Sinar
matahari sore tidak terlalu menyengat. Di Lapangan Dua, Sangkala menggempur
pertahanan Edo dengan pukulan groundstrokenya
yang keras mengarah ke sisi kiri dan kanan pertahanan Edo. Sebuah backhand
menyilang yang menusuk di sisi jauh sebelah kiri membuat Edo tersudut, pengembaliannya
melambung tinggi beberapa meter di depan net. Dengan bernafsu, Sangkala berlari
menyambut bola itu lalu melakukan jump
smash yang mengarah ke sudut kanan belakang lapangan. Sayang, bola itu
mendarat beberapa senti di luar garis lapangan. Edo mengepalkan tinju seraya berteriak
keras, Yess!!!. Point terakhir itu miliknya, dan untuk kesekian kalinya,
Sangkala harus mengakui keunggulan Edo.
Lapangan
tennis itu berada di dalam kompleks kantor Bupati. Terletak di sudut kiri
belakang gedung perkantoran induk. Dikelilingi jaring kawat dengan ketinggian
mencapai lima meter. Berdampingan dengan lapangan volley dan lapangan sepak
takraw. Terdiri atas dua lapangan yang dibangun berdampingan. Yang kiri disebut
Lapangan Satu dan lainnya Lapangan Dua. Di antara kedua lapangan itu terdapat
sebuah bangunan yang berfungsi sebagai kamar ganti dan toilet di ujung yang
satu dan kantin di ujung lainnya. Sedangkan pada masing-masing sisi luar
lapangan, terdapat sejumlah bangku
panjang dari kayu yang dinaungi dengan atap seng.
Edo
dan Sangkala berjalan menuju ke tempat duduk yang ada di pinggir lapangan. Masih
dengan raut muka kecewa, Sangkala meraih botol air mineral dari dalam tas
raketnya dan meneguk isinya. Edo sendiri mengeringkan keringatnya dengan handuk
kecil berwarna biru sambil tersenyum melihat Sangkala yang cemberut.
“Pukulanmu
sih sudah bagus, Ngka. Penempatan
dan arahnya juga sudah bagus. Tinggal pengendalian diri dan emosi yang harus
ditingkatkan.” Edo berkomentar. Sangkala
meneguk minumannya lagi. Meski masih memamerkan wajah kesal, matanya berbinar juga
menerima pujian Edo.
“Kalau
dapat bola bagus, jangan terburu-buru untuk cepat dimatikan.” Edo menerangkan,
“tempatkan diri pada posisi yang tepat, perhatikan lentingan bola, lalu ayunkan
raket dengan kekuatan penuh.”
“Aku
tahu, Doy. Tadi itu aku cuma sedang sial.”
Edo
tertawa, “sial terus, ya?” Katanya
menyindir.
“Lain
kali, Doy. Lain kali.” Katanya. “Aku pasti akan mengalahkanmu, suatu hari
nanti.”
Sangkala
sebenarnya adalah pemain tennis yang cukup baik. Untuk ukuran daerah ini, ia
termasuk salah satu yang terbaik. Sudah beberapa kali ia diutus mewakili daerah
untuk bertanding di tingkat provinsi atau di kejuaraan-kejuaraan regional.
Walau tidak terlalu sering mendapat juara, namun semua pemain tennis di daerah
ini mengakuinya sebagai pemain yang baik. Tapi berhadapan dengan Edo yang sudah
bermain Tennis sejak kecil dan dilatih secara intensif, Sangkala masih lebih
banyak menderita kekalahan. Level permainan Edo lebih tinggi darinya. Jadi ia merasa
masih harus berlajar banyak.
Bagi
Edo sendiri, bisa main tennis secara teratur adalah anugerah tersendiri yang
harus dia syukuri. Di atas semua tetek bengek peringkat dan level permainan
itu, Edo merasa sangat beruntung bisa bersahabat dengan Sangkala. Hobbynya main
tennis ketika masih tinggal di kompleks ayahnya di Bandung bisa tetap tersalurkan
di daerah ini. Bukan suatu kebetulan, jika ternyata ia mendapat sahabat yang
punya hobby sama.
Sangkala
adalah orang pertama yang dikenal Edo di daerah ini. Saat pertama kali
menginjakkan kaki di daerah ini, ia hanya dengan dibekali dengan pengetahuan
terbatas dari beberapa orang rekannya. Selebihnya, ia tidak tahu apa-apa dan
tidak kenal siapapun. Yang dia tahu pasti adalah Bupati pasti akan menerimanya
karena ia ditempatkan di daerah ini dengan keputusan Menteri Dalam Negeri. Ia
tinggal menghadap pada Bupati dan melaporkan diri siap untuk bertugas.
Ardi,
ayahnya, sempat merasa cemas. Nama kabupaten itu memang ada di atlas negeri ini,
tapi hanya ditunjukkan sebagai sebuah kota kecil. Namanya jarang terbaca di
media cetak tingkat nasional, apalagi ditampilkan di media elektronik. Menyebut
namanya saja terasa menyebut negeri anta berantah. Tapi Edo meyakinkan ayahnya.
Sekarang saya seorang pamong, ayah. I’ll
keep myself save. Janjinya pada sang ayah, dan itu cukup menenangkan hati
Ardi, walau tidak cukup meyakinkannya.
Saat
pesawatnya mendarat di bandara yang terletak di pinggiran ibukota provinsi, Edo
masih harus melanjutkan perjalanan lewat darat dengan menggunakan bis selama
lebih kurang enam jam. Memang tidak banyak bis PATAS AC seperti sejumlah
angkutan AKAP di Pulau Jawa. Tapi bis di sini jarang mengambil penumpang
melebihi kapasistas tempat duduk sehingga ia tetap merasa cukup nyaman. Hanya
saja, ia sering merasa dongkol. Hampir di tiap kilometer bis itu berhenti untuk
menaikkan atau menurunkan penumpang. Kalau
pakai mobil pribadi atau sepeda motor, pasti waktu tempuhnya tidak akan selama
ini. Pikir Edo saat itu.
Bis
yang ditumpanginya memasuki daerah ini ketika matahari sudah mulai condong ke
sebelah barat. Jumlah penumpang sudah jauh berkurang. Kebanyakan sudah turun di
beberapa tempat sebelumnya. Keinginan bertanya ditekannya sekuat mungkin karena
ia tidak mau terlihat sebagai orang baru. Ia mulai menyiapkan mental, menajamkan
mata dan pendengaran, menunggu waktu yang tepat untuk turun.
Saat
melihat sebuah tugu yang bertuliskan “selamat datang” di ibukota kabupaten,
iapun mengemasi barang bawaannya lalu berdiri dari tempat duduknya. Begitu melihat
alun-alun kota dan masjid besar di sampingnya, hatinya berbisik: Turun. Iapun
menyetop bis itu.
Selamat datang di
medan perang. Katanya dalam hati. Ia berdiri di
pinggir jalan selama beberapa saat, membiarkan bis itu berlalu dan meninggalkan
asap hitam dari knalpotnya, sambil mencoba menenangkan diri. Pandangannya
kemudian membentur seseorang yang berpakaian seragam pegawai negeri sedang memarkir
sepeda motornya di sekitar tempatnya berdiri. Ia dekati pegawai itu dan
bertanya bagaimana ia bisa bertemu dengan Bupati.
Pegawai
itu meliriknya sekilas, lalu berbalik memandanginya dengan mata yang membesar.
“Onky
Alexander, ya?” Tanyanya. Edo bingung. Ia menoleh kebelakang, mencari
kalau-kalau ada orang lain yang diajak bicara oleh pegawai itu. Ternyata tidak
seorangpun ada di belakangnya.
“Maaf,
saya mau bertanya.” Katanya ragu-ragu. Khawatir kalau orang yang diajaknya
bicara kurang sehat secara rohani.
“Ya,
Onky. Mau tanya apa?” tanya pegawai itu. Kali ini suaranya ramah. Senyumnya
melebar.
Edo
lalu menjelaskan bahwa ia bukan Onky. Ia adalah pegawai baru yang mendapatkan
penugasan di daerah ini. Sekarang ia baru tiba dan ingin bertemu dengan Bupati.
Pegawai itu menjawab bahwa ia tahu Edo bukan Onky. Cuma mirip. Bupati sedang
tidak berada di tempat. Kemungkinan dua atau tiga hari lagi baru datang.
Mereka
berdua lalu berkenalan. Pegawai itu bernama Sangkala, berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun. Orangnya ramah, lucu dan sangat welcome. Edo tidak butuh waktu
lama untuk langsung merasa akrab dengannya.
Dengan
berboncengan sepeda motor, Sangkala kemudian mengajak Edo menginap di rumahnya.
Satu-satunya penginapan di daerah itu berjarak lebih kurang lima kilo meter
dari tempat itu.
Sangkala
jugalah yang kemudian membantu Edo mencari rumah kontrakan. Kebetulan seorang
dokter kenalannya yang sedang melanjutkan pendidikan spesialis dan memboyong seluruh
keluarganya pindah ke ibu kota provinsi. Dokter itu meninggalkan rumahnya dalam
keadaan kosong. Di rumah itulah kemudian Edo tinggal sampai sekarang.
Jam
sudah menunjukkan angka 16.15. sebentar lagi pemain-pemain senior berdatangan.
Banyak di antaranya yang merupakan pejabat dengan eselon yang tinggi dan punya
hobby bermain tennis. Sangkala sendiri selama ini merupakan langganan berpasangan
dengan Pak Sekda. Mungkin kalau Pak Sekda tahu Edo mainnya lebih bagus, ia akan
beralih memilih Edo, kata Sangkala suatu hari. Konon pak Sekda punya prinsip,
biar pukulannya pas-pasan, yang penting partnernya bagus.
“Istirahatlah,
Ngka. Sebentar lagi kamu harus berjuang agar Pak Sekda tidak sampai kalah.” Edo
tertawa dan bersiap untuk pulang.
“Jangan
pulang dulu, Doy.” Cegah Sangkala. “Kamu bisa ikutan main dengan pemain klub di
sini.”
“Jangan
ah, gak enak sama anggota klub lain.”
“Kamu
sudah bisa jadi anggota klub. Atau kamu kira tidak ada yang bisa melawan kamu
di sini?”
“Bukan
begitu, Ngka....” suara Edo tertahan di tenggorokan. Seorang Polisi Pamong
Praja berjalan tergesa memasuki lapangan. Disusul ajudan Bupati. Tidak lama
kemudian, Bupati muncul dengan pakaian olah raga bersama beberapa orang pejabat
teras di daerah ini.
Edo
dan Sangkala berdiri menyambut boss barunya. Mereka disalami oleh Bupati dan
pejabat lainnya. Tapi yang membuat Edo ternganga adalah kemunculan seorang
gadis yang menyandang tas raket berukuran besar bersama-sama dengan rombongan
itu. Gadis itu adalah Tenri.
Tenri,
Putri tunggal Bupati ternyata pemain tennis. Akhirnya ada sesuatu yang
bisa menjadi jembatan pertemuanku dengannya. Edo bersorak dalam hati.
Niatnya untuk pulang diurungkan. Ia harus melihat gadis itu bermain. Siapa tahu
Tenri tertarik bermain dengannya.
Benar
saja. Karena hampir semua pejabat yang bermain tennis enggan main dengan
perempuan. Sehingga gadis itu terpaksa berlatih sendiri dengan memukul-mukul
bola ke arah dinding tembok yang memang dirancang untuk itu. Atas dorongan sari
Sangkala, Edo mendekat dan mengajaknya bermain bersama. Tenri menatapnya
sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, ia mengambil tempat di seberang net dan
berhadap-hadapan dengan Edo.
Di
depan net, mereka berdua melakukan pemanasan ringan. Sesekali pandangan mata
mereka bertemu. Awalnya, keduanya grogi juga. Tapi lama-kelamaan, mereka mulai bisa menguasai diri.
Di
luar dugaan Edo, Tenri ternyata pemain yang baik. Pukulan forehand dan backhand sama
kerasnya. Ayunan raketnya penuh dan bertenaga. Melontarkan bola ke arah yang
akurat dan terukur. Edo berdecak kagum. Gadis
ini hebat. Katanya dalam hati. Belakangan Edo tahu kalau Tenri main tennis
sejak usia delapan tahun.
Edo
mencoba mencecar gadis itu dengan bola-bola topspin
yang liar dan bertenaga, namun dengan menempatkan diri beberapa meter di
belakang garis baseline, dengan mudah
gadis itu mengembalikannya. Ia bergerak lincah kesana kemari mengejar dan
memukul bola.
Setelah
sekitar setengah jam mereka saling bertukar pukulan, Tenri mulai terlihat
kelelahan. Edo memberi isyarat untuk istirahat yang langsung diikutinya dengan
patuh. Saat duduk berdua di pinggir lapangan, Edo mengangsurkan sebotol air
mineral.
Keduanya
duduk meneguk minuman, menyeka keringat dan menyaksikan para pejabat bermain double di lapangan lainnya. Sesekali
ikut bertepuk tangan jika ada pukulan yang bagus. Kadang Edo melirik Tenri yang
duduk di tidak jauh di sampingnya lalu kembali menonton pertandingan. Entah
hanya Edo yang merasa, atau memang kenyataannya begitu, Tenri juga melakukan
hal yang serupa.
“Kamu bagus mainnya.” Kata Edo kemudian.
Mencoba mengajak ngobrol.
“Terima
kasih. Kamu juga.” Jawabnya sambil tersenyum. Ia teguk menumannya sekilas, lalu
mengulurkan tangan, “Tenri.”
Tanpa
ragu, Edo menyambut tangan itu dan menyebutkan namanya. Keduanya tersenyum.
“Kayaknya
kamu bukan orang sini, ya?” Kata Tenri, sesaat setelah mereka melepaskan
jabatan tangan.
“Benar.”
“Dari
mana?”
“Bandung.”
“O...
di sini... bekerja atau..?”
“Saya
bekerja. Di Sekretariat Daerah, staf bagian Humas.”
“Sudah
berapa lama?”
“Baru.
Sekitar enam bulan.”
Mereka
terdiam, pemain dan penonton di lapangan satu tiba-tiba gaduh. Ternyata karena
sebuah pukulan forehand drive pak Bupati
mengenai paha Pak Sekda, tidak jauh dari bagian vitalnya. Imran berlari ke
seberang net memeluk Sekda yang meringis, tapi tetap berusaha tertawa. Pemain
dan penonton lain gemuruh karena tertawa.
“Bandung.
Yang saya ingat tentang bandung hanyalah Cihampelas. Jalanan sempit yang teduh
dan padat, terus hawanya yang sejuk.” Kata Tenri lagi. Setelah suasana kembali
normal dan permainan dilanjutkan kembali.
“Kayaknya
kamu sering ke Bandung, ya?”
“Mhm....
Tidak juga. Palingan kalau bapak ada acara dan kami diajak.”
“O
ya? Jadi kamu lebih sering kemana?”
“Kalau
lagi libur Bapak lebih sering ngajak ke luar negeri. Biasanya sekalian nonton grandslam.”
“Wah,
hebat dong. Aku belum pernah nonton turnamen tingkat dunia secara langsung.”
Aku Edo. Tenri tersenyum bangga. Tapi di mata Edo senyum itu tidak berkesan
sombong.
“Januari
lalu aku ke Melbourne. Nonton Australia Open. Sempat dapat tanda tangan
Wozniacki.”
“Wah,
keren banget ya?
Edo
tersenyum, Caroline Wozniacki adalah salah satu pemain yang paling
digandrunginya. Cantik, seksi dan hebat. Walau belum pernah sekalipun memenangi
turnamen besar.
Pembicaraan
seputar perkembangan tennis dunia diakhiri dengan kembali main bersama. Hingga
akhirnya, ketika maghrib menjelang, mereka berhenti dengan janji akan berlatih
bersama lagi kapan-kapan.
“Telpon
aja, kalau mau main.” Kata Edo. Tenri mengangguk senang dan segera berlari
mengiringi rombongan pejabat yang juga sementara meninggalkan lapangan.
Sangkala
memandangi Edo yang sedang tersenyum-senyum. “Kau memang bangsat paling beruntung
di dunia, Doy.” Kata Sangkala, saat mereka tinggal berdua. “Kok bisa-bisanya
dia kebetulan pemain tennis, dan kebetulan kamu main tennis di sini. Kebetulan
lagi, mainnya hari ini, ...”
“Kalau
jodoh ya emang gitu. Banyak kebetulannya.”
“Kelihatannya
kalian memang berjodoh. Hidung sama-sama mancung. Kulit sama-sama kuning
langsat.... ”
“Kok bisa,
ya?” Edo pura-pura tidak peduli. “Sudahlah, ayo kita pulang.” Edo mengemas
raket dan barang bawaannya ke dalam sebuah tas lalu meninggalkan lapangan
Tennis dengan langkah yang ringan. Sangkala berjalan di sisinya. Sekarang ia
sudah bisa berkomunikasi dengan Tenri. Kesempatan yang pernah dianggapnya
sebagai sesuatu yang amat jauh, kini tiba-tiba datang begitu saja. Nomor telpon
gadis itu sudah ada di tangannya. Manfaatkan
kesempatan ini sebaik-baiknya, Edo. Manfaatkan dengan baik.
No comments:
Post a Comment