Dr. Ardi menutup ceramahnya dengan sebuah
kalimat yang berbunyi: Rekayasa Genetika
adalah pesan dari kehidupan itu sendiri,
yang disambut tepuk tangan meriah
hadirin. Ia menyunggingkan sebuah senyum, lalu mengucapkan salam. Moderator
mengambil alih acara, mengucapkan terima kasih kepada Ardi lalu memberikan kesimpulan
atas ceramah yang barusan disampaikan oleh Ardi.
Judul ceramah “Rekayasa Genetika Dalam Program Bayi Tabung” itu sebelumnya sempat
menghebohkan undangan. Antusiasme dokter-dokter spesialis kebidanan dan
kandungan yang berasal dari seluruh penjuru negeri begitu tinggi, sehingga
ruangan seminar yang hanya berkapasitas lima puluh orang itu, disesaki hingga
lebih seratus orang. Banyak pihak yang menduga penemuan Ardi itu merupakan
sesuatu yang absurd, walau memang bisa dikatakan tidak mustahil. Merekayasa gen
sebuah embryo manusia yang dipadukan dengan program bayi tabung adalah sebuah
pekerjaan yang sangat complicated.
Namun penjelasan Ardi bahwa program bayi
tabung atau in vitro fertilization yang
memungkinkan terbentuknya embrio di luar rahim (laboratorium) membuat proses
rekayasa genetika tersebut menjadi jauh lebih mudah. Ardi menampilkan gambar
dan video hasil-hasil percobaan yang telah dilakukannya dalam beberapa tahun
terakhir ini pada beberapa spesies tanaman dan hewan, mulai dari induknya
sampai kepada individu baru yang terbentuk. Hasilnya, individu baru itu sama
sekali berbeda dengan induknya, dan perbedaan itu terjadi karena individu baru
itu memiliki kualitas yang jauh lebih baik.
Penjelasan itu makin meyakinkan audiens.
Kata Ardi, apa yang semula hanya angan-angan, kini bisa menjelma menjadi
kenyataan. Bahkan Ardi menjanjikan bahwa implementasi pada manusia tidak lama
lagi akan segera terwujud.
Menurut Ardi, sifat keturunan bahkan sudah
dapat diintervensi sejak sebelum konsepsi
terjadi. Sel sperma dan ovum yang membawa kromosom yang berisi kode genetik
dari masing-masing induk dapat dipilah sedemikian rupa untuk mempertahankan
sifat positif induknya dan membuang sifat-sifat negatifnya.
Dengan cara ini, Kata Ardi, individu baru
yang terlahir nantinya sudah memiliki kualitas fisik yang lebih baik. Bahkan
dalam kasus adanya penyakit keturunan, individu baru ini telah disterilkan dari
potensi penyakit generatif dari induknya karena sebelumnya gen pembawa penyakit
itu sudah lebih dahulu disingkirkan.
Saat menyebut implementasi terhadap
manusia, ruangan seminar itu mendengung karena hampir semua audiens
mengeluarkan suara. Beragam tanggapan muncul. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Meskipun seluruh hadirin adalah orang-orang yang berprofesi sebagai dokter dan
terbiasa dalam cara berpikir ilmiah, namun tidak semua setuju jika percobaan
dilakukan terhadap manusia. Menurut orang-orang itu, implementasi terhadap
manusia merupakan campur tangan terhadap sifat Maha Pencipta Tuhan. Jangan
mengambil alih peran Tuhan dalam penciptaan, katanya.
Ardi menanggapi pendapat itu dengan mengatakan
bahwa akal dan ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus dimanfaatkan oleh manusia
bagi kemaslahatannya sendiri. Di dunia ini ada hukum-hukum alam yang ditetapkan
sendiri oleh Tuhan untuk dipelajari dan dimanfaatkan oleh manusia. Hukum agama
memberi manusia batasan baik dan benar sesuai dengan etika moral manusia.
Ardi mencontohkan, menanam bibit pohon di
atas tanah adalah mengikuti hukum alam yang digariskan oleh Tuhan. Bibit itu,
jika mendapatkan suplai air dan zat hara dari tanah yang memadai, akan tumbuh
sebagai sebuah tanaman yang sehat. Itu hukum alam. Tetapi jika anda menanam
pohon di atas tanah orang lain, maka itu melanggar hukum agama, walau tetap
menuruti hukum alam. Analogi sederhana itu dijelaskan Ardi bahwa rekayasa
genetika, sepanjang tetap menggunakan sel induk dari sperma dan ovum induk yang
telah menikah secara sah, tidak akan melanggar norma agama. Yang melanggar
adalah ketika sperma dan ovum yang dipertemukan dalam proses konsepsi, tidak
berasal dari pasangan yang sudah menikah.
Hadirin kembali ribut, namun sebagian
besar karena semakin tertarik. Tapi karena waktu sudah habis, seminar itu
diakhiri oleh moderator. Untuk mengikuti perkembangan mengenai issu itu,
audiens dapat mengikutinya dalam Jurnal Ilmu Kesehatan Nasional yang antara
lain menayangkan tulisan Dr. Ardi setiap bulan.
Ardi menghela nafas panjang. Penemuan baru memang selalu begitu.
Katanya dalam hati. Sulit. Tapi tekadnya sudah bulat, percobaan terhadap
manusia adalah obsesinya. Dan suatu saat nanti, itu harus terwujud.
Ardi sejatinya adalah seorang dokter ahli
kandungan. Spesialis Obstetri dan Ginekologi. Tetapi ia memperluas pengetahuan dan
keahliannya dengan merambah domain bioteknologi, khususnya dalam rekayasa
genetika, DNA Rekombinan, dan kultur jaringan. Kombinasi dari semua cabang ilmu
pengetahuan itu, membentuk sosok Ardi menjadi dokter ahli kandungan plus yang
mumpuni.
Ardi meninggalkan ruang seminar dan
berjalan menuju sebuah mobil yang teparkir di depan lobby hotel tempat seminar
dilaksanakan. Ia menghilang di balik pintu mobil. Sesaat kemudian, mobil itupun
membaur di keramaian jalan.
“Balik ke Kantor, Jar.” Katanya pada sang
sopir, seorang pria muda bertubuh kurus yang bernama Hajar.
Telpon genggamnya berdering. Ardi
memasang kacamata bacanya dan mengamati layar. Edo anaknya di Sulawesi yang
menelpon.
“Ya, Edo?”
“Halo, Dad. Gimana seminarnya?” Ardi
tertawa, dalam hati merasa berterima kasih atas perhatian anaknya. Sejak
kematian Minarti, istrinya, delapan belas tahun lalu, Edo menjadi satu-satunya
orang yang dekat dengannya. Perhatian yang mereka berikan terhadap satu sama
lain menjadi perekat sempurna kedekatan mereka. Hal itu pulalah yang membuatnya
merasa agak keberatan ketika Edo mendapatkan tugas di pulau Sulawesi. Ia
khawatir, hubungannya dengan sang anak akan berubah. Tapi Edo meyakinkannya
bahwa teknologi akan membuat jarak di antara mereka menjadi tidak berarti.
Ponsel, jejaring sosial, VOIP dan sebagainya akan membuat mereka tetap dekat.
“Dad, kok diam?” Lamunan Ardi buyar. “got a problem?”
“No,
not really. Biasa aja.” Jawabnya sungguh-sungguh. Edo tidak perlu tahu
masalah yang dia hadapi. “Gimana Bupati barunya?”
“Belum tau, nih Dad. Kan baru kemarin
pelantikannya. Lihat orangnya sih OK. Apalagi punya anak gadis cakep.” Ujar Edo,
sambil berdehem di seberang sana. “Anak tunggal lagi.”
Ardi “Hati-hati. Jangan sampai kepincut.
Kamu ‘kan tidak mau tugas di situ selamanya.” Ardi mengingatkan anaknya, “suatu
hari nanti, kamu harus kembali ke Bandung agar kita dapat berkumpul kembali.”
“Tentu, Dad. Take it easy.” Edo tertawa.
“It’s just for fun.”
“Just
for fun sih boleh. Tapi jangan nyakitin orang.”
“Ok, dad.”
“Janji?”
“You
have my word, dad.”
Mereka masih bertukar cerita selama
beberapa menit. Sebelum akhirnya Edo memutus hubungan telepon. Katanya ada
tugas yang harus dia selesaikan. Maklum, ini masih masa-masa orientasi bagi
pejabat baru. Ia berjanji akan mengontak ayahnya nanti malam lewat skype.
Ardi setuju dan menutup telponnya.
Anaknya sekarang sudah dewasa dan kini
bertugas di provinsi lain. Tidak terasa sudah hampir sembilan belas tahun
mereka lewati berdua tanpa ditemani seorang ibu. Dengan bantuan seorang
tantenya yang berperan sebagai babysitter,
Ardi menjadi ayah sekaligus ibu bagi Edo.
Mereka amant jarang berpisah dalam waktu yang lama, bahkan jika Ardi
berkutat seharian di Laboratorium, Edo akan selalu berada dekatnya. Anehnya,
meski sudah berkenalan dengan peralatan laboratorium sejak masih kanak-kanak,
Edo tidak berminat sama sekali untuk mengikuti jejak Ardi menjadi seorang
dokter atau ilmuwan. Mungkin Edo mewarisi
gen Minarti, pikirnya. Lebih tertarik pada ilmu-ilmu sosial.
Usia Edo empat tahun ketika Minarti
meninggal. Kanker Cervix stadium empat yang dideritanya membuat Minarti tidak
bisa bertahan. Ardi patah hati. Seluruh cintanya pergi bersama kematian
istrinya.
Minarti adalah cinta pertamanya sekaligus
cinta terakhirnya. Hingga usia dua puluh tujuh tahun, Ardi lebih memilih
menekuni ilmunya ketimbang berpikir untuk menjalin hubungan dengan gadis
manapun. Obsesinya pada ilmu genetika membuatnya tidak sempat berpikir untuk
hal-hal lain. Namun pesona Minarti meruntuhkan kebekuan hatinya. Dia mahasiswa spesialis
obstentri dan ginekologi di Fakultas Kedokteran. Sementara Minarti adalah mahasiswi
tingkat akhir di Fakultas Sastra.
Kecantikan Minarti sudah lama menjadi
buah bibir di Kampus, bukan hanya di kalangan anak-anak fakultas sastra, atau
di jurusan Sastra Inggeris. Kecantikannya telah menyeberangi sekat-sekat
jurusan dan fakultas, namun sejauh ini, tidak seorang priapun yang berhasil memenangkan
hatinya.
Pertemuan mereka berlangsung suatu sore
di sebuah kantin universitas. Ardi yang baru saja melakukan praktek di
laboratorium bermaksud pulang ke tempat kostnya. Tapi karena merasa terlalu
lapar, ia memutuskan untuk makan di salah satu kantin yang ada di sekitar
tempat parkir.
Minarti juga sedang berada di situ,
bersama anggota gengnya yang terdiri atas lima orang mahasiswi dari Fakultas
Sastra jurusan Bahasa Inggris. Keenam gadis itu berbincang dengan suara yang riuh,
sehingga suasana kantin itu ramai bagaikan pasar malam. Awalnya Ardi hendak mengurungkan
niatnya memasuki tempat itu. Namun karena rasa lapar yang melilit di perut sudah
tidak tertahankan, dan takut maagnya kambuh, akihirnya ia nekad menerobos
kebisingan geng itu.
Sambil makan dia mencoba tidak
memedulikan gadis-gadis itu. namun sikap dan perilaku mereka memaksa Ardi
sesekali memandang ke arah mereka. Kadang dilihatnya ada satu dua orang yang meliriknya
sambil tertawa cekikikan. Itu menjengkelkan, tapi Ardi berusaha bertahan. Lama
kelamaan bendungannya jebol. Rasa jengkel karena tidak bisa menikmati
makanannya menyembur dan menutupi akal sehatnya.
Ardi berdiri, mendekati meja itu lalu
berkata lantang, “Would you please to
make this place more comfortable?” tanpa menunggu jawaban, ia berbalik ke tempat duduknya lalu
melanjutkan makannya, seolah tidak terjadi apa-apa.
Gadis-gadis yang tadi ribut itu sempat
bengong dan terdiam beberapa saat. Tapi hanya sejenak, berikutnya, suara tawa mereka
justru terdengar makin keras dan makin bernada ejekan. Minarti bahkan berdiri
lalu berjalan ke depan meja Ardi. Sambil berkacak pinggang, ia memandang Ardi
dengan sorot mata mengancam. Ardi balas memandang. Suasana di dalam kantin itu mendadak
hening. Beberapa orang mahasiswi yang kebetulan ada di tempat itu sama-sama
mengarahkan pandangan ke dua orang yang sedang bertempur lewat pandangan mata
mereka itu.
Keduanya saling menatap, sedetik,
semenit, lima menit. Sepuluh menit. Tidak ada yang mengalah. Tidak ada yang mau
mundur. Anehnya, begitu banyak caci maki yang sudah disiapkan oleh Minarti
untuk Ardi justru tertahan di tenggorokan. Di lain pihak, banyak pula kata-kata
mutiara yang sudah siap disemburkan Ardi namun lidahnya tak mampu bergerak. Keduanya
bungkam. Keduanya justru terpesona. Perlahan-lahan ketegangan yang terentang di
antara mereka mengendur. Lalu entah siapa yang memulai, keduanya tersenyum. Tiba-tiba
saja mereka merasa bodoh dengan ketegangan yang barusan mereka bangun.
Sejak itu, hubungan mereka berdua berlanjut.
Ardi yang dewasa dan penuh pengertian, menjadi pasangan yang serasi bagi
Minarti yang cerdas, manja dan urakan. Mareka makin sering ketemu. Makin sering
jalan bareng. Lalu akhirnya, merekapun resmi menjalin hubungan khusus.
Konon, Minarti jatuh cinta pada Ardi
karena sorot mata Ardi terasa seperti belati yang tajam. Pembawaannya yang tenang
namun tegas memancarkan kharisma yang menggetarkan. Sebaliknya, Ardi terpikat
pada Minarti karena Minarti memang sangat memikat.
Mereka menikah beberapa minggu setelah
keduanya diwisuda, dan peristiwa pertemuan itu seringkali menjadi lelucon yang menghiasi
hari-hari bahagia mereka. Minarti kadang mengolok Ardi sebagai laki-laki yang
gila urusan dan tidak sabaran. Sebaliknya Ardi menyebut Minarti sebagai anak geng
yang suka bikin kerusuhan.
Mobil yang dikemudikan Hajar berbelok memasuki pekarangan sebuah Rumah Sakit. Mengembalikan Ardi dari masa lalu. Ardi turun dari mobil dan berjalan memasuki kantornya. Bersiap untuk aktifitas selanjutnya.
Mobil yang dikemudikan Hajar berbelok memasuki pekarangan sebuah Rumah Sakit. Mengembalikan Ardi dari masa lalu. Ardi turun dari mobil dan berjalan memasuki kantornya. Bersiap untuk aktifitas selanjutnya.
1.688 Words
No comments:
Post a Comment