Friday 6 January 2012

Chapter Seven


Di atas meja rapat besar itu bertumpuk empat puluh dua folder plastik berwarna hitam. Masing-masing berisi Curriculum Vitae, surat keputusan pengangkatan pegawai, piagam penghargaan, sertifikat kecakapan dan lain sebagainya. Ketebalan setiap folder bervariasi antara satu setengah hingga tiga senti. Pada setiap sampulnya tertempel pas foto berukuran empat kali enam, dilengkapi dengan nama dan Nomor Induk Pegawai yang bersangkutan.

Keempat puluh dua folder itu diserahkan oleh Sufri, Wakil Bupati, setengah jam yang lalu. Katanya inilah orang-orang yang secara administratif memenuhi syarat untuk dipilih sebagai kepala perangkat daerah. Ada yang sementara menjabat, ada juga yang masih berada pada jabatan satu tingkat di bawahnya, tapi potensial untuk segera mendapatkan promosi. Sebagai Bupati, Imran harus memilih sendiri siapa yang akan membantunya. Sufri akan membantu dengan memberi saran atau masukan sesuai pemahamannya nanti.
Imran mengamati sampul folder-folder itu, meneliti dan mencoba mengenali wajah setiap orang yang ada di foto satu persatu. Beberapa orang di antaranya sudah dikenalnya, namun sebagian besar bahkan belum pernah dilihatnya sama sekali. Deretan angka yang ada pada NIP mereka diamati dengan seksama. Dari situ Imran tahu, bahwa seluruh pegawai yang berkasnya ada di meja itu berusia antara empat puluh satu hingga lima puluh delapan tahun.
Kita mulai dengan usia produktif. Imran berhitung mundur. Hasilnya: pegawai yang berusia 55 tahun keatas, atau yang lahir sebelum tahun 1956 harus disingkirkan. Sudah uzur, pasti sudah tidak berorientasi pada pengabdian. Kalaupun mereka rajin bekerja, itu karena kejar setoran. Tangannya lalu bergerak menelusuri sampul setiap folder. Ia tidak perlu membukanya. Tahun kelahiran Pegawai tertera dengan jelas di NIPnya. Dari semua folder yang ada, tersisa tiga puluh empat folder. Dengan batasan usia itu, delapan orang langsung kandas.
Selanjutnya, Imran memilih berdasarkan jenjang pendidikan formal terakhir yang ditamatkan. Dalam era yang semakin canggih ini, pegawai harus memiliki pengetahuan yang tinggi agar bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Kali ini yang tidak bergelar master yang jadi korban. Mereka akan pemimpin orang, kalau mereka tidak kapabel, bisa merepotkan. Jumlahnya lima orang. Tersisa dua puluh sembilan folder.
Penelusuran Imran berikutnya adalah terhadap kecakapan berbahasa Inggris. Imran mengalami kebuntuan. Tidak ada informasi apapun tentang kemampuan berbahasa Inggris yang tersedia. Hanya pada CV mereka, Imran menemukan item ‘kemampuan berbahasa asing’ dengan variasi ‘aktif’ dan ‘pasif.’  Tapi ternyata data itu diisi sendiri oleh yang bersangkutan dan tidak semua dilampiri dengan dokumen pendukung seperti sertifikat kelulusan kursus, atau nilai TOEFL maupun IELTS.  Kalau sekedar mengaku, semua orang bisa. Tapi apa buktinya? Bingung dengan fakta itu, ia memilih mengalah. Singkirkan dulu kemampuan berbahasa inggris. Katanya pada diri sendiri. Kapan-kapan aku akan mengetes mereka secara langsung.
Ia lalu melanjutkan pencarian pada pegawai yang memiliki alamat e-Mail, blog pribadi dan sejenisnya. Yang dicari Imran adalah yang mengerti IT. hanya sembilan orang yang punya alamat email. Sedangkan yang punya blog pribadi hanya lima orang.  Dengan komputernya, Imran mencoba browsing ke alamat blog kelima pegawai itu. Alamat blognya ketemu, dan Imran membaca isinya sekilas. Ia pisahkan lima orang itu di tempat khusus.
Penelusuran Imran berlanjut ke berbagai sertifikat atau tanda bukti kelulusan mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis. Bukannya mendapat titik terang, Imran justru makin bingung. Seorang pegawai bisa memiliki pendidikan teknis yang banyak tapi dari berbagai disiplin ilmu yang bermacam-macam, bahkan cenderung tidak berhubungan sama sekali. Ada pula yang terlihat sudah mumpuni dalam disiplin ilmunya, tapi ia bertugas di tempat yang sama sekali tidak berhubungan ilmunya. Kekacauan demi kekacauan dalam pemanfaatan pegawai mengemuka dalam berkas yang hanya berjumlah dua puluh sembilan itu. Imran menelan ludah. Pantas saja birokrasi tidak pernah bisa benar-benar bekerja secara optimal.
Dari hasil penelusuran yang dilakukannya secara bertahap, tersisa delapan belas folder yang menurut hasil pengamatannya bisa menjadi pembantu yang cakap untuk melaksanakan tugasnya sebagai Bupati. Imran membuat catatan kecil atas delapan belas folder itu. Catatan itu disimpannya. Sekarang waktunya mendengar pendapat Wakil Bupati. Tangannya lalu menekan sejumah angka di ponselnya. Hanya dua kata yang terucap dari bibirnya ketika panggilan itu tersambung. “Ya.... sekarang.” Imran menutup telpon dan menyandarkan tubuhnya yang penat di sandaran kursi yang empuk.
Sufri, sang Wakil Bupati muncul. Imran mempersilakannya duduk di depannya. “Saya cuma dapat ini, Pak Wabup. Ada tanggapan?” Tanyanya, seraya mengansurkan delapan belas folder hasil pilihannya.
Sufri mengamati sampul folder yang dipilih Imran itu satu demi satu. “Ini sudah sangat bagus, Pak.” Katanya. “Hanya saja, masih ada orang yang saya harapkan bisa membantu kita, tapi namanya tidak ada di sini.”
“Oh, mungkin ada di situ, Pak Wabup.” Jelas Imran, seraya menunjuk tumpukan folder yang sudah disisihkannya. Sufri mencari. Lalu sebuah folder diambilnya dan disodorkan kepada Imran.
“Saya kira Bapak bisa mempertimbangkan untuk mengakomodir orang ini.” Katanya,   “Dia pekerja keras. Ulet dan cerdas.”
Imran mengamati berkas dalam folder itu. Usianya masih muda, empat puluh dua tahun. Punya email dan blog. Mampu bercakap dalam Bahasa Inggris, nilai toeflnya di atas lima ratus, Bisa Bahasa Jepang serta menguasai beberapa bahasa daerah di beberapa pulau di Indonesia. Sertifikat kecakapan juga lumayan banyak. Imran setuju Sufri mengambilnya dan menyatukannya dengan yang delapan belas. Imran heran, kenapa dia bisa melewatkan orang itu. Setelah sibuk mencari-cari, akhirnya ia sadar, bahwa ternyata pegawai tersebut ia sisihkan karena pendidikan formalnya hanya strata satu.
“Jangan terlalu terpaku pada pendidikan formal, Pak. Sebagian besar pegawai sekolah hingga S2 semata-mata untuk perbaikan nasib, bukan karena menuntut ilmu. Yang ini, ilmunya bisa melebihi master, bahkan yang sudah doktor sekalipun.” Sufri memberi penjelasan mengenai trend ‘mark up ijazah di daerah.’
Imran mengangguk setuju. Dalam hati ia berjanji, ia akan mencoba mengecek kemampuan orang itu secara pribadi nantinya. “Ok, Pak Wabup. Kita sepakat dengan sembilan belas orang ini.”
Sembilan belas nama itu dipilah satu demi satu. Sufri, berbekal pengalamannya selama ini menjelaskan kepada Imran nama-nama yang pantas didudukkan dalam jabatan tertentu. Ia uraikan plus minus pegawai yang bersangkutan berdasar pengetahuannya dan dicocokkan dengan berkas-berkas yang ada. Keduanya membuat catatan.
Siang hari, pekerjaan itu baru rampung. Selanjutnya, keduanya akan mengundang orang-orang yang sudah terpilih itu untuk diwawancarai secara langsung untuk mendalami kapasistas dan kemampuannya.
Sesi wawancara itu berlangsung sangat lambat. Imran dan Sufri secara bergantian mengajukan berbagai pertanyaan seputar manajemen pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, keterampilan dan kecenderungan emosional mereka. Pengalaman Imran mengelola perusahaan membuatnya memiliki intuisi yang tajam dalam menilai apakah seorang pegawai bisa bekerja dengan baik atau tidak. Pengalaman Sufri yang sudah puluhan tahun malang melintang dalam dunia birokrasi membuatnya hapal karakter pegawai yang ada sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Imran memberikan perhatian khusus kepada orang yang ‘direkomendasikan’ oleh Sufri. Pegawai itu bernama Dipa, seorang pria berperawakan sedang dengan postur yang seimbang. Usianya masih lumayan muda, empat puluh dua tahun. Pernah menduduki berbagai jabatan yang cukup strategis dan menunjukkan prestasi yang lumayan. Ketika ditanya mengapa pendidikan formalnya hanya sampai S1, ia menjawab bahwa ia nikah muda dan anak-anaknya sekarang sudah besar, sebentar lagi kuliah, dan ia tidak punya cukup biaya untuk kuliah sekaligus menyekolahkan anaknya. Lebih baik ia memprioritaskan anaknya agar lebih siap menghadapi masa depan yang lebih garang. Imran terkesan. Wawasan orang ini cukup luas. Pekerja keras, tapi tetap peduli pada hal lain di luar dirinya. Imran sependapat dengan Sufri, bahwa ia potensial.
Hasil wawancara itu mengambil kesimpulan bahwa dari sembilan belas orang itu, hanya enam belas orang yang siap untuk didudukkan menjadi pejabat struktural eselon II yang akan menduduki posisi-posisi pimpinan lembaga perangkat daerah sesuai dengan keahlian masing-masing. Sementara tiga nama lainnya, yang menurut hasil wawancara Imran dan Sufri, belum memiliki kematangan secara intelektual, emosional dan spiritual untuk bergabung dalam tim kerja yang akan membantunya melaksanakan pemerintahan. Tapi tetap pantas untuk dipromosikan beberapa tahun mendatang.
Kepada enam belas orang itu, Imran dan Sufri berpesan agar mereka menyiapkan diri menjadi bagian dari proses reformasi birokrasi pemerintahan yang akan segera mereka jalankan. Lima tahun kurang beberapa hari ke depan, akan menjadi lapangan pengabdian yang luas bagi mereka.
Imran menambahkan, bahwa ia membutuhkan semua sumber daya yang potensial bagi keberhasilan tugasnya dengan Sufri untuk memimpin daerah ini. Dan merekalah, keenam belas orang itu, yang akan menjadi kaki tangan mereka yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Kepada mereka Imran dan Sufri minta agar mereka menandatangai pernyataan, bahwa apabila dalam waktu dua belas bulan, mereka tidak mampu menunjukkan prestasi sebagaimana yang Imran dan Sufri harapkan, maka mereka harus rela untuk mundur dari jabatannya. Semua ini agar kita menjadi semakin baik. Kata Imran, menutup arahannya.

2 comments:

  1. fiuuhhh,,,andai bener ini yang terjadi pasi kita punya orang2 qualified..:D

    ReplyDelete
  2. sebuah kondisi ideal yang harus diwujudkan dengan susah payah...

    ReplyDelete