Monday 30 January 2012

Chapter Thirty Seven


Naimah terus menunggui suaminya yang masih dirawat di dalam ruang perawatan VVIP rumah sakit umum pusat. Beberapa hari terakhir ini, proses pemulihannya berjalan dengan baik. Meskipun belum bisa diajak berkomunikasi dalam waktu yang cukup lama dan masih terlalu lemah, tetapi seluruh anggota badan dan organ vitalnya sudah berfungsi kembali dengan normal. Sembilan jahitan yang telah menyambung kembali kulit di ulu hatinya yang robek oleh senjata tajam. Luka itu ditutup perban. Wajah dan beberapa bagian tubuh Sufri yang semula lebam dan memar sudah berangsur pulih kembali.


Dokter bilang, luka itu bisa saja membunuh Sufri jika mengenai organ vital. Gegar otak yang dideritanya akibat pukulan juga sudah berangsur membaik, walau sekarang Sufri masih harus berbaring tanpa bantal. Naimah bersyukur, hal itu tidak terjadi dan nyawa suaminya masih bisa diselamatkan.
Menjelang tengah malam, Sufri mengalami kejang-kejang yang membuat Naimah hampir pingsan. Untung dokter jaga cepat datang dan memberikan pertolongan. Menurut dokter yang memeriksanya, gejala itu normal karena masih adanya reaksi obat-obatan dalam tubuh Sufri. Dan jantungya belum bisa beradaptasi dengan baik. Tapi seiring dengan semakin kuatnya daya tahan tubuh Sufri, gejala itu akan hilang dengan sendirinya.
Di dalam ruang perawatan itu, Naimah ditemani seorang adiknya. Anak-anak terpaksa dia titipkan pada ibunya agar bisa tetap bersekolah di daerah. Di luar ruangan itu, dua orang polisi berpakaian lengkap dengan senjata berupa revolver bersiaga sepanjang hari. Naimah tahu mereka bergilir setiap empat jam sehingga tidak ada waktu sedikitpun yang terlewat tanpa pengawasan mereka.
Setiap pengunjung yang datang membezuk dipindai dengan metal detektor. Kadang Naimah merasa ngeri sendiri dengan perlakuan para polisi itu terhadap tamu-tamu yang akan memasuki ruangan itu. Tapi setelah menerima penjelasan mereka, bahwa ini demi keselamatan Pak Wakil Bupati, akhirnya Naimah bisa menerima.
Peristiwa mengerikan yang menimpa suaminya menyisakan trauma mendalam. Bukan hanya karena akibat yang ditimbulkan bagi Sufri dan keluarga besarnya, khususnya bagi anak-anak, tetapi lebih karena resiko-resiko yang berkaitan dengan masa depan mereka di daerah ini. Jika selentingan kabar mengenai adanya motif politik di balik peristiwa itu benar adanya, maka sisa masa jabatan mereka sebagai wakil kepala daerah tetap merupakan ancaman serius.
Bagaimana jika memang ada orang yang tidak menghendaki mereka berada di daerah, memimpin daerah dengan cara yang mereka jalankan selama ini? Naimah mencoba menguatkan hati. ini adalah resiko dari sebuah perjuangan. Mudah-mudahan tidak ada motif seperti itu. semoga kejadian ini murni kriminal.
Sufri, jika berhasil selamat dari peristiwa ini mungkin akan tetap tampil garang, sesuai karakter atau pembawaannya selama ini. Tapi Naimah akan selalu mengingatkan suaminya untuk berusaha lebih santun, agar orang-orang tidak memendam sakit hati kepadanya. Naimah mengagumi suaminya sebagai orang teguh pada pendirian. Menjunjung tinggi kejujuran dan memiliki wawasan serta pola pikir yang positif dalam menjalankan pemerintahan.
Kadangkala memang dalam diskusi malam menjelang tidur, suaminya mengeluh, betapa sekarang birokrasi sudah kehilangan jati diri dan identitas. Profesionalisme birokrasi yang menjadi dibutuhkan oleh para birokrat sebagai aktor utama dalam pemerintahan dan pembangunan sudah jarang ditemukan karena sistem yang terbangun membunuh profesionalisme itu secara sistematis. Padahal, jika birokrasi profesional kemajuan bangsa dan negara ini bisa dicapai dengan lebih cepat.
Naimah sungguh-sungguh memuja suaminya. Meskipun hidup di tengah kebobrokan mental aparat pemerintahan, tetap mampu bertahan dengan idealisme dan cita-citanya yang luhur. Kalau tidak sekarang, kapan kita bisa menjadi lebih baik? Begitu katanya berulang-ulang. Tapi kalau hanya sekedar selalu menjadi bawahan, kapan perbaikan bisa dilakukan? Kita harus memegang peranan penting untuk bisa berperan. Mustahil mengubah pola pikir seorang pimpinan dengan usulan dan saran kita. Seorang pemimpin selalu punya ego. Merasa pintar dan merasa paing tahu segala sesuatunya. Makanya jangan pilih pemimpin yang bodoh. Semua aparatnya akan ikut jadi bodoh.
Naimah memandangi tubuh suaminya yang terbaring kuyu. Jiwa dan semangat besar dalam dirinya tetap berkobar di balik pandangan matanya. Perlahan Naimah merasakan kehangatan. Optimisme dan harapan besar yang terpancar dari sorot mata suaminya membakar jiwanya. Didekatinya pria kecil itu, yang menyambutnya dengan sebuah senyum yang dipaksakan karena deraan rasa sakit. Keduanya memadukan semangat dan idealisme dalam sebuah genggaman tangan yang panjang.

No comments:

Post a Comment