Naimah sebenarnya tidak terlalu resah
menunggu suaminya pulang. Walau saat itu maghrib sudah hampir lewat. Ini
kejadian yang sangat lazim, jadi tidak perlu khawatir. Bukankah tadi pagi Sufri
sudah minta izin untuk tidak pulang makan siang karena ada acara di salah satu
kecamatan. Kebetulan letak kecamatan itu cukup terpencil. Hanya saja, menurut
perhitungannya, seharusnya suaminya sudah pulang.
Naimah mencoba menenangkan diri dengan
menonton siaran televisi. Beberapa stasiun menampilkan acara yang cukup menarik,
dan itu membuatnya sedikit rileks. Tapi hanya untuk beberapa saat. Ketika
ingatannya kembali tertuju pada sang suami, seberkas kekhawatiran kembali
terbersit dari dalam hatinya. Mengapa ia
belum pulang?
Ia coba hubungi nomor ponsel Barli.
Terdengar nada panggil lalu disusul bunyi tut tut yang cepat. Telpon itu tidak
diangkat. Ia coba mengontak nomor Ajudan, keadaannya agak berbeda. Ponsel Ajudan
justru tidak aktif sama sekali. Ragu-ragu ia memberanikan diri menghubungi
nomor suaminya, tapi sebelum sempat tersambung ia putuskan panggilan itu. Sufri
kadang merasa tidak nyaman ketika sedang berada dalam sebuah acara ia menerima
panggilan telpon.
Tensi kegelisahannya perlahan meningkat
ketika jam sudah menunjukkan angka 8. Beberapa kali ia menengok ke luar, berharap pada tengokannya
ia meliaht mobil dinas suaminya berbelok masuk ke halaman rumah. Tapi harapan
itu tidak terwujud. Sekarang ia benar-benar akan menelpon suaminya. Kalau nanti
Sufri mengomel soal gangguan telpon di tengah-tengah acara, ia akan balik
mengomel dan menjelaskan bahwa keingintahuannya sebagai istri harus terjawab.
Dan itu jauh lebih berarti daripada seabrek acara yang harus di hadiri Sufri. Aku berhak tahu kamu berada di mana.
Geramnya dalam hati.
Harapan mendengar suara suaminya di
seberang sana tidak terkabul. Tombol jawab memang sepertinya ditekan, tetapi
tidak ada suara orang yang berbicara. Ia ulangi sekali lagi, keadaannya tetap
saja sama. Sekali lagi, hasilnya sama. Ia merasa dipermainkan. Di luar
kebiasaannya ia berteriak : “Angkat telponnya, bangsat!!” ia sendiri kaget
mendengar suaranya. Tapi teriakan itu tidak direspon sama sekali.
Khawatir, marah, dan jengkel membaur jadi
satu, dan menyesaki ubun-ubun Naimah. Ia bayangkan suaminya mempermainkannya.
Sengaja tidak mau menjawab telpon darinya. Jangankan dengan melihat namanya di
layar, dari nada deringnya saja Sufri tahu kalau panggilan itu dari Naimah. Ia
paham betul hal itu. Makanya, kalau Sufri sengaja tidak mau menjawab telponnya,
berarti ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Laki-laki itu harus
diberi pelajaran. Mentang-mentang sudah jadi wakil bupati, seenaknya saja memperlakukan
istri.
Upaya menelpon itu terhenti ketika salah seorang anggota Polisi Pamong
praja yang bertugas sebagai penjaga di rumah dinas itu muncul di pintu depan.
Dengan sikap hormat ia memberitahu Naimah, bahwa ada seseorang yang mau menemui
Naimah.
Naimah hendak bertanya, tapi tamu yang
dimaksud sang penjaga itu sudah berdiri di depan pintu, ia merasa tercekat. Tamunya
adalah seorang pria berusia akhir tiga puluhan. Berambut cepak dengan kumis
tebal melintang. Ia mengenal orang itu sebagai Kompol Baso, Polisi berpangkat
Komisaris yang menjabat sebagai
Wakapolres.
“Oh, Pak Wakapolres. Mari pak. Silakan
duduk.” Katanya ragu. Melihat polisi itu, perasaan Naimah mendadak tidak enak.
Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya. Meski demikian, hati
kecilnya tetap berharap semoga bukan berita buruk yang dibawa oleh Pak
Wakapolres.
“Bu, sebelumnya kami mohon maaf. Tapi
kami harus segera menyampaikan berita ini. Bapak mengalami kejadian yang kurang
menyenangkan.”
Jantung Naimah berdebar kencang. “Kejadian
apa itu, pak?”
“Kami belum bisa memastikan, bu. Tapi
tampaknya Bapak dirampok oleh seseorang, ah, maksud saya sekelompok orang di
jalan.”
“Masya Allah,” itu bukan peristiwa yang
kurang menyenangkan. Itu sangat tidak menyenangkan. Parasnya tiba-tiba berubah
pucat. Seluruh persendiannya terasa lemas. Pandangannya berputar. Ia terhuyung
dan mencari pegangan pada benda terdekat yang bisa diraihnya. “Jadi... jadi
sekarang bapak ada di mana?”
“Beliau sudah berada di rumah sakit.
Sementara dirawat, bu.”
“Apa? Apakah dia terluka?”
“Iya, bu. Beliau terluka.”
Naimah sekarang menangis. Hampir
histeris, tapi ia tetap berusaha mengendalikan dirinya sekuat tenaga. Kedua
tangannya menutup wajah sambil tersedu.
“Sebaiknya ibu bergegas ke rumah sakit.”
Kata Kompol Baso, sambil minta izin untuk pergi. Ia sempat mendekati Naimah dan
menjabat tangannya seraya berpesan agar Naimah bersabar.
No comments:
Post a Comment