Thursday 19 January 2012

Chapter Twenty Three


Sangkala menjadi penunjuk jalan. Katanya ia tahu tempat yang bagus untuk rekreasi di luar daerah, dengan syarat ia dan pacarnya bisa ikut. Edo setuju, tapi Tenri harus ditanya terlebih dahulu. Apalagi dia yang punya mobil dan barangkali akan menanggung seluruh biaya rekreasi itu.

Ketika syarat itu disampaikan kepada Tenri, ternyata Tenri tidak keberatan. Makin ramai justru makin seru, katanya. Maka pada hari Sabtu berangkatlah mereka menuju ke tempat rekreasi itu.
Edo yang mengemudikan mobil, di sampingnya duduk Sangkala, sementara di jok belakang, Tenri dan pacar Sangkala duduk berdua. Pacar Sangkala adalah seorang pegawai kontrak di salah satu instansi pemerintah daerah. Namanya Linda. Usianya hampir sama dengan Edo.
Perjalanan itu membutuhkan waktu lebih kurang satu jam setengah. Ketika birunya laut sudah terlihat dari jalan raya yang mereka lalui, Sangkala meminta Edo mengurangi kecepatan. Kita akan tiba sebentar lagi, katanya. Edo mengiyakan dan mulai mengurangi kecepatan. Saat mereka tiba pada bagian jalan yang diberi tanda penunjuk arah di depan sebuah lorong, Sangkala meminta Edo berbelok.
Mobil berguncang-guncang ketika melewati jalan tanah berbatu yang sempit. Banyak semak belukar yang rimbun di sisi kiri dan kanan jalanan itu. Edo sempat nyeletuk, ini mau ke hutan ya?
“Jangan begitu, Doy. Kamu akan kaget kalau melihat keindahan pantainya nanti.”
“O, pantai?”
Sekitar lima belas menit kemudian, hamparan pasir putih sudah mulai terlihat. Pada sebuah belokan ke kanan di mana semak-semak berakhir, mobil mereka sudah menghadap ke pantai. Sudah ada beberapa orang yang terlihat mandi dan berenang di laut. Sejumlah anak kecil bermain pasir dan berkejaran di atas lidah gelombang.
“Parkir di sana aja, Doy.” Perintah Sangkala. Menunjuk sebuah pohon besar yang rindang. Beberapa mobil dan sepeda motor sudah terparkir di situ.
“Wah. Ini jauh lebih indah dari pantai Kuta. Hanya memang butuh sentuhan artisitik agar bisa jadi jualan ke wisatawan mancanegara.” Komentar Edo, sesaat setelah mereka keluar dari mobil.
Tenri membenarkan. Sangkala hanya tersenyum-senyum lalu balas mengomentari bahwa baginya inilah pantai yang terindah yang pernah dilihatnya, karena memang ia tidak pernah kemana-mana.
“Kita makan siang di mana, Doy?”
“Ini belum siang, Ngka.” Sergah Edo.
Seperti kalau sudah direncanakan sebelumnya, kedua pasangan itu memisahkan diri. Mereka menyewa tikar pada anak-anak penjaja tikar sewaan lalu duduk menghadap ke laut. Tidak terlalu berdekatan, tapi cukup jauh untuk mendengarkan  pembicaraan masing-masing. Beberapa orang lalu lalang di sekitar mereka, tapi pasti punya banyak urusan untuk diri mereka sendiri sehingga tidak peduli pada mereka.
Pantai itu terletak pada sebuah teluk. Di bagian baratnya, sebuah tebing karang yang tegak, menjulang tinggi tepat di bibir pantai sehingga menjadi batas dengan dunia luar. Dengan hanya berjarak sekitar satu kilo meter dengan bagian timur yang juga merupakan tebing karang, tapi cukup landai sehingga di atasnya terdapat beberapa pondok tanpa dinding yang cukup untuk ditempati bercengkerama hingga lima orang. Untuk mencapai pondok itu, sebuah tangga yang dibentuk dari karang dibuat melingkar mengelilingi tebing, dan itu menjadi salah satu unsur yang menambah keindahan pantai itu.
Edo pikir, ini kesempatan yang cukup lama ditunggunya. Bicara dengan Tenri dari hati ke hati untuk memastikan arah hubungan mereka.
“Tenri, katakan satu hal saja yang paling ingin kudengar darimu.”
“Apa sih?”
“Aku ingin kau bilang cinta.”
“Cinta, cinta, cinta.”
“Bukan itu maksudku. Kamu cinta nggak sih?”
“Sama siapa?”
“Ya, siapa lagi.”
“Sama siapa?”
“Sialan, sama aku.”
“Mhm... Aduh, Edo. Kok nanya itu sih?”
“Aku penasaran aja. Perasaan aku, kita sudah pacaran. Tapi kamu kok nggak pernah bilang cinta sama aku?”
“Oo, kita pacaran ya? Hehe, baru tahu aku.”
Edo keki. Tapi ia mencoba sabar. Gadis itu hanya tertawa.
“Sayang..?”
“Apa sayang...?”
“Bilang dong.”
“Bilang apa?”
“Ya, bilang itu tadi.”
“Yaaah, Edo. Ribet amat. Kamu maunya apa sih. Apa selama ini aku kurang sayang sama kamu?”
“Sayang sih. Tapi kamu nggak pernah bilang cinta sama aku.”
“Coba, deh, Edo. Bedanya cinta ama sayang apa?”
Edo bingung. Bedanya cinta sama sayang apa ya?
Saat mereka sedang asyik bercengkrama, Sangkala mendekat dan langsung menuju ke tempat mereka duduk.
“Halo, saya mau mengganggu.”
Edo mendelik, Tenri hanya tersenyum. “Aku suka diganggu, kok,” katanya.
“Pacar kamu kok ditinggal, ntar ada yang bawa lari.”
“Biarin. Dia ingin sendiri katanya. Makanya aku ke sini.” Sangkala segera mendominasi pembicaraan. Berbagai informasi ia sampaikan. Edo hanya terdiam memandangi Sangkala yang menikmati perannya sebagai pengganggu yang sempurna. Tenri sesekali menyela pembicaraan Sangkala dan terlihat antusias. Edo makin jengkel sama Sangkala, tapi tidak berusaha menunjukkannya di hadapan Tenri. Awas kau, Ngka. Rutuknya dalam hati.

No comments:

Post a Comment