Barli sudah bisa berjalan meninggalkan
tempat tidur. Tubuhnya berangsur pulih seiring dengan telah dikeluarkannya
seluruh pengaruh heroin yang pernah ditelannya. Obat-obatan yang diminumnya
telah memberikan efek yang baik. Jika ia berjalan, selang dan botol infus
diseretnya, bahkan sampai berjalan melewati koridor rumah sakit jika ia kebelet
ingin keluar. Di dalam bosan katanya.
Pagi itu, ia duduk di tempat tidur
setelah sarapan. Seharusnya, kalau kondisinya terus membaik seperti ini, dalam
waktu dua hari ke depan ia sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Ia tidak betah
berada di rumah sakit, walaupun dari ibnya ia tahu bahwa Pak Bupati sudah
berjanji menanggung semua biaya perawatannya hingga sembuh. Bagaimanapun,
dirawat di rumah jauh lebih menyenangkan. Tidak banyak pantangannya, kata
Barli.
Dua orang petugas dari kepolisian datang
menemuinya, menyampaikan surat panggilan untuk diperiksa sebagai saksi.
Waktunya dua hari kemudian. Tapi sebelum pulang mereka meminta waktu untuk
berbincang-bincang. Katanya ini sekedar mencari informasi awal.
“Bisa anda ceritakan apa yang terjadi pada
hari Selasa tanggal dua belas Maret yang lalu?”
“Saya mengantar Bapak Wakil Bupati untuk
menghadiri acara di kecamatan. Tiba di sana, Pak Wakil Bupati dengan ajudan
masuk ke kantor kecamatan, sementara saya menunggu di luar.”
“Apa yang kamu lakukan?”
“Tidak ada, pak. Saya hanya duduk
menunggu di bawah sebuah pohon mangga. Cuaca sangat panas di dalam ruangan,
jadi saya keluar.”
“Terus?”
“Biasanya kalau sudah ada tanda dari
Ajudan bahwa pak Wakil Bupati sudah mau pulang, saya bersiap, menyalakan mesin
mobil dan menunggu.”
“Ada yang aneh waktu Pak Wakil Bupati
naik mobil?”
“Tidak ada pak.”
“Atau waktu sudah mulai jalan?”
“Juga tidak pak.”
“Kenapa kamu tiba-tiba menghentikan Mobil?
“Saya pusing, pak.”
“Apakah memang kamu biasa pusing kalau
sedang mengemudi?”
“Tidak pernah, pak. Baru kali itu terjadi.”
“Sebelum berangkat kamu makan apa?”
“Biasa saja pak. Sarapan pagi di rumah.
Lalu makan siang di rumah dinas Camat. Pernah minum Kopi dan air putih.”
“Setelah itu tidak makan dan minum
apa-apa lagi?”
Barli ragu-ragu. Ia ingat pernah minum
sesuatu di rumah gadis yang disebut sebagai jodohnya. Tapi ia malu kalau
kelakuannya hampir menggagahi gadis itu diketahui oleh orang lain. “Tidak,
pak.”
“Dari hasil pemeriksaan, darah dan urine
kamu mengandung zat adiktif. Sudah berapa lama mengonsumsi obat-obat terlarang?”
“Tidak pernah pak. Saya tidak pernah
makan begituan. Bahaya pak.”
“Tapi darah dan urine kamu mengandung
narkoba.”
“Wah, Saya tidak tahu tuh, pak.”
“Jangan bohong, Barli. Jika kamu terbukti
sengaja menggunakan obat-obatan, kamu bisa dihukum berat. Apalagi kalau Pak
Wakil Bupati sampai mengalami hal yang buruk.”
“Tidak, pak. Saya tidak bohong. Lagipula saya
tidak tahu apa itu narkoba. Bapak juga sering berpesan kepada saya agar tidak
berhubungan dengan barang-barang seperti itu.”
“Jadi dari mana kamu dapat barang seperti itu?”
“Saya tidak tahu, pak.”
“Begini, Barli. Kamu mengalami
kejang-kejang saat mengemudi, itu berarti kamu mengonsumsi heroinnya beberapa
saat sebelum pulang.”
“Pak polisi, saya tidak pernah mengonsumsi narkoba.
Atau begini saja. Kamu ingat-ingat
kembali apa saja yang kamu alami hari itu. nanti dalam pemeriksaan resmi kita
bicara lagi.”
Kedua polisi itu pamit. Barli termenung
sendiri, memikirkan kejadian hari itu. Ia berangkat dari rumah dengan perasaan
sehat. Tiba di sana juga dengan perasaan yang sehat. Kenapa tiba-tiba polisi
itu bilang ia mengonsumsi heroin? Barli bergidik ketika membayangkan bahwa
heroin itu ia dapat di rumah gadis pujaannya. Tapi hati kecilnya mencoba
membantah. Tidak mungkin. Katanya
dalam hati. Ia gadis yang sangat baik.
Kejadian hampir serupa terjadi di ruang
perawatan di mana Ajudan wakil bupati di rawat. Kedua polisi itu mencoba
menggali informasi awal sebelum sesi oemeriksaan resmi yang akan digelar dua
hari kemudian.
“Bisakah anda ceritakan apa yang terjadi
pada waktu itu”
“Seperti biasa, Saya mendampingi pak
wakil Bupati di acara itu. Kami makan siang di sana. Setelah acara selesai,
kami bermaksud untuk pulang ke rumah dinas. Tapi dalam perjalanan, tiba-tiba
mobil oleng tanpa sebab dan berhenti tiba-tiba. Kepala saya terantuk pada kaca
depan karena tidak pakai sabuk pengaman,”
“Itulah pentingnya sabuk pengaman,”
potong seorang polisi.
“Iya pak. Baru kali itu saya tidak
mengenakannya. Saya belum sempat. Karena terantuk, saya merasa kesakitan.
Tiba-tiba ada seseorang membuka pintu mobil dan menarik saya keluar lalu
memukuli saya. Saya mencoba melawan tapi karena mereka berdua, saya tidak
sanggup melawan.”
“Kamu kenal orang itu?”
“Tidak pak. Mereka mengenakan topeng. Wajah
mereka tidak terlihat sama sekali.”
“Ada lagi kira-kira yang bisa kamu
sampaikan. Sementara belum ada, pak. Saya masih shock.”
“Ok. Kita ketemu nanti.”
Polisi itu pulang.
Pada sesi pemeriksaan resmi dua hari
kemudian, kedua orang itu memberikan penjelasan yang tidak berbeda dengan apa
yang telah mereka sampaikan sebelumnya. Hanya saja kali ini Barli mengaku baru
ingat bahwa ia minum syrop di sebuah rumah.
Barli dicecar dengan sejumlah pertanyaan
mengenai rumah dan siapa yang memberinya minum. Barli terpaksa membeberkan
pengalaman erotiknya bersama gadis bernama Bilqis itu dan bagaimana ia bisa
berkenalan dengannya.
Sepasukan polisi langsung terbang ke
lokasi untuk mengecek rumah itu. Ternyata penghuni rumahnya bukan gadis seperti
yang digambarkan oleh Barli. Melainkan sepasang suami istri yang sudah berumur.
Mereka hanya tinggal berdua di rumah itu, dan pada hari kejadian, mengaku
menerima ajakan seseorang untuk jalan-jalan ke sebuah kabupaten tetangga.
Mereka tidak mengerti untuk apa-apa jalan-jalan itu, tapi mereka menerima
sejumlah uang. Saat ditanya ciri-ciri orang itu, mereka mengaku tidak ingat,
karena mereka duduk di belakang sopir. Tidak sempat melihat wajah mereka.
“Lihat wajahnya?”
“Tidak, pak.”
“Kok bisa satu mobil wajahnya tidak kelihatan”
“Mereka duduk di depan, kami di belakang.”
“Jadi bapak tidak kenal mereka sama
sekali?”
“Tidak pak.”
“Coba bapak ceritakan bagaimana bapak
tertarik ikut sama mereka sementara bapak tidak mengenali mereka sama sekali.”
“Saya dikasih uang pak.”
“Dikasi uang, berapa?”
“Banyak sekali, pak.”
“Masih ada uangnya?”
“Masih, pak. Belum dipakai sama sekali.
Rencananya mau ditabung di bank.”
“Boleh saya lihat uangnya?”
“Boleh, boleh. Pak. Tapi tolong jangan dijadikan
barang bukti, ya?”
“Kok bapak tahu uang bisa jadi barang
bukti?”
“Di televisi, pak.”
Istri laki-laki tua itu mengambil uang
yang mereka maksud. Dia keluar dengan membawa lima lembar uang pecahan seratus ribu di tangannya.
“Pak uang ini saya bawa, tapi saya ganti
dengan ini, katanya sambil merogoh dompetnya dan menyerahkan uang yang
jumlahnya persis dengan uang mereka itu.
Kompol Baso memasukkan uang itu ke dalam
sebuah kantong lalu melanjutkan pertanyaan kepada kedua orang tua itu.
“Jadi bapak tidak tahu kalau ada seorang
gadis yang tinggal di rumah ini pada
hari itu?”
“Tidak pak.”
“Memangnya waktu bapak pergi pintunya
dikunci atau tidak.”
“Dikunci, pak.”
“Ada orang lain yang pegang kuncinya.”
“Tidak ada, pak. Kami hanya tinggal
berdua.”
“Waktu bapak pulang, adakah barang yang
hilang?”
“Tidak ada, pak. Aman 100%.”
“Seperti tidak pernah terjadi apa-apa?”
“Betul, pak.”
Kompol Baso memerintahkan anak buahnya
melakukan pemeriksaan, siapa tahu ada sesuatu yang tertinggal di rumah itu yang
bisa dijadikan petunjuk. Namun tidak ada jejak apapun yang tersisa. Mungkin
karena waktunya sudah terlalu lama. Pikir Kompol Baso. Mereka pulang
meninggalkan tempat itu.
Di kantor, mereka meminta Barli
menjelaskan ciri-ciri wajah gadis itu. Sketsa wajah sang gadis diyang
memberinya minum syrop, yang diduga telah dicampur dengan heroin untuk
mengganggu kesadaran Barli sehingga rencana perampokan itu berjalan dengan
sukses.
Sketsa wajah gadis itu disebar ke seluruh wilayah negeri ini.
Mulai ke seluruh jajaran kepolisian, hingga kepada semua petugas bandara dan
pelabuhan. Tidak ada jalan keluar baginya dengan wajah yang sementara ia
gunakan. Kecuali jika dalam dua hari terakhir ini ia telah berganti wajah.
Barli tahu, gadis itu pasti tertangkap, karena sketsa wajahnya sangat mirip.
Hanya persoalan waktu sebelum ia tertangkap.
No comments:
Post a Comment