa yang terjadi.
Butuh perjuangan ekstra untuk membuat
bayi itu bertahan hidup. Imran melanjutkan. Walau dijaga begitu hati-hati,
ada-ada saja penyakit yang menyerangnya. Dan jika mengalami sakit, seluruh
keluarga besar Imran merasakan suasana yang mencekam. Untunglah Tuhan masih
memberikan kesempatan kepada mereka, menyaksikan putri kecil itu akhirnya
tumbuh dewasa dan menjadi gadis yang sangat cantik.
Edo pulang dengan perasaan kecewa,
karena sekalipun Tenri tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Tapi ia tetap
merasa beruntung, sekarang Ia merasa telah menjadi seseorang yang dekat dengan
Bupati. Sesuatu yang menjadi idaman setiap pegawai. Dekat dengan api. Dekat
dengan pusat kekuasaan. Saat berjalan ke luar rumah dinas itu, matanya sempat tertangkap
oleh sebuah pigura besar yang menampilkan wajah Tenri. Tapi ia tidak berani
memandangnya lama-lama, karena Imran ada di dekatnya. Yang mengherankan Edo,
foto itu sepertinya sudah pernah ia lihat sebelumnya. Tapi ia tidak yakin.
No comments:
Post a Comment