Ini hari pertamaku
menjadi Bupati. Imran berjalan memasuki ruang kerjanya.
Tas kerja berisi laptop yang dibawanya sendiri, diletakkan di atas kaca tebal
yang melapisi meja kerja yang juga berukuran besar. Meja itu berwarna coklat
tua, terbuat dari kayu yang massif. Ia memandang berkeliling. Tepat di belakang
kursinya yang bersandaran tinggi, gambar presiden dan wakil presdien yang
sedang tersenyum, terpasang dengan pigura mewah. Di antara keduanya, sedikit
berada lebih tinggi, tergantung lambang negara Garuda Pancasila yang terbuat
dari perak bersepuh emas menempel kokoh di dinding.
Di
sudut kiri di atas meja kerja besar itu terdapat sebuah kalender meja yang
cantik. Di dekatnya ada sebuah tempat pena dengan sebuah miniatur hewan
berukuran kecil yang disepuh dengan warna emas. Di sudut kanannya terdapat
sebuah patung kecil kuda jantan berwarna coklat yang sepertinya terbuat dari
kayu ebony. Pahatannya halus dan menampilkan detail yang cukup cermat.
Sebuah
meja lain yang lebih kecil dengan permukaan yang lebih rendah terletak di sisi
kanannya. Menyangga sebuah komputer desktop dengan monitor layar datar
berukuran 21 inchi di atasnya. Ada mouse dan keyboard di depannya. Layar
monitor itu gelap, tapi dari indicator
lamp yang berkedip di sudut kanan bawah monitor, Imran tahu bahwa benda itu
bekerja. Imran mencoba menyentuh mousenya, dan layar itupun menyala.
Menampilkan empat gambar dari empat ruangan berbeda yang berada di luar
ruangannya. Yang pertama adalah ruangan staf dengan tiga buah meja kerja. Dua
orang pegawai perempuan dan seorang pegawai laki-laki duduk di kursi
masing-masing. Terlihat sibuk bekerja. Yang kedua adalah sebuah ruangan yang
dipenuhi dengan sofa berwarna biru, dilengkapi sebuah meja berukuran luas di
tengah-tengahnya. Itu pasti ruang tunggu tamu. Pikir Imran. Pada gambar yang ketiga, Imran melihat lobby
kantor Bupati. Sementara itu gambar keempat menampilkan halaman depan kantor
Bupati ini.
Imran
duduk di kursinya. Joknya yang terbungkus kulit tebal berwarna hitam pekat
menerima tubuhnya dan segera membenamkan pantatnya. Pandangannya beredar ke
sekeliling ruangan.
Ruang
kerja itu cukup luas, sekira delapan kali tujuh meter. Di depan mejanya
terdapat tiga buah kursi berjok hitam yang ukurannya lumayan besar, walau tidak
sebesar kursi kerjanya. Tidak jauh dari set meja kerja itu, terdapat sebuah meja
rapat besar dengan sisi panjang yang melengkung, dikelilingi delapan buah kursi
yang ukurannya hampir sama dengan tiga kursi di depan meja kerjanya. Sebuah vas
bunga berukuran besar dipenuhi bunga-bunga plastik berwarna warni, diletakkan
tepat di tengah-tengah meja.
Di
dinding ruangan yang diatur sebagai pajangan, diatur sejumlah plakat dan vandel
dari berbagai lembaga dan instansi. Kebanyakan berasal dari luar provinsi. Imran
ingat, kebiasaan bertukar plakat juga sering dia lakukan jika menjalin
kerjasama bisnis atau berkunjung ke rekan bisnis secara resmi. Pada sisi yang
berlawanan, terdapat beberapa piala dengan berbagai jenis kejuaraan. Kebanyakan
dalam bidang olah raga.
Tepat
di dinding yang menghadap ke arahnya, sebuah pesawat televisi layar lebar
terpasang pada ketinggian sekitar dua meter dari lantai. Matanya mencari-cari
dan menemukan sebuah remote control berwarna hitam di belakang kalender meja.
Iseng-iseng ia pencet tombol on. Benda itu menyala.
Ruangan
itu berpendingin udara yang ventilasinya berada di plafond. Menyemburkan hawa
dingin yang terasa menusuk hingga tulang belulangnya. Imran menggigil. Ia mengedarkan
pandangan berkeliling, mencari remote kontrol. Meski tidak suka dengan hawa
gerah, ia juga tidak begitu suka dengan udara yang terlalu dingin. Dengan
jempolnya, ia mengatur suhu ruangan sesuai keinginannya, lalu kembali duduk dan
menyandarkan punggungnya. Aku sekarang
adalah seorang Bupati, katanya dalam hati. Sekarang waktunya bekerja.
Ketika
menduduki sejumlah jabatan dalam perusahaan, ia langsung bekerja pada hari
pertama. Bidang pekerjaan yang relatif mengkhusus, sudah dia kuasai secara in mind. Namun sekarang segalanya
berbeda. Yang dia pahami, menjadi Bupati berarti mengurusi semua kepentingan
rakyat. Mulai dari sebelum lahir hingga setelah maninggalnya. Tapi dari mana ia
harus memulai?
Hari
pertama menjadi Bupati cukup mendebarkan Imran. Memimpin perusahaan selama
hampir 20 tahun memberinya pengalaman sehingga ia dikenal sebagai pengusaha
berinsting tajam. Pintar menanam investasi, cermat mengambil keputusan dan
berani mengambil resiko. Tapi sekarang ia Bupati. Dengan masyarakat sebagai
orang-orang yang diurusnya. Dan ia sama sekali tidak punya pengalaman.
Ia
dapati sebuah bel nirkabel di atas mejanya. Ia pencet dengan jempolnya. Sesaat
kemudian ia mendengar suara pintu diketuk, tanpa menunggu Imran menjawab, pintu
itu terbuka dan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun muncul.
Bajunya terstrika rapi, ngepress di badanya yang tegap, Pemuda itu mendekat ke
mejanya.
“Siap,
pak.” Katanya.
“Kamu
siapa?”
“Saya
staf Bapak di sini.”
“O... namamu siapa?”
“Fadli,
Pak.”
“Ok,
Fadli. Undang Pak Wakil Bupati kemari. Saya mau bicara.”
“Baik,
pak.” Pemuda itu menghilang di balik pintu.
Tidak
lama kemudian, Wakil bupati muncul. Ia adalah seorang pria berusia di akhir lima
puluhan. Pria bernama Sufri itu bertubuh kurus. Agak terlalu kurus malah.
Dengan tinggi badan hanya berkisar 157 centimeter dan berat kurang dari 50
kilogram, ia tergolong sebagai pejabat dengan perawakan terkecil. Tapi di balik
posturnya yang kecil itu, ia dikenal sebagai seorang yang bernyali besar dan
tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil tindakan. Rambutnya berwarna kelabu.
Wajahnya kelimis, tanpa kumis dan janggut. Sebuah kacamata baca selalu
bertengger di hidungnya. Ia mengucapkan salam dan membungkuk di depan Imran.
“Mari,
Pak Wabup. Silakan duduk.”
“Terima
kasih, Pak.” Seperti refleks, tangan kirinya bergerak membetulkan letak
kacamatanya. Ia lalu menarik sebuah kursi di depan meja Imran dan menjejakkan
pantatnya di kursi itu.
Mereka berbasa-basi sejenak tentang
keluarga, lalu berdiskusi mengenai acara pelantikan dan malam lepas sambut yang
meriah. Sufri tadinya adalah seorang
kepala sebuah lembaga perangkat daerah. Namun karena perbedaan pandangan yang
sangat tajam dengan Bupati, pendahulu Imran, dengan sukarela ia menanggakan
jabatannya.
Ia
dilahirkan dari seorang ayah yang juga berprofesi sebagai pegawai negeri.
Ayahnya sendiri masih merupakan keturunan langsung dari seorang petinggi
kerajaan yang pernah berkuasa sebelum negeri ini merdeka. Sehingga di dalam
tubuhnya mengalir darah pamong yang kental.
“Pak
Wabup,” kata Imran, menuju ke pokok persoalan. “Sepertinya, kita tidak ada
waktu untuk ber’bulan madu’. Sesuai rencana kita sebelumnya, pak Wabup akan
segera memimpin tim penyusunan rencana pembangunan lima tahunan sesuai visi dan
misi kita.”
“Betul,
pak. RPJMD harus segera difinalkan, karena dari situlah acuan dari setiap
kegiatan yang akan kita laksanakan ke depan.”
“Oh
ya, RPJMD. Maaf, saya kurang hapal istilahnya. Tapi saya akan belajar, Pak
Wabup. Tolong saya dibantu.”
“Tentu,
pak.” Sufri tersenyum penuh pengertian, kembali ia membetulkan letak
kacamatanya.
“Saya
juga minta anda segera membentuk tim untuk melakukan perampingan terhadap lembaga
perangkat daerah dalam waktu dekat ini. Saya kira konsep yang sudah kita bahas
beberapa waktu lalu sudah cukup baik. Tinggal dituangkan dalam draft Ranperda.”
Sufri
mengangguk. Perampingan lembaga ini menjadi salah satu perpedaan pandangan
antara dirinya dengan bupati lama. Menurut Sufri, terlalu banyak pejabat akan
membuat birokrasi tidak bisa bergerak efektif. Susah melakukan pekerjaan dan
cenderung memboroskan anggaran. Tapi Bupati waktu itu beralasan, banyak
keluarganya yang harus diakomodir menduduki jabatan.
Idealismenya tentang Good Governance tak pernah digubris.
Menyadari perbedaan pandangan dan prinsip semakin tidak bisa dipertemukan,
Sufri memilih mundur dari jabatannya dan bersiap untuk menantang incumbent, berkompetisi (Seperti Imran,
ia juga tidak mau menggunakan istilah bertarung) dalam Pemilihan Kepala Daerah
dan wakil Kepala Daerah mendampingi Imran. Hanya dengan memegang tampuk
kekuasaan ia bisa mewujudkan tekadnya. Hanya jika ia dan Imran terpilih, ia bisa
mewujudkan idealismenya.
Dia
punya pendukung yang fanatik, orang-orang yang memiliki pandangan dan idealisme
seperti dirinya. Dia juga memiliki basis pendukung yang jelas di beberapa
kecamatan. Di samping itu dia dikenal sangat jujur. Rekam jejaknya selama ini
sebagai Pegawai negeri cukup mengkilap. Ia punya modal sosial yang cukup, tapi
tidak secara material. Imran tahu itu dan itulah sebabnya Imran menawarinya
untuk berpasangan sebagai satu paket pasangan calon. Imranlah yang menanggung
modal materialnya. Banyak pemerhati politik di daerah ini menilai bahwa mereka
memang merupakan kombinasi yang tepat untuk lahirnya sebuah pemerintahan yang
lebih baik.
“Sebagai
orang yang lebih paham mengenai pemerintahan, saya kira anda tahu apa yang
terbaik bagi daerah ini.” Kata Imran lagi. Sekarang Imran akan mengatur agar
mereka berdua bisa menjadi pasangan yang kompak dalam menjalankan pemerintahan
ini dalam lima tahun ke depan. Banyak kepala daerah yang tidak mampu
mempertahankan keharmonisan dengan wakilnya, dan Imran tidak mau itu terjadi.
Dari
berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan oleh Imran, bupati sebelumnya adalah
figur one man show. Saat itu Wakil
bupati tidak memiliki peran yang signifikan dalam pemerintahan sehingga
terkesan hanya sebagai pelengkap penderita. Ironisnya, pelengkap penderita itu tetap
dibiayai dan diberi fasilitas oleh negara yang bersumber dari darah dan
keringat rakyat. Seluruh keputusan mengenai jalannya pemerintahan dilakukan
sepenuhnya oleh Bupati, kadang tanpa melibatkan sang wakil. Itulah sebabnya,
dalam pemilu kepala daerah yang baru lalu, bupati memilih berpasangan dengan
orang lain, dan sang wakil tampil sebagai calon bupati dan berpasangan dengan
calon wakil yang lain lagi. Tapi perjuangan kedua pasangan itu kandas.
Lebih
dua jam berikutnya mereka berdiskusi dengan serius. Mulai dari aspek manajemen
yang rendah, budaya kerja birokrasi yang memprihatinkan, keuangan dan
akuntabilitas yang bobrok, bahkan sampai kepada infrastruktur daerah yang masih
membutuhkan pembenahan. Pada pokoknya, mereka bedua memiliki kesamaan pandangan
mengenai ke arah mana pemerintahan daerah ini akan dibawa selama lima tahun
mendatang. Kematangan Imran sebagai pengusaha, dipadukan dengan kematangan
Sufri sebagai birokrat, menjadi nilai tambah yang dapat mendukung tercapainya
kesuksesan dalam pengabdian mereka. Kesimpulannya, mereka sepakat dengan
langkah-langkah awal pembenahan mendasar dalam sistem pemerintahan daerah, di
mana Sufri bertindak sebagai lokomotifnya.
“Mengenai
perampingan lembaga, tolong sampaikan kepada semua orang, bahwa untuk saat ini,
pekerjaan kita cukup dibantu oleh staf sebanyak itu. Kita tidak perlu banyak
orang tapi tidak kompeten. Biar jumlahnya kecil, asal kualitasnya bagus. Lagi
pula kalau terlalu besar, nanti rentang kendalinya susah.”
“Iya,
Pak. Saya akan pastikan semua berjalan sesuai harapan kita.” Jawabnya, seraya
mengangkat frame kacamatanya yang selalu melorot. “Saya kira, kita juga sudah
bisa melakukan sosialisasi kepada para pegawai mengenai rencana ini, sehingga
mereka tidak kaget nantinya.”
“Benar.
Pasti akan timbul gejolak.” Imran menghembuskan nafas. “Tapi kita akan jalan
terus. Perubahan memang tak penah mudah. Apalagi sistem birokrasi kita selama
ini sudah terlanjur rusak.”
“Kita
lakukan perlahan-lahan tapi pasti, pak Bupati. Dan saya akan terus mendampingi
anda.” Kata Sufri mantap. Imran merasa tenang.
Sufri mohon
pamit dan bersiap untuk meningalkan tempat itu ketika Imran tiba-tiba teringat
satu hal. “O ya, Jangan lupa, Pak Wabup, korupsi di daerah ini juga harus mulai
ditangani.” Sufri tersenyum. Membungkuk sejenak lalu keluar dari ruangan itu
dengan janji akan segera melaksanakan perintah Imran.
No comments:
Post a Comment