Tuesday 3 January 2012

Chapter Four


Sinar matahari sore tidak terlalu menyengat. Di Lapangan Dua, Sangkala menggempur pertahanan Edo dengan pukulan groundstrokenya yang keras mengarah ke sisi kiri dan kanan pertahanan Edo. Sebuah backhand menyilang yang menusuk di sisi jauh sebelah kiri membuat Edo tersudut, pengembaliannya melambung tinggi beberapa meter di depan net. Dengan bernafsu, Sangkala berlari menyambut bola itu lalu melakukan jump smash yang mengarah ke sudut kanan belakang lapangan. Sayang, bola itu mendarat beberapa senti di luar garis lapangan. Edo mengepalkan tinju seraya berteriak keras, Yess!!!. Point terakhir itu miliknya, dan untuk kesekian kalinya, Sangkala harus mengakui keunggulan Edo.

Lapangan tennis itu berada di dalam kompleks kantor Bupati. Terletak di sudut kiri belakang gedung perkantoran induk. Dikelilingi jaring kawat dengan ketinggian mencapai lima meter. Berdampingan dengan lapangan volley dan lapangan sepak takraw. Terdiri atas dua lapangan yang dibangun berdampingan. Yang kiri disebut Lapangan Satu dan lainnya Lapangan Dua. Di antara kedua lapangan itu terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai kamar ganti dan toilet di ujung yang satu dan kantin di ujung lainnya. Sedangkan pada masing-masing sisi luar lapangan,  terdapat sejumlah bangku panjang dari kayu yang dinaungi dengan atap seng.
Edo dan Sangkala berjalan menuju ke tempat duduk yang ada di pinggir lapangan. Masih dengan raut muka kecewa, Sangkala meraih botol air mineral dari dalam tas raketnya dan meneguk isinya. Edo sendiri mengeringkan keringatnya dengan handuk kecil berwarna biru sambil tersenyum melihat Sangkala yang cemberut.
“Pukulanmu  sih sudah bagus, Ngka. Penempatan dan arahnya juga sudah bagus. Tinggal pengendalian diri dan emosi yang harus ditingkatkan.” Edo berkomentar.  Sangkala meneguk minumannya lagi. Meski masih memamerkan wajah kesal, matanya berbinar juga menerima pujian Edo.
“Kalau dapat bola bagus, jangan terburu-buru untuk cepat dimatikan.” Edo menerangkan, “tempatkan diri pada posisi yang tepat, perhatikan lentingan bola, lalu ayunkan raket dengan kekuatan penuh.”
“Aku tahu, Doy. Tadi itu aku cuma sedang sial.”
Edo tertawa, “sial terus, ya?”  Katanya menyindir.
“Lain kali, Doy. Lain kali.” Katanya. “Aku pasti akan mengalahkanmu, suatu hari nanti.”
Sangkala sebenarnya adalah pemain tennis yang cukup baik. Untuk ukuran daerah ini, ia termasuk salah satu yang terbaik. Sudah beberapa kali ia diutus mewakili daerah untuk bertanding di tingkat provinsi atau di kejuaraan-kejuaraan regional. Walau tidak terlalu sering mendapat juara, namun semua pemain tennis di daerah ini mengakuinya sebagai pemain yang baik. Tapi berhadapan dengan Edo yang sudah bermain Tennis sejak kecil dan dilatih secara intensif, Sangkala masih lebih banyak menderita kekalahan. Level permainan Edo lebih tinggi darinya. Jadi ia merasa masih harus berlajar banyak.
Bagi Edo sendiri, bisa main tennis secara teratur adalah anugerah tersendiri yang harus dia syukuri. Di atas semua tetek bengek peringkat dan level permainan itu, Edo merasa sangat beruntung bisa bersahabat dengan Sangkala. Hobbynya main tennis ketika masih tinggal di kompleks ayahnya di Bandung bisa tetap tersalurkan di daerah ini. Bukan suatu kebetulan, jika ternyata ia mendapat sahabat yang punya hobby sama.
Sangkala adalah orang pertama yang dikenal Edo di daerah ini. Saat pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini, ia hanya dengan dibekali dengan pengetahuan terbatas dari beberapa orang rekannya. Selebihnya, ia tidak tahu apa-apa dan tidak kenal siapapun. Yang dia tahu pasti adalah Bupati pasti akan menerimanya karena ia ditempatkan di daerah ini dengan keputusan Menteri Dalam Negeri. Ia tinggal menghadap pada Bupati dan melaporkan diri siap untuk bertugas.
Ardi, ayahnya, sempat merasa cemas. Nama kabupaten itu memang ada di atlas negeri ini, tapi hanya ditunjukkan sebagai sebuah kota kecil. Namanya jarang terbaca di media cetak tingkat nasional, apalagi ditampilkan di media elektronik. Menyebut namanya saja terasa menyebut negeri anta berantah. Tapi Edo meyakinkan ayahnya. Sekarang saya seorang pamong, ayah. I’ll keep myself save. Janjinya pada sang ayah, dan itu cukup menenangkan hati Ardi, walau tidak cukup meyakinkannya.
Saat pesawatnya mendarat di bandara yang terletak di pinggiran ibukota provinsi, Edo masih harus melanjutkan perjalanan lewat darat dengan menggunakan bis selama lebih kurang enam jam. Memang tidak banyak bis PATAS AC seperti sejumlah angkutan AKAP di Pulau Jawa. Tapi bis di sini jarang mengambil penumpang melebihi kapasistas tempat duduk sehingga ia tetap merasa cukup nyaman. Hanya saja, ia sering merasa dongkol. Hampir di tiap kilometer bis itu berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Kalau pakai mobil pribadi atau sepeda motor, pasti waktu tempuhnya tidak akan selama ini. Pikir Edo saat itu.
Bis yang ditumpanginya memasuki daerah ini ketika matahari sudah mulai condong ke sebelah barat. Jumlah penumpang sudah jauh berkurang. Kebanyakan sudah turun di beberapa tempat sebelumnya. Keinginan bertanya ditekannya sekuat mungkin karena ia tidak mau terlihat sebagai orang baru. Ia mulai menyiapkan mental, menajamkan mata dan pendengaran, menunggu waktu yang tepat untuk turun.
Saat melihat sebuah tugu yang bertuliskan “selamat datang” di ibukota kabupaten, iapun mengemasi barang bawaannya lalu berdiri dari tempat duduknya. Begitu melihat alun-alun kota dan masjid besar di sampingnya, hatinya berbisik: Turun. Iapun menyetop bis itu.
Selamat datang di medan perang. Katanya dalam hati. Ia berdiri di pinggir jalan selama beberapa saat, membiarkan bis itu berlalu dan meninggalkan asap hitam dari knalpotnya, sambil mencoba menenangkan diri. Pandangannya kemudian membentur seseorang yang berpakaian seragam pegawai negeri sedang memarkir sepeda motornya di sekitar tempatnya berdiri. Ia dekati pegawai itu dan bertanya bagaimana ia bisa bertemu dengan Bupati.
Pegawai itu meliriknya sekilas, lalu berbalik memandanginya dengan mata yang membesar.
“Onky Alexander, ya?” Tanyanya. Edo bingung. Ia menoleh kebelakang, mencari kalau-kalau ada orang lain yang diajak bicara oleh pegawai itu. Ternyata tidak seorangpun ada di belakangnya.
“Maaf, saya mau bertanya.” Katanya ragu-ragu. Khawatir kalau orang yang diajaknya bicara kurang sehat secara rohani.
“Ya, Onky. Mau tanya apa?” tanya pegawai itu. Kali ini suaranya ramah. Senyumnya melebar.
Edo lalu menjelaskan bahwa ia bukan Onky. Ia adalah pegawai baru yang mendapatkan penugasan di daerah ini. Sekarang ia baru tiba dan ingin bertemu dengan Bupati. Pegawai itu menjawab bahwa ia tahu Edo bukan Onky. Cuma mirip. Bupati sedang tidak berada di tempat. Kemungkinan dua atau tiga hari lagi baru datang.
Mereka berdua lalu berkenalan. Pegawai itu bernama Sangkala, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Orangnya ramah, lucu dan sangat welcome. Edo tidak butuh waktu lama untuk langsung merasa akrab dengannya.
Dengan berboncengan sepeda motor, Sangkala kemudian mengajak Edo menginap di rumahnya. Satu-satunya penginapan di daerah itu berjarak lebih kurang lima kilo meter dari tempat itu.
Sangkala jugalah yang kemudian membantu Edo mencari rumah kontrakan. Kebetulan seorang dokter kenalannya yang sedang melanjutkan pendidikan spesialis dan memboyong seluruh keluarganya pindah ke ibu kota provinsi. Dokter itu meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong. Di rumah itulah kemudian Edo tinggal sampai sekarang.
Jam sudah menunjukkan angka 16.15. sebentar lagi pemain-pemain senior berdatangan. Banyak di antaranya yang merupakan pejabat dengan eselon yang tinggi dan punya hobby bermain tennis. Sangkala sendiri selama ini merupakan langganan berpasangan dengan Pak Sekda. Mungkin kalau Pak Sekda tahu Edo mainnya lebih bagus, ia akan beralih memilih Edo, kata Sangkala suatu hari. Konon pak Sekda punya prinsip, biar pukulannya pas-pasan, yang penting partnernya bagus.
“Istirahatlah, Ngka. Sebentar lagi kamu harus berjuang agar Pak Sekda tidak sampai kalah.” Edo tertawa dan bersiap untuk pulang.
“Jangan pulang dulu, Doy.” Cegah Sangkala. “Kamu bisa ikutan main dengan pemain klub di sini.”
“Jangan ah, gak enak sama anggota klub lain.”
“Kamu sudah bisa jadi anggota klub. Atau kamu kira tidak ada yang bisa melawan kamu di sini?”
“Bukan begitu, Ngka....” suara Edo tertahan di tenggorokan. Seorang Polisi Pamong Praja berjalan tergesa memasuki lapangan. Disusul ajudan Bupati. Tidak lama kemudian, Bupati muncul dengan pakaian olah raga bersama beberapa orang pejabat teras di daerah ini.
Edo dan Sangkala berdiri menyambut boss barunya. Mereka disalami oleh Bupati dan pejabat lainnya. Tapi yang membuat Edo ternganga adalah kemunculan seorang gadis yang menyandang tas raket berukuran besar bersama-sama dengan rombongan itu. Gadis itu adalah Tenri.
Tenri, Putri tunggal Bupati ternyata pemain tennis. Akhirnya ada sesuatu  yang bisa menjadi jembatan pertemuanku dengannya. Edo bersorak dalam hati. Niatnya untuk pulang diurungkan. Ia harus melihat gadis itu bermain. Siapa tahu Tenri tertarik bermain dengannya.
Benar saja. Karena hampir semua pejabat yang bermain tennis enggan main dengan perempuan. Sehingga gadis itu terpaksa berlatih sendiri dengan memukul-mukul bola ke arah dinding tembok yang memang dirancang untuk itu. Atas dorongan sari Sangkala, Edo mendekat dan mengajaknya bermain bersama. Tenri menatapnya sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, ia mengambil tempat di seberang net dan berhadap-hadapan dengan Edo.
Di depan net, mereka berdua melakukan pemanasan ringan. Sesekali pandangan mata mereka bertemu. Awalnya, keduanya grogi juga. Tapi lama-kelamaan,  mereka mulai bisa menguasai diri.
Di luar dugaan Edo, Tenri ternyata pemain yang baik. Pukulan forehand dan backhand sama kerasnya. Ayunan raketnya penuh dan bertenaga. Melontarkan bola ke arah yang akurat dan terukur. Edo berdecak kagum. Gadis ini hebat. Katanya dalam hati. Belakangan Edo tahu kalau Tenri main tennis sejak usia delapan tahun.
Edo mencoba mencecar gadis itu dengan bola-bola topspin yang liar dan bertenaga, namun dengan menempatkan diri beberapa meter di belakang garis baseline, dengan mudah gadis itu mengembalikannya. Ia bergerak lincah kesana kemari mengejar dan memukul bola.
Setelah sekitar setengah jam mereka saling bertukar pukulan, Tenri mulai terlihat kelelahan. Edo memberi isyarat untuk istirahat yang langsung diikutinya dengan patuh. Saat duduk berdua di pinggir lapangan, Edo mengangsurkan sebotol air mineral.
Keduanya duduk meneguk minuman, menyeka keringat dan menyaksikan para pejabat bermain double di lapangan lainnya. Sesekali ikut bertepuk tangan jika ada pukulan yang bagus. Kadang Edo melirik Tenri yang duduk di tidak jauh di sampingnya lalu kembali menonton pertandingan. Entah hanya Edo yang merasa, atau memang kenyataannya begitu, Tenri juga melakukan hal yang serupa.
“Kamu  bagus mainnya.” Kata Edo kemudian. Mencoba mengajak ngobrol.
“Terima kasih. Kamu juga.” Jawabnya sambil tersenyum. Ia teguk menumannya sekilas, lalu mengulurkan tangan, “Tenri.”
Tanpa ragu, Edo menyambut tangan itu dan menyebutkan namanya. Keduanya tersenyum.
“Kayaknya kamu bukan orang sini, ya?” Kata Tenri, sesaat setelah mereka melepaskan jabatan tangan.
“Benar.”
“Dari mana?”
“Bandung.”
“O... di sini... bekerja atau..?”
“Saya bekerja. Di Sekretariat Daerah, staf bagian Humas.”
“Sudah berapa lama?”
“Baru. Sekitar enam bulan.”
Mereka terdiam, pemain dan penonton di lapangan satu tiba-tiba gaduh. Ternyata karena sebuah pukulan forehand drive pak Bupati mengenai paha Pak Sekda, tidak jauh dari bagian vitalnya. Imran berlari ke seberang net memeluk Sekda yang meringis, tapi tetap berusaha tertawa. Pemain dan penonton lain gemuruh karena tertawa.
“Bandung. Yang saya ingat tentang bandung hanyalah Cihampelas. Jalanan sempit yang teduh dan padat, terus hawanya yang sejuk.” Kata Tenri lagi. Setelah suasana kembali normal dan permainan dilanjutkan kembali.
“Kayaknya kamu sering ke Bandung, ya?”
“Mhm.... Tidak juga. Palingan kalau bapak ada acara dan kami diajak.”
“O ya? Jadi kamu lebih sering kemana?”
“Kalau lagi libur Bapak lebih sering ngajak ke luar negeri. Biasanya sekalian nonton grandslam.”
“Wah, hebat dong. Aku belum pernah nonton turnamen tingkat dunia secara langsung.” Aku Edo. Tenri tersenyum bangga. Tapi di mata Edo senyum itu tidak berkesan sombong.
“Januari lalu aku ke Melbourne. Nonton Australia Open. Sempat dapat tanda tangan Wozniacki.”
“Wah, keren banget ya?
Edo tersenyum, Caroline Wozniacki adalah salah satu pemain yang paling digandrunginya. Cantik, seksi dan hebat. Walau belum pernah sekalipun memenangi turnamen besar.
Pembicaraan seputar perkembangan tennis dunia diakhiri dengan kembali main bersama. Hingga akhirnya, ketika maghrib menjelang, mereka berhenti dengan janji akan berlatih bersama lagi kapan-kapan.
“Telpon aja, kalau mau main.” Kata Edo. Tenri mengangguk senang dan segera berlari mengiringi rombongan pejabat yang juga sementara meninggalkan lapangan.
Sangkala memandangi Edo yang sedang tersenyum-senyum. “Kau memang bangsat paling beruntung di dunia, Doy.” Kata Sangkala, saat mereka tinggal berdua. “Kok bisa-bisanya dia kebetulan pemain tennis, dan kebetulan kamu main tennis di sini. Kebetulan lagi, mainnya hari ini, ...”
“Kalau jodoh ya emang gitu. Banyak kebetulannya.”
“Kelihatannya kalian memang berjodoh. Hidung sama-sama mancung. Kulit sama-sama kuning langsat.... ”
“Kok bisa, ya?” Edo pura-pura tidak peduli. “Sudahlah, ayo kita pulang.” Edo mengemas raket dan barang bawaannya ke dalam sebuah tas lalu meninggalkan lapangan Tennis dengan langkah yang ringan. Sangkala berjalan di sisinya. Sekarang ia sudah bisa berkomunikasi dengan Tenri. Kesempatan yang pernah dianggapnya sebagai sesuatu yang amat jauh, kini tiba-tiba datang begitu saja. Nomor telpon gadis itu sudah ada di tangannya. Manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya, Edo. Manfaatkan dengan baik.

No comments:

Post a Comment