Di atas
meja rapat besar itu bertumpuk empat puluh dua folder plastik berwarna hitam.
Masing-masing berisi Curriculum Vitae, surat keputusan pengangkatan
pegawai, piagam penghargaan, sertifikat kecakapan dan lain sebagainya.
Ketebalan setiap folder bervariasi antara satu setengah hingga tiga senti. Pada
setiap sampulnya tertempel pas foto berukuran empat kali enam, dilengkapi
dengan nama dan Nomor Induk Pegawai yang bersangkutan.
Keempat
puluh dua folder itu diserahkan oleh Sufri, Wakil Bupati, setengah jam yang
lalu. Katanya inilah orang-orang yang secara administratif memenuhi syarat
untuk dipilih sebagai kepala perangkat daerah. Ada yang sementara menjabat, ada
juga yang masih berada pada jabatan satu tingkat di bawahnya, tapi potensial
untuk segera mendapatkan promosi. Sebagai Bupati, Imran harus memilih sendiri
siapa yang akan membantunya. Sufri akan membantu dengan memberi saran atau
masukan sesuai pemahamannya nanti.
Imran
mengamati sampul folder-folder itu, meneliti dan mencoba mengenali wajah setiap
orang yang ada di foto satu persatu. Beberapa orang di antaranya sudah
dikenalnya, namun sebagian besar bahkan belum pernah dilihatnya sama sekali.
Deretan angka yang ada pada NIP mereka diamati dengan seksama. Dari situ Imran
tahu, bahwa seluruh pegawai yang berkasnya ada di meja itu berusia antara empat
puluh satu hingga lima puluh delapan tahun.
Kita
mulai dengan usia produktif. Imran berhitung mundur.
Hasilnya: pegawai yang berusia 55 tahun keatas, atau yang lahir sebelum tahun 1956
harus disingkirkan. Sudah uzur, pasti sudah tidak berorientasi pada pengabdian.
Kalaupun mereka rajin bekerja, itu karena kejar setoran. Tangannya lalu
bergerak menelusuri sampul setiap folder. Ia tidak perlu membukanya. Tahun
kelahiran Pegawai tertera dengan jelas di NIPnya. Dari semua folder yang ada,
tersisa tiga puluh empat folder. Dengan batasan usia itu, delapan orang
langsung kandas.
Selanjutnya,
Imran memilih berdasarkan jenjang pendidikan formal terakhir yang ditamatkan.
Dalam era yang semakin canggih ini, pegawai harus memiliki pengetahuan yang tinggi
agar bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Kali ini yang tidak bergelar
master yang jadi korban. Mereka akan pemimpin orang, kalau mereka tidak
kapabel, bisa merepotkan. Jumlahnya lima orang. Tersisa dua puluh sembilan
folder.
Penelusuran
Imran berikutnya adalah terhadap kecakapan berbahasa Inggris. Imran mengalami
kebuntuan. Tidak ada informasi apapun tentang kemampuan berbahasa Inggris yang
tersedia. Hanya pada CV mereka, Imran menemukan item ‘kemampuan berbahasa
asing’ dengan variasi ‘aktif’ dan ‘pasif.’ Tapi ternyata data itu diisi
sendiri oleh yang bersangkutan dan tidak semua dilampiri dengan dokumen
pendukung seperti sertifikat kelulusan kursus, atau nilai TOEFL maupun IELTS.
Kalau sekedar mengaku, semua orang bisa. Tapi apa buktinya? Bingung
dengan fakta itu, ia memilih mengalah. Singkirkan dulu kemampuan berbahasa
inggris. Katanya pada diri sendiri. Kapan-kapan aku akan mengetes mereka
secara langsung.
Ia lalu
melanjutkan pencarian pada pegawai yang memiliki alamat e-Mail, blog pribadi
dan sejenisnya. Yang dicari Imran adalah yang mengerti IT. hanya sembilan orang
yang punya alamat email. Sedangkan yang punya blog pribadi hanya lima orang.
Dengan komputernya, Imran mencoba browsing ke alamat blog kelima pegawai
itu. Alamat blognya ketemu, dan Imran membaca isinya sekilas. Ia pisahkan lima
orang itu di tempat khusus.
Penelusuran
Imran berlanjut ke berbagai sertifikat atau tanda bukti kelulusan mengikuti
pendidikan dan pelatihan teknis. Bukannya mendapat titik terang, Imran justru
makin bingung. Seorang pegawai bisa memiliki pendidikan teknis yang banyak tapi
dari berbagai disiplin ilmu yang bermacam-macam, bahkan cenderung tidak
berhubungan sama sekali. Ada pula yang terlihat sudah mumpuni dalam disiplin
ilmunya, tapi ia bertugas di tempat yang sama sekali tidak berhubungan ilmunya.
Kekacauan demi kekacauan dalam pemanfaatan pegawai mengemuka dalam berkas yang
hanya berjumlah dua puluh sembilan itu. Imran menelan ludah. Pantas saja
birokrasi tidak pernah bisa benar-benar bekerja secara optimal.
Dari hasil
penelusuran yang dilakukannya secara bertahap, tersisa delapan belas folder yang
menurut hasil pengamatannya bisa menjadi pembantu yang cakap untuk melaksanakan
tugasnya sebagai Bupati. Imran membuat catatan kecil atas delapan belas folder
itu. Catatan itu disimpannya. Sekarang waktunya mendengar pendapat Wakil
Bupati. Tangannya lalu menekan sejumah angka di ponselnya. Hanya dua kata yang
terucap dari bibirnya ketika panggilan itu tersambung. “Ya.... sekarang.” Imran
menutup telpon dan menyandarkan tubuhnya yang penat di sandaran kursi yang
empuk.
Sufri,
sang Wakil Bupati muncul. Imran mempersilakannya duduk di depannya. “Saya cuma
dapat ini, Pak Wabup. Ada tanggapan?” Tanyanya, seraya mengansurkan delapan
belas folder hasil pilihannya.
Sufri
mengamati sampul folder yang dipilih Imran itu satu demi satu. “Ini sudah
sangat bagus, Pak.” Katanya. “Hanya saja, masih ada orang yang saya harapkan
bisa membantu kita, tapi namanya tidak ada di sini.”
“Oh,
mungkin ada di situ, Pak Wabup.” Jelas Imran, seraya menunjuk tumpukan folder
yang sudah disisihkannya. Sufri mencari. Lalu sebuah folder diambilnya dan
disodorkan kepada Imran.
“Saya
kira Bapak bisa mempertimbangkan untuk mengakomodir orang ini.” Katanya, “Dia pekerja keras. Ulet dan
cerdas.”
Imran
mengamati berkas dalam folder itu. Usianya masih muda, empat puluh dua tahun.
Punya email dan blog. Mampu bercakap dalam Bahasa Inggris, nilai toeflnya di
atas lima ratus, Bisa Bahasa Jepang serta menguasai beberapa bahasa daerah di
beberapa pulau di Indonesia. Sertifikat kecakapan juga lumayan banyak. Imran
setuju Sufri mengambilnya dan menyatukannya dengan yang delapan belas. Imran
heran, kenapa dia bisa melewatkan orang itu. Setelah sibuk mencari-cari,
akhirnya ia sadar, bahwa ternyata pegawai tersebut ia sisihkan karena
pendidikan formalnya hanya strata satu.
“Jangan
terlalu terpaku pada pendidikan formal, Pak. Sebagian besar pegawai sekolah
hingga S2 semata-mata untuk perbaikan nasib, bukan karena menuntut ilmu. Yang
ini, ilmunya bisa melebihi master, bahkan yang sudah doktor sekalipun.” Sufri
memberi penjelasan mengenai trend ‘mark up ijazah di daerah.’
Imran
mengangguk setuju. Dalam hati ia berjanji, ia akan mencoba mengecek kemampuan
orang itu secara pribadi nantinya. “Ok, Pak Wabup. Kita sepakat dengan sembilan
belas orang ini.”
Sembilan
belas nama itu dipilah satu demi satu. Sufri, berbekal pengalamannya selama ini
menjelaskan kepada Imran nama-nama yang pantas didudukkan dalam jabatan
tertentu. Ia uraikan plus minus pegawai yang bersangkutan berdasar
pengetahuannya dan dicocokkan dengan berkas-berkas yang ada. Keduanya membuat
catatan.
Siang hari,
pekerjaan itu baru rampung. Selanjutnya, keduanya akan mengundang orang-orang
yang sudah terpilih itu untuk diwawancarai secara langsung untuk mendalami
kapasistas dan kemampuannya.
Sesi
wawancara itu berlangsung sangat lambat. Imran dan Sufri secara bergantian
mengajukan berbagai pertanyaan seputar manajemen pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan, keterampilan dan kecenderungan emosional mereka. Pengalaman
Imran mengelola perusahaan membuatnya memiliki intuisi yang tajam dalam menilai
apakah seorang pegawai bisa bekerja dengan baik atau tidak. Pengalaman Sufri
yang sudah puluhan tahun malang melintang dalam dunia birokrasi membuatnya
hapal karakter pegawai yang ada sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Imran
memberikan perhatian khusus kepada orang yang ‘direkomendasikan’ oleh Sufri.
Pegawai itu bernama Dipa, seorang pria berperawakan sedang dengan postur yang
seimbang. Usianya masih lumayan muda, empat puluh dua tahun. Pernah menduduki
berbagai jabatan yang cukup strategis dan menunjukkan prestasi yang lumayan.
Ketika ditanya mengapa pendidikan formalnya hanya sampai S1, ia menjawab bahwa
ia nikah muda dan anak-anaknya sekarang sudah besar, sebentar lagi kuliah, dan
ia tidak punya cukup biaya untuk kuliah sekaligus menyekolahkan anaknya. Lebih
baik ia memprioritaskan anaknya agar lebih siap menghadapi masa depan yang
lebih garang. Imran terkesan. Wawasan orang ini cukup luas. Pekerja keras, tapi
tetap peduli pada hal lain di luar dirinya. Imran sependapat dengan Sufri,
bahwa ia potensial.
Hasil
wawancara itu mengambil kesimpulan bahwa dari sembilan belas orang itu, hanya
enam belas orang yang siap untuk didudukkan menjadi pejabat struktural eselon
II yang akan menduduki posisi-posisi pimpinan lembaga perangkat daerah sesuai
dengan keahlian masing-masing. Sementara tiga nama lainnya, yang menurut hasil wawancara
Imran dan Sufri, belum memiliki kematangan secara intelektual, emosional dan
spiritual untuk bergabung dalam tim kerja yang akan membantunya melaksanakan
pemerintahan. Tapi tetap pantas untuk dipromosikan beberapa tahun mendatang.
Kepada
enam belas orang itu, Imran dan Sufri berpesan agar mereka menyiapkan diri
menjadi bagian dari proses reformasi birokrasi pemerintahan yang akan segera
mereka jalankan. Lima tahun kurang beberapa hari ke depan, akan menjadi
lapangan pengabdian yang luas bagi mereka.
Imran
menambahkan, bahwa ia membutuhkan semua sumber daya yang potensial bagi
keberhasilan tugasnya dengan Sufri untuk memimpin daerah ini. Dan merekalah,
keenam belas orang itu, yang akan menjadi kaki tangan mereka yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat.
Kepada mereka Imran dan Sufri minta agar mereka
menandatangai pernyataan, bahwa apabila dalam waktu dua belas bulan, mereka
tidak mampu menunjukkan prestasi sebagaimana yang Imran dan Sufri harapkan,
maka mereka harus rela untuk mundur dari jabatannya. Semua ini agar kita
menjadi semakin baik. Kata Imran, menutup arahannya.
fiuuhhh,,,andai bener ini yang terjadi pasi kita punya orang2 qualified..:D
ReplyDeletesebuah kondisi ideal yang harus diwujudkan dengan susah payah...
ReplyDelete