Monday 16 January 2012

Chapter Eighteen


Nomor ponsel Ajudan Bupati berkedip ketika sebuah panggilan masuk di ponsel Edo. Jantung Edo berdegup, tugas baru pasti sedang disiapkan Bupati Untuknya. Edo menjawab telpon sang ajudan. Katanya, Imran memanggil Edo ke rumah dinas untuk menyiapkan konsep pidatonya dalam rangka kunjungan Gebernur besok sore. Edo melirik jam dinding. Sudah jam sepuluh malam? Berarti pekerjaan ini akan berakhir paling tidak lewat tengah malam. Apalagi kalau sedang diburu oleh deadline seperti ini dan si boss berada di sekitarnya. Edo melenguh jengkel. Tapi segera ia menghibur diri bahwa siapa tahu ia bisa bertemu Tenri di sana.

Sepeda motornya diparkir di dekat pos penjagaan. Sejak pelaksanaan Malam lepas Sambut, baru kali ini Edo memasuki kompleks rumah dinas itu. Ada beberapa perubahan mencolok yang tampak berbeda ketika ia berada di situ sebelumnya. Kali ini Edo melihat lebih banyak tanaman hias. Lebih teduh dan sejuk, serta lebih bersih.
Ajudan menyambutnya di pintu ruang tamu yang langsung membawanya ke salah satu set sofa mewah. Ternyata suasana di dalam ruang tamu juga sudah berubah jauh. Seperti halnya di pekarangan, di dalam ruang tamu itu juga dihiasi dengan berbagai tanaman yang menyejukkan pandangan. Edo hampir memastikan, bahwa bossnya ini adalah orang yang sangat menyukai keindahan.
Edo duduk di sofa. Menunggu Ajudan memberitahukan Imran bahwa ia sudah datang. Imran keluar menuju ke tempat Edo duduk. Ia hanya mengenakan kaos oblong dengan celana jeans. Dengan penampilan seperti itu, tidak ada sama sekali kesan formal yang terpancar dari sosoknya.
Imran berbasa-basi soal gangguan tengah malam, yang dijawab Edo bahwa hal itu sudah biasa baginya. Mereka lalu berdiskusi tentang beberapa hal yang harus dilaporkan Imran kepada gubernur. Imran memberi petunjuk, sesekali Edo memberi saran yang kemudian dituangkannya kedalam naskah di komputernya.
Ternyata pekerjaan itu tidak selama yang dibayangkan Edo. Imran tidak mendesak naskah itu harus selesai malam ini. Masih ada cukup waktu besok pagi, katanya. Edo bermaksud mohon diri, tapi Imran menahannya untuk santap malam. Meski merasa sungkan, Edo tidak bisa menolak. Bertiga dengan ajudan mereka menyantap hidangan di ruang makan. 
Suasana cair yang dibangun Imran membuat Edo merasa santai, walau malam sudah semakin larut. Sambil makan Imran bercerita tentang diri dan keluarganya. Edo sudah pernah mendengarnya. Terutama waktu malam lepas sambut. Kadang-kadang pejabat biasa terlupa kalau ia sudah mengulang-ulang sebuah cerita. Tapi Edo berusaha menjadi pendengar yang baik. Saat Imran mulai bercerita tentang anak tunggalnya, Edo menyela, “saya juga anak tunggal pak.” Ia ingin menelan kembali ucapannya dan merasa sangat menyesal mengatakan hal itu tanpa ditanya.
“O ya?” Imran menanggapi, tapi sesaat kemudian, ia kembali larut ke dalam kisah hidupnya.
Imran lalu bercerita tentang kelahiran Tenri yang menurutnya merupakan peristiwa paling membahagiakan dalam hidupnya. Perjuangannya yang tak kenal lelah untuk memperoleh keturunan ternyata tidak sia-sia. Imran menangis bahagia ketika dokter yang membantunya lewat program bayi tabung mengatakan istrinya positif hamil. Edo ingat ayahnya. Jangan-jangan Pak Bupati ini adalah pasien ayah dulu. Sepanjang yang Edo ingat, pada tahun sembilan puluhan, ayahnya adalah satu-satunya dokter di negeri ini yang bisa melakukan fertilisasi di dalam tabung. Edo ingin menyela, barangkali ayahnya adalah dokter yang Imran maksud, tapi segera diurungkannya niat itu. Sekali lagi kau menyela pembicaraan boss,
Imran tinggal di Bandung bersama istrinya selama tiga bulan. Mengikuti seluruh prosedur yang dipersyaratkan oleh program itu. Kali ini usaha mereka tidak sia-sia. Istri Imran positif hamil. Seluruh rutinitas dan aktifitas Imran berubah sejak kehamilan istrinya. Perhatian penuh ditumpahkan kepada sang istri dan sang janin. Ia hampir tak mengizinkan istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga dalam bentuk apapun. Serahkan saja pada pembantu, katanya. Jaga dirimu dan anak kita baik-baik.
Walau sangat mengharapkan kehadiran bayi laki-laki, namun kelahiran seorang bayi perempuan sembilan bulan kemudian tidak sediktitpun mengurangi kebahagiaan keluarga besar Imran dan Istrinya. Itulah sebabnya, ketika lahir bayi perempuan itu diberi nama Tenrisanna, yang berarti anugerah yang tak terduga.
Sensasional, itulah perasaan Imran ketika menjadi seorang ayah. Saat menyentuh kulit bayinya yang lembut bagai sutra, saat merasakan detak jantungnya yang lembut, saat merasakan hembusan nafasnya yang hangat, juga saat merasakan cengkeraman tangan mungilnya di ujung-ujung jemarinya, Imran merasa hidup ini menjadi begitu berarti. Saat melihat bibir mungil itu bergerak menguap, saat melihat sepasang mata yang kecil itu berkedip, saat melihat tubuh kecil itu menggeliat, Imran merasa masa depan cerah membentang di hadapannya.
Sejak kelahiran putrinya, cara pandang Imran terhadap kehidupan ini berubah total. Ia merasa, sudah ada seseorang yang kelak menuai segala jerih payah dan pengorbanannya. Ia merasa, bahwa saat itu ia hidup untuk seseorang. Bekerja untuk seseorang. Dan orang itu adalah Tenrisanna, anak amat didamba dan dirindukannya, bahkan jauh sebelum dia lahir ke dunia ini.
Pada saat itu, Imran juga tiba pada sebuah kesadaran lain. Bayi seberat 2,8 kg dan panjang 48 cm itu begitu kecil, ringkih dan tak berdaya, pastilah tak berbeda jauh dengan keadaan dirinya  sendiri ketika ia dilahirkan. Dan fakta bahwa ia telah hidup hingga kini untuk menimang anaknya sendiri, tak lain dan tak bukan karena perjuangan orang tuanya. Serta merta kesadaran itu membawanya pada sebuah penghormatan yang sempurna terhadap kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya. Sebesar itukah arti seorang ibu bagi diriku? Karena selain tangis, apa lagi yang bisa dilakukan makhluk kecil itu kepada orang lain di sekitarnya? Edo termenung mendengar penuturan bernada filosofis itu. Ia sendiri merasa tidak seberuntung Tenri, karena ibunya telah wafat sebelum ia mengerti apa yang terjadi.
Butuh perjuangan ekstra untuk membuat bayi itu bertahan hidup. Imran melanjutkan. Walau dijaga begitu hati-hati, ada-ada saja penyakit yang menyerangnya. Dan jika mengalami sakit, seluruh keluarga besar Imran merasakan suasana yang mencekam. Untunglah Tuhan masih memberikan kesempatan kepada mereka, menyaksikan putri kecil itu akhirnya tumbuh dewasa dan menjadi gadis yang sangat cantik.
Edo pulang dengan perasaan kecewa, karena sekalipun Tenri tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Tapi ia tetap merasa beruntung, sekarang Ia merasa telah menjadi seseorang yang dekat dengan Bupati. Sesuatu yang menjadi idaman setiap pegawai. Dekat dengan api. Dekat dengan pusat kekuasaan. Saat berjalan ke luar rumah dinas itu, matanya sempat tertangkap oleh sebuah pigura besar yang menampilkan wajah Tenri. Tapi ia tidak berani memandangnya lama-lama, karena Imran ada di dekatnya. Yang mengherankan Edo, foto itu sepertinya sudah pernah ia lihat sebelumnya. Tapi ia tidak yakin.

No comments:

Post a Comment