Thursday 19 January 2012

Chapter Twenty Seven


Naimah sebenarnya tidak terlalu resah menunggu suaminya pulang. Walau saat itu maghrib sudah hampir lewat. Ini kejadian yang sangat lazim, jadi tidak perlu khawatir. Bukankah tadi pagi Sufri sudah minta izin untuk tidak pulang makan siang karena ada acara di salah satu kecamatan. Kebetulan letak kecamatan itu cukup terpencil. Hanya saja, menurut perhitungannya, seharusnya suaminya sudah pulang.

Naimah mencoba menenangkan diri dengan menonton siaran televisi. Beberapa stasiun menampilkan acara yang cukup menarik, dan itu membuatnya sedikit rileks. Tapi hanya untuk beberapa saat. Ketika ingatannya kembali tertuju pada sang suami, seberkas kekhawatiran kembali terbersit dari dalam hatinya. Mengapa ia belum pulang?
Ia coba hubungi nomor ponsel Barli. Terdengar nada panggil lalu disusul bunyi tut tut yang cepat. Telpon itu tidak diangkat. Ia coba mengontak nomor Ajudan, keadaannya agak berbeda. Ponsel Ajudan justru tidak aktif sama sekali. Ragu-ragu ia memberanikan diri menghubungi nomor suaminya, tapi sebelum sempat tersambung ia putuskan panggilan itu. Sufri kadang merasa tidak nyaman ketika sedang berada dalam sebuah acara ia menerima panggilan telpon.
Tensi kegelisahannya perlahan meningkat ketika jam sudah menunjukkan angka 8.  Beberapa kali ia menengok ke luar, berharap pada tengokannya ia meliaht mobil dinas suaminya berbelok masuk ke halaman rumah. Tapi harapan itu tidak terwujud. Sekarang ia benar-benar akan menelpon suaminya. Kalau nanti Sufri mengomel soal gangguan telpon di tengah-tengah acara, ia akan balik mengomel dan menjelaskan bahwa keingintahuannya sebagai istri harus terjawab. Dan itu jauh lebih berarti daripada seabrek acara yang harus di hadiri Sufri. Aku berhak tahu kamu berada di mana. Geramnya dalam hati.
Harapan mendengar suara suaminya di seberang sana tidak terkabul. Tombol jawab memang sepertinya ditekan, tetapi tidak ada suara orang yang berbicara. Ia ulangi sekali lagi, keadaannya tetap saja sama. Sekali lagi, hasilnya sama. Ia merasa dipermainkan. Di luar kebiasaannya ia berteriak : “Angkat telponnya, bangsat!!” ia sendiri kaget mendengar suaranya. Tapi teriakan itu tidak direspon sama sekali.
Khawatir, marah, dan jengkel membaur jadi satu, dan menyesaki ubun-ubun Naimah. Ia bayangkan suaminya mempermainkannya. Sengaja tidak mau menjawab telpon darinya. Jangankan dengan melihat namanya di layar, dari nada deringnya saja Sufri tahu kalau panggilan itu dari Naimah. Ia paham betul hal itu. Makanya, kalau Sufri sengaja tidak mau menjawab telponnya, berarti ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Laki-laki itu harus diberi pelajaran. Mentang-mentang sudah jadi wakil bupati, seenaknya saja memperlakukan istri.
Upaya menelpon itu terhenti ketika  salah seorang anggota Polisi Pamong praja yang bertugas sebagai penjaga di rumah dinas itu muncul di pintu depan. Dengan sikap hormat ia memberitahu Naimah, bahwa ada seseorang yang mau menemui Naimah.
Naimah hendak bertanya, tapi tamu yang dimaksud sang penjaga itu sudah berdiri di depan pintu, ia merasa tercekat. Tamunya adalah seorang pria berusia akhir tiga puluhan. Berambut cepak dengan kumis tebal melintang. Ia mengenal orang itu sebagai Kompol Baso, Polisi berpangkat Komisaris  yang menjabat sebagai Wakapolres.
“Oh, Pak Wakapolres. Mari pak. Silakan duduk.” Katanya ragu. Melihat polisi itu, perasaan Naimah mendadak tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya. Meski demikian, hati kecilnya tetap berharap semoga bukan berita buruk yang dibawa oleh Pak Wakapolres.
“Bu, sebelumnya kami mohon maaf. Tapi kami harus segera menyampaikan berita ini. Bapak mengalami kejadian yang kurang menyenangkan.”
Jantung Naimah berdebar kencang. “Kejadian apa itu, pak?”
“Kami belum bisa memastikan, bu. Tapi tampaknya Bapak dirampok oleh seseorang, ah, maksud saya sekelompok orang di jalan.”
“Masya Allah,” itu bukan peristiwa yang kurang menyenangkan. Itu sangat tidak menyenangkan. Parasnya tiba-tiba berubah pucat. Seluruh persendiannya terasa lemas. Pandangannya berputar. Ia terhuyung dan mencari pegangan pada benda terdekat yang bisa diraihnya. “Jadi... jadi sekarang bapak ada di mana?”
“Beliau sudah berada di rumah sakit. Sementara dirawat, bu.”
“Apa? Apakah dia terluka?”
“Iya, bu. Beliau terluka.”
Naimah sekarang menangis. Hampir histeris, tapi ia tetap berusaha mengendalikan dirinya sekuat tenaga. Kedua tangannya menutup wajah sambil tersedu.
“Sebaiknya ibu bergegas ke rumah sakit.” Kata Kompol Baso, sambil minta izin untuk pergi. Ia sempat mendekati Naimah dan menjabat tangannya seraya berpesan agar Naimah bersabar.

No comments:

Post a Comment