Monday 2 January 2012

Chapter Three


Ini hari pertamaku menjadi Bupati. Imran berjalan memasuki ruang kerjanya. Tas kerja berisi laptop yang dibawanya sendiri, diletakkan di atas kaca tebal yang melapisi meja kerja yang juga berukuran besar. Meja itu berwarna coklat tua, terbuat dari kayu yang massif. Ia memandang berkeliling. Tepat di belakang kursinya yang bersandaran tinggi, gambar presiden dan wakil presdien yang sedang tersenyum, terpasang dengan pigura mewah. Di antara keduanya, sedikit berada lebih tinggi, tergantung lambang negara Garuda Pancasila yang terbuat dari perak bersepuh emas menempel kokoh di dinding.

Di sudut kiri di atas meja kerja besar itu terdapat sebuah kalender meja yang cantik. Di dekatnya ada sebuah tempat pena dengan sebuah miniatur hewan berukuran kecil yang disepuh dengan warna emas. Di sudut kanannya terdapat sebuah patung kecil kuda jantan berwarna coklat yang sepertinya terbuat dari kayu ebony. Pahatannya halus dan menampilkan detail yang cukup cermat.
Sebuah meja lain yang lebih kecil dengan permukaan yang lebih rendah terletak di sisi kanannya. Menyangga sebuah komputer desktop dengan monitor layar datar berukuran 21 inchi di atasnya. Ada mouse dan keyboard di depannya. Layar monitor itu gelap, tapi dari indicator lamp yang berkedip di sudut kanan bawah monitor, Imran tahu bahwa benda itu bekerja. Imran mencoba menyentuh mousenya, dan layar itupun menyala. Menampilkan empat gambar dari empat ruangan berbeda yang berada di luar ruangannya. Yang pertama adalah ruangan staf dengan tiga buah meja kerja. Dua orang pegawai perempuan dan seorang pegawai laki-laki duduk di kursi masing-masing. Terlihat sibuk bekerja. Yang kedua adalah sebuah ruangan yang dipenuhi dengan sofa berwarna biru, dilengkapi sebuah meja berukuran luas di tengah-tengahnya. Itu pasti ruang tunggu tamu. Pikir Imran. Pada  gambar yang ketiga, Imran melihat lobby kantor Bupati. Sementara itu gambar keempat menampilkan halaman depan kantor Bupati ini.
Imran duduk di kursinya. Joknya yang terbungkus kulit tebal berwarna hitam pekat menerima tubuhnya dan segera membenamkan pantatnya. Pandangannya beredar ke sekeliling ruangan.
Ruang kerja itu cukup luas, sekira delapan kali tujuh meter. Di depan mejanya terdapat tiga buah kursi berjok hitam yang ukurannya lumayan besar, walau tidak sebesar kursi kerjanya. Tidak jauh dari set meja kerja itu, terdapat sebuah meja rapat besar dengan sisi panjang yang melengkung, dikelilingi delapan buah kursi yang ukurannya hampir sama dengan tiga kursi di depan meja kerjanya. Sebuah vas bunga berukuran besar dipenuhi bunga-bunga plastik berwarna warni, diletakkan tepat di tengah-tengah meja.
Di dinding ruangan yang diatur sebagai pajangan, diatur sejumlah plakat dan vandel dari berbagai lembaga dan instansi. Kebanyakan berasal dari luar provinsi. Imran ingat, kebiasaan bertukar plakat juga sering dia lakukan jika menjalin kerjasama bisnis atau berkunjung ke rekan bisnis secara resmi. Pada sisi yang berlawanan, terdapat beberapa piala dengan berbagai jenis kejuaraan. Kebanyakan dalam bidang olah raga.
Tepat di dinding yang menghadap ke arahnya, sebuah pesawat televisi layar lebar terpasang pada ketinggian sekitar dua meter dari lantai. Matanya mencari-cari dan menemukan sebuah remote control berwarna hitam di belakang kalender meja. Iseng-iseng ia pencet tombol on. Benda itu menyala.
Ruangan itu berpendingin udara yang ventilasinya berada di plafond. Menyemburkan hawa dingin yang terasa menusuk hingga tulang belulangnya. Imran menggigil. Ia mengedarkan pandangan berkeliling, mencari remote kontrol. Meski tidak suka dengan hawa gerah, ia juga tidak begitu suka dengan udara yang terlalu dingin. Dengan jempolnya, ia mengatur suhu ruangan sesuai keinginannya, lalu kembali duduk dan menyandarkan punggungnya. Aku sekarang adalah seorang Bupati, katanya dalam hati. Sekarang waktunya bekerja.
Ketika menduduki sejumlah jabatan dalam perusahaan, ia langsung bekerja pada hari pertama. Bidang pekerjaan yang relatif mengkhusus, sudah dia kuasai secara in mind. Namun sekarang segalanya berbeda. Yang dia pahami, menjadi Bupati berarti mengurusi semua kepentingan rakyat. Mulai dari sebelum lahir hingga setelah maninggalnya. Tapi dari mana ia harus memulai?
Hari pertama menjadi Bupati cukup mendebarkan Imran. Memimpin perusahaan selama hampir 20 tahun memberinya pengalaman sehingga ia dikenal sebagai pengusaha berinsting tajam. Pintar menanam investasi, cermat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko. Tapi sekarang ia Bupati. Dengan masyarakat sebagai orang-orang yang diurusnya. Dan ia sama sekali tidak punya pengalaman.
Ia dapati sebuah bel nirkabel di atas mejanya. Ia pencet dengan jempolnya. Sesaat kemudian ia mendengar suara pintu diketuk, tanpa menunggu Imran menjawab, pintu itu terbuka dan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun muncul. Bajunya terstrika rapi, ngepress di badanya yang tegap, Pemuda itu mendekat ke mejanya.
“Siap, pak.” Katanya.
“Kamu siapa?”
“Saya staf Bapak di sini.”
“O...  namamu siapa?”
“Fadli, Pak.”
“Ok, Fadli. Undang Pak Wakil Bupati kemari. Saya mau bicara.”
“Baik, pak.” Pemuda itu menghilang di balik pintu.
Tidak lama kemudian, Wakil bupati muncul. Ia adalah seorang pria berusia di akhir lima puluhan. Pria bernama Sufri itu bertubuh kurus. Agak terlalu kurus malah. Dengan tinggi badan hanya berkisar 157 centimeter dan berat kurang dari 50 kilogram, ia tergolong sebagai pejabat dengan perawakan terkecil. Tapi di balik posturnya yang kecil itu, ia dikenal sebagai seorang yang bernyali besar dan tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil tindakan. Rambutnya berwarna kelabu. Wajahnya kelimis, tanpa kumis dan janggut. Sebuah kacamata baca selalu bertengger di hidungnya. Ia mengucapkan salam dan membungkuk di depan Imran.
“Mari, Pak Wabup. Silakan duduk.”
“Terima kasih, Pak.” Seperti refleks, tangan kirinya bergerak membetulkan letak kacamatanya. Ia lalu menarik sebuah kursi di depan meja Imran dan menjejakkan pantatnya di kursi itu.
 Mereka berbasa-basi sejenak tentang keluarga, lalu berdiskusi mengenai acara pelantikan dan malam lepas sambut yang meriah.  Sufri tadinya adalah seorang kepala sebuah lembaga perangkat daerah. Namun karena perbedaan pandangan yang sangat tajam dengan Bupati, pendahulu Imran, dengan sukarela ia menanggakan jabatannya.
Ia dilahirkan dari seorang ayah yang juga berprofesi sebagai pegawai negeri. Ayahnya sendiri masih merupakan keturunan langsung dari seorang petinggi kerajaan yang pernah berkuasa sebelum negeri ini merdeka. Sehingga di dalam tubuhnya mengalir darah pamong yang kental.
“Pak Wabup,” kata Imran, menuju ke pokok persoalan. “Sepertinya, kita tidak ada waktu untuk ber’bulan madu’. Sesuai rencana kita sebelumnya, pak Wabup akan segera memimpin tim penyusunan rencana pembangunan lima tahunan sesuai visi dan misi kita.”
“Betul, pak. RPJMD harus segera difinalkan, karena dari situlah acuan dari setiap kegiatan yang akan kita laksanakan ke depan.”
“Oh ya, RPJMD. Maaf, saya kurang hapal istilahnya. Tapi saya akan belajar, Pak Wabup. Tolong saya dibantu.”
“Tentu, pak.” Sufri tersenyum penuh pengertian, kembali ia membetulkan letak kacamatanya.
“Saya juga minta anda segera membentuk tim untuk melakukan perampingan terhadap lembaga perangkat daerah dalam waktu dekat ini. Saya kira konsep yang sudah kita bahas beberapa waktu lalu sudah cukup baik. Tinggal dituangkan dalam draft Ranperda.”
Sufri mengangguk. Perampingan lembaga ini menjadi salah satu perpedaan pandangan antara dirinya dengan bupati lama. Menurut Sufri, terlalu banyak pejabat akan membuat birokrasi tidak bisa bergerak efektif. Susah melakukan pekerjaan dan cenderung memboroskan anggaran. Tapi Bupati waktu itu beralasan, banyak keluarganya yang harus diakomodir menduduki jabatan.
 Idealismenya tentang Good Governance tak pernah digubris. Menyadari perbedaan pandangan dan prinsip semakin tidak bisa dipertemukan, Sufri memilih mundur dari jabatannya dan bersiap untuk menantang incumbent, berkompetisi (Seperti Imran, ia juga tidak mau menggunakan istilah bertarung) dalam Pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah mendampingi Imran. Hanya dengan memegang tampuk kekuasaan ia bisa mewujudkan tekadnya. Hanya jika ia dan Imran terpilih, ia bisa mewujudkan idealismenya.
Dia punya pendukung yang fanatik, orang-orang yang memiliki pandangan dan idealisme seperti dirinya. Dia juga memiliki basis pendukung yang jelas di beberapa kecamatan. Di samping itu dia dikenal sangat jujur. Rekam jejaknya selama ini sebagai Pegawai negeri cukup mengkilap. Ia punya modal sosial yang cukup, tapi tidak secara material. Imran tahu itu dan itulah sebabnya Imran menawarinya untuk berpasangan sebagai satu paket pasangan calon. Imranlah yang menanggung modal materialnya. Banyak pemerhati politik di daerah ini menilai bahwa mereka memang merupakan kombinasi yang tepat untuk lahirnya sebuah pemerintahan yang lebih baik.
“Sebagai orang yang lebih paham mengenai pemerintahan, saya kira anda tahu apa yang terbaik bagi daerah ini.” Kata Imran lagi. Sekarang Imran akan mengatur agar mereka berdua bisa menjadi pasangan yang kompak dalam menjalankan pemerintahan ini dalam lima tahun ke depan. Banyak kepala daerah yang tidak mampu mempertahankan keharmonisan dengan wakilnya, dan Imran tidak mau itu terjadi.
Dari berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan oleh Imran, bupati sebelumnya adalah figur one man show. Saat itu Wakil bupati tidak memiliki peran yang signifikan dalam pemerintahan sehingga terkesan hanya sebagai pelengkap penderita. Ironisnya, pelengkap penderita itu tetap dibiayai dan diberi fasilitas oleh negara yang bersumber dari darah dan keringat rakyat. Seluruh keputusan mengenai jalannya pemerintahan dilakukan sepenuhnya oleh Bupati, kadang tanpa melibatkan sang wakil. Itulah sebabnya, dalam pemilu kepala daerah yang baru lalu, bupati memilih berpasangan dengan orang lain, dan sang wakil tampil sebagai calon bupati dan berpasangan dengan calon wakil yang lain lagi. Tapi perjuangan kedua pasangan itu kandas.
Lebih dua jam berikutnya mereka berdiskusi dengan serius. Mulai dari aspek manajemen yang rendah, budaya kerja birokrasi yang memprihatinkan, keuangan dan akuntabilitas yang bobrok, bahkan sampai kepada infrastruktur daerah yang masih membutuhkan pembenahan. Pada pokoknya, mereka bedua memiliki kesamaan pandangan mengenai ke arah mana pemerintahan daerah ini akan dibawa selama lima tahun mendatang. Kematangan Imran sebagai pengusaha, dipadukan dengan kematangan Sufri sebagai birokrat, menjadi nilai tambah yang dapat mendukung tercapainya kesuksesan dalam pengabdian mereka. Kesimpulannya, mereka sepakat dengan langkah-langkah awal pembenahan mendasar dalam sistem pemerintahan daerah, di mana Sufri bertindak sebagai lokomotifnya.
“Mengenai perampingan lembaga, tolong sampaikan kepada semua orang, bahwa untuk saat ini, pekerjaan kita cukup dibantu oleh staf sebanyak itu. Kita tidak perlu banyak orang tapi tidak kompeten. Biar jumlahnya kecil, asal kualitasnya bagus. Lagi pula kalau terlalu besar, nanti rentang kendalinya susah.”
“Iya, Pak. Saya akan pastikan semua berjalan sesuai harapan kita.” Jawabnya, seraya mengangkat frame kacamatanya yang selalu melorot. “Saya kira, kita juga sudah bisa melakukan sosialisasi kepada para pegawai mengenai rencana ini, sehingga mereka tidak kaget nantinya.”
“Benar. Pasti akan timbul gejolak.” Imran menghembuskan nafas. “Tapi kita akan jalan terus. Perubahan memang tak penah mudah. Apalagi sistem birokrasi kita selama ini sudah terlanjur rusak.”
“Kita lakukan perlahan-lahan tapi pasti, pak Bupati. Dan saya akan terus mendampingi anda.” Kata Sufri mantap. Imran merasa tenang.
Sufri mohon pamit dan bersiap untuk meningalkan tempat itu ketika Imran tiba-tiba teringat satu hal. “O ya, Jangan lupa, Pak Wabup, korupsi di daerah ini juga harus mulai ditangani.” Sufri tersenyum. Membungkuk sejenak lalu keluar dari ruangan itu dengan janji akan segera melaksanakan perintah Imran.

No comments:

Post a Comment