Sunday 1 January 2012

Chapter Two




Dr. Ardi menutup ceramahnya dengan sebuah kalimat yang berbunyi: Rekayasa Genetika adalah pesan dari kehidupan itu sendiri,
yang disambut tepuk tangan meriah hadirin. Ia menyunggingkan sebuah senyum, lalu mengucapkan salam. Moderator mengambil alih acara, mengucapkan terima kasih kepada Ardi lalu memberikan kesimpulan atas ceramah yang barusan disampaikan oleh Ardi.
Judul ceramah “Rekayasa Genetika Dalam Program Bayi Tabung” itu sebelumnya sempat menghebohkan undangan. Antusiasme dokter-dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang berasal dari seluruh penjuru negeri begitu tinggi, sehingga ruangan seminar yang hanya berkapasitas lima puluh orang itu, disesaki hingga lebih seratus orang. Banyak pihak yang menduga penemuan Ardi itu merupakan sesuatu yang absurd, walau memang bisa dikatakan tidak mustahil. Merekayasa gen sebuah embryo manusia yang dipadukan dengan program bayi tabung adalah sebuah pekerjaan yang sangat complicated.  
Namun penjelasan Ardi bahwa program bayi tabung atau in vitro fertilization yang memungkinkan terbentuknya embrio di luar rahim (laboratorium) membuat proses rekayasa genetika tersebut menjadi jauh lebih mudah. Ardi menampilkan gambar dan video hasil-hasil percobaan yang telah dilakukannya dalam beberapa tahun terakhir ini pada beberapa spesies tanaman dan hewan, mulai dari induknya sampai kepada individu baru yang terbentuk. Hasilnya, individu baru itu sama sekali berbeda dengan induknya, dan perbedaan itu terjadi karena individu baru itu memiliki kualitas yang jauh lebih baik.
Penjelasan itu makin meyakinkan audiens. Kata Ardi, apa yang semula hanya angan-angan, kini bisa menjelma menjadi kenyataan. Bahkan Ardi menjanjikan bahwa implementasi pada manusia tidak lama lagi akan segera terwujud.
Menurut Ardi, sifat keturunan bahkan sudah dapat diintervensi sejak sebelum konsepsi terjadi. Sel sperma dan ovum yang membawa kromosom yang berisi kode genetik dari masing-masing induk dapat dipilah sedemikian rupa untuk mempertahankan sifat positif induknya dan membuang sifat-sifat negatifnya.
Dengan cara ini, Kata Ardi, individu baru yang terlahir nantinya sudah memiliki kualitas fisik yang lebih baik. Bahkan dalam kasus adanya penyakit keturunan, individu baru ini telah disterilkan dari potensi penyakit generatif dari induknya karena sebelumnya gen pembawa penyakit itu sudah lebih dahulu disingkirkan.
Saat menyebut implementasi terhadap manusia, ruangan seminar itu mendengung karena hampir semua audiens mengeluarkan suara. Beragam tanggapan muncul. Ada yang pro dan ada yang kontra. Meskipun seluruh hadirin adalah orang-orang yang berprofesi sebagai dokter dan terbiasa dalam cara berpikir ilmiah, namun tidak semua setuju jika percobaan dilakukan terhadap manusia. Menurut orang-orang itu, implementasi terhadap manusia merupakan campur tangan terhadap sifat Maha Pencipta Tuhan. Jangan mengambil alih peran Tuhan dalam penciptaan, katanya.
Ardi menanggapi pendapat itu dengan mengatakan bahwa akal dan ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus dimanfaatkan oleh manusia bagi kemaslahatannya sendiri. Di dunia ini ada hukum-hukum alam yang ditetapkan sendiri oleh Tuhan untuk dipelajari dan dimanfaatkan oleh manusia. Hukum agama memberi manusia batasan baik dan benar sesuai dengan etika moral manusia.
Ardi mencontohkan, menanam bibit pohon di atas tanah adalah mengikuti hukum alam yang digariskan oleh Tuhan. Bibit itu, jika mendapatkan suplai air dan zat hara dari tanah yang memadai, akan tumbuh sebagai sebuah tanaman yang sehat. Itu hukum alam. Tetapi jika anda menanam pohon di atas tanah orang lain, maka itu melanggar hukum agama, walau tetap menuruti hukum alam. Analogi sederhana itu dijelaskan Ardi bahwa rekayasa genetika, sepanjang tetap menggunakan sel induk dari sperma dan ovum induk yang telah menikah secara sah, tidak akan melanggar norma agama. Yang melanggar adalah ketika sperma dan ovum yang dipertemukan dalam proses konsepsi, tidak berasal dari pasangan yang sudah menikah.
Hadirin kembali ribut, namun sebagian besar karena semakin tertarik. Tapi karena waktu sudah habis, seminar itu diakhiri oleh moderator. Untuk mengikuti perkembangan mengenai issu itu, audiens dapat mengikutinya dalam Jurnal Ilmu Kesehatan Nasional yang antara lain menayangkan tulisan Dr. Ardi setiap bulan.
Ardi menghela nafas panjang. Penemuan baru memang selalu begitu. Katanya dalam hati. Sulit. Tapi tekadnya sudah bulat, percobaan terhadap manusia adalah obsesinya. Dan suatu saat nanti, itu harus terwujud.
Ardi sejatinya adalah seorang dokter ahli kandungan. Spesialis Obstetri dan Ginekologi. Tetapi ia memperluas pengetahuan dan keahliannya dengan merambah domain bioteknologi, khususnya dalam rekayasa genetika, DNA Rekombinan, dan kultur jaringan. Kombinasi dari semua cabang ilmu pengetahuan itu, membentuk sosok Ardi menjadi dokter ahli kandungan plus yang mumpuni.
Ardi meninggalkan ruang seminar dan berjalan menuju sebuah mobil yang teparkir di depan lobby hotel tempat seminar dilaksanakan. Ia menghilang di balik pintu mobil. Sesaat kemudian, mobil itupun membaur di keramaian jalan.
“Balik ke Kantor, Jar.” Katanya pada sang sopir, seorang pria muda bertubuh kurus yang bernama Hajar.
Telpon genggamnya berdering. Ardi memasang kacamata bacanya dan mengamati layar. Edo anaknya di Sulawesi yang menelpon.
“Ya, Edo?”
“Halo, Dad. Gimana seminarnya?” Ardi tertawa, dalam hati merasa berterima kasih atas perhatian anaknya. Sejak kematian Minarti, istrinya, delapan belas tahun lalu, Edo menjadi satu-satunya orang yang dekat dengannya. Perhatian yang mereka berikan terhadap satu sama lain menjadi perekat sempurna kedekatan mereka. Hal itu pulalah yang membuatnya merasa agak keberatan ketika Edo mendapatkan tugas di pulau Sulawesi. Ia khawatir, hubungannya dengan sang anak akan berubah. Tapi Edo meyakinkannya bahwa teknologi akan membuat jarak di antara mereka menjadi tidak berarti. Ponsel, jejaring sosial, VOIP dan sebagainya akan membuat mereka tetap dekat.
“Dad, kok diam?” Lamunan Ardi buyar. “got a problem?”
No, not really. Biasa aja.” Jawabnya sungguh-sungguh. Edo tidak perlu tahu masalah yang dia hadapi. “Gimana Bupati barunya?”
“Belum tau, nih Dad. Kan baru kemarin pelantikannya. Lihat orangnya sih OK. Apalagi punya anak gadis cakep.” Ujar Edo, sambil berdehem di seberang sana. “Anak tunggal lagi.”
Ardi “Hati-hati. Jangan sampai kepincut. Kamu ‘kan tidak mau tugas di situ selamanya.” Ardi mengingatkan anaknya, “suatu hari nanti, kamu harus kembali ke Bandung agar kita dapat berkumpul kembali.”
“Tentu, Dad. Take it easy.” Edo tertawa. “It’s just for fun.”
Just for fun sih boleh. Tapi jangan nyakitin orang.”
“Ok, dad.”
“Janji?”
You have my word, dad.”
Mereka masih bertukar cerita selama beberapa menit. Sebelum akhirnya Edo memutus hubungan telepon. Katanya ada tugas yang harus dia selesaikan. Maklum, ini masih masa-masa orientasi bagi pejabat baru. Ia berjanji akan mengontak ayahnya nanti malam lewat skype.
Ardi setuju dan menutup telponnya.
Anaknya sekarang sudah dewasa dan kini bertugas di provinsi lain. Tidak terasa sudah hampir sembilan belas tahun mereka lewati berdua tanpa ditemani seorang ibu. Dengan bantuan seorang tantenya yang berperan sebagai babysitter, Ardi menjadi ayah sekaligus ibu bagi Edo.  Mereka amant jarang berpisah dalam waktu yang lama, bahkan jika Ardi berkutat seharian di Laboratorium, Edo akan selalu berada dekatnya. Anehnya, meski sudah berkenalan dengan peralatan laboratorium sejak masih kanak-kanak, Edo tidak berminat sama sekali untuk mengikuti jejak Ardi menjadi seorang dokter atau ilmuwan. Mungkin Edo mewarisi gen Minarti, pikirnya. Lebih tertarik pada ilmu-ilmu sosial.
Usia Edo empat tahun ketika Minarti meninggal. Kanker Cervix stadium empat yang dideritanya membuat Minarti tidak bisa bertahan. Ardi patah hati. Seluruh cintanya pergi bersama kematian istrinya.
Minarti adalah cinta pertamanya sekaligus cinta terakhirnya. Hingga usia dua puluh tujuh tahun, Ardi lebih memilih menekuni ilmunya ketimbang berpikir untuk menjalin hubungan dengan gadis manapun. Obsesinya pada ilmu genetika membuatnya tidak sempat berpikir untuk hal-hal lain. Namun pesona Minarti meruntuhkan kebekuan hatinya. Dia mahasiswa spesialis obstentri dan ginekologi di Fakultas Kedokteran. Sementara Minarti adalah mahasiswi tingkat akhir di Fakultas Sastra.
Kecantikan Minarti sudah lama menjadi buah bibir di Kampus, bukan hanya di kalangan anak-anak fakultas sastra, atau di jurusan Sastra Inggeris. Kecantikannya telah menyeberangi sekat-sekat jurusan dan fakultas, namun sejauh ini, tidak seorang priapun yang berhasil memenangkan hatinya.
Pertemuan mereka berlangsung suatu sore di sebuah kantin universitas. Ardi yang baru saja melakukan praktek di laboratorium bermaksud pulang ke tempat kostnya. Tapi karena merasa terlalu lapar, ia memutuskan untuk makan di salah satu kantin yang ada di sekitar tempat parkir.
Minarti juga sedang berada di situ, bersama anggota gengnya yang terdiri atas lima orang mahasiswi dari Fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris. Keenam gadis itu berbincang dengan suara yang riuh, sehingga suasana kantin itu ramai bagaikan pasar malam. Awalnya Ardi hendak mengurungkan niatnya memasuki tempat itu. Namun karena rasa lapar yang melilit di perut sudah tidak tertahankan, dan takut maagnya kambuh, akihirnya ia nekad menerobos kebisingan geng itu.
Sambil makan dia mencoba tidak memedulikan gadis-gadis itu. namun sikap dan perilaku mereka memaksa Ardi sesekali memandang ke arah mereka. Kadang dilihatnya ada satu dua orang yang meliriknya sambil tertawa cekikikan. Itu menjengkelkan, tapi Ardi berusaha bertahan. Lama kelamaan bendungannya jebol. Rasa jengkel karena tidak bisa menikmati makanannya menyembur dan menutupi akal sehatnya.
Ardi berdiri, mendekati meja itu lalu berkata lantang, “Would you please to make this place more comfortable?”  tanpa menunggu jawaban, ia berbalik ke tempat duduknya lalu melanjutkan makannya, seolah tidak terjadi apa-apa.
Gadis-gadis yang tadi ribut itu sempat bengong dan terdiam beberapa saat. Tapi hanya sejenak, berikutnya, suara tawa mereka justru terdengar makin keras dan makin bernada ejekan. Minarti bahkan berdiri lalu berjalan ke depan meja Ardi. Sambil berkacak pinggang, ia memandang Ardi dengan sorot mata mengancam. Ardi balas memandang. Suasana di dalam kantin itu mendadak hening. Beberapa orang mahasiswi yang kebetulan ada di tempat itu sama-sama mengarahkan pandangan ke dua orang yang sedang bertempur lewat pandangan mata mereka itu.
Keduanya saling menatap, sedetik, semenit, lima menit. Sepuluh menit. Tidak ada yang mengalah. Tidak ada yang mau mundur. Anehnya, begitu banyak caci maki yang sudah disiapkan oleh Minarti untuk Ardi justru tertahan di tenggorokan. Di lain pihak, banyak pula kata-kata mutiara yang sudah siap disemburkan Ardi namun lidahnya tak mampu bergerak. Keduanya bungkam. Keduanya justru terpesona. Perlahan-lahan ketegangan yang terentang di antara mereka mengendur. Lalu entah siapa yang memulai, keduanya tersenyum. Tiba-tiba saja mereka merasa bodoh dengan ketegangan yang barusan mereka bangun.
Sejak itu, hubungan mereka berdua berlanjut. Ardi yang dewasa dan penuh pengertian, menjadi pasangan yang serasi bagi Minarti yang cerdas, manja dan urakan. Mareka makin sering ketemu. Makin sering jalan bareng. Lalu akhirnya, merekapun resmi menjalin hubungan khusus.
Konon, Minarti jatuh cinta pada Ardi karena sorot mata Ardi terasa seperti belati yang tajam. Pembawaannya yang tenang namun tegas memancarkan kharisma yang menggetarkan. Sebaliknya, Ardi terpikat pada Minarti karena Minarti memang sangat memikat.
Mereka menikah beberapa minggu setelah keduanya diwisuda, dan peristiwa pertemuan itu seringkali menjadi lelucon yang menghiasi hari-hari bahagia mereka. Minarti kadang mengolok Ardi sebagai laki-laki yang gila urusan dan tidak sabaran. Sebaliknya Ardi menyebut Minarti sebagai anak geng yang suka bikin kerusuhan.


Mobil yang dikemudikan Hajar berbelok memasuki pekarangan sebuah Rumah Sakit. Mengembalikan Ardi dari masa lalu. Ardi turun dari mobil dan berjalan memasuki kantornya. Bersiap untuk aktifitas selanjutnya.


1.688 Words

No comments:

Post a Comment