Sunday 8 January 2012

Chapter Twelve


Pagi ini Edo merasa sangat lesu. Tadi malam ia chatting dengan seorang temannya di Bandung hingga menjelang bedug subuh berbunyi. Kepalanya terasa berat. Pasti matanya merah. Ia tidak bisa membayangkan apa lagi yang akan diucapkan mulut usil Sangkala jika melihatnya dalam keadaan seperti itu. Sebelumnya, Kepala Bagiannya telah memberikan tugas untuk menyusun materi ceramah dalam sebuah seminar tentang penanganan sampah di dalam kota yang akan dibawakan Bupati besok pagi. Saat Edo protes waktunya terlalu mepet, atasannya itu cuma bilang, Ini rakyat, Do. Rakyat yang mengundang. Dan kita cuma pelayan. Edo mendengar kalimat itu sebagai sebuah sinisme, entah cuma perasaannya, atau kenyataannya memang demikian.

Selama menjadi bupati, entah sudah berapa kali Edo mendengar Imran mengucapkan kalimat itu. Hampir di tiap kesempatan. Dalam ceramah, dalam rapat, dalam briefing. Pokoknya hampir di tiap acara. Bahkan mungkin ketika makan malam dengan istrinya. Kalimat itu menjadi mantra yang sakti, yang sanggup menggerakkan pegawai-pegawai yang tadinya tidak begitu antusias bekerja menjadi pegawai yang rajin.
Fadli mendatangi Edo. Katanya ia dipanggil Pak Bupati. Demikian Ajudan Bupati ketika menemuinya. Lutut Edo mendadak lemas. Ada apa aku dipanggil oleh Bupati? Tanyanya dalam hati. Apakah ada yang salah? Ingatan Edo melayang ke permintaan Kepala Bagiannya dua hari lalu. Saat itu, karena ada kunjungan kerja dari seorang Dirjen di salah satu kementerian, Kabag memintanya untuk menyiapkan pidato Penerimaan yang akan dibacakan Bupati di hadapan sang Dirjen. Edo menyusun pidato itu semalam suntuk. Mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Keesokan harinya, naskah pidato itu diserahkan Edo ke kepala bagiannya yang selanjutnya menyerahkannya kepada Bupati. Ia hadir dan membantu menyiapkan acara itu. Ketika Bupati membacakan pidato yang ia buat, jantungnya berdebar kencang. Semakin lama semakin kencang, hingga akhirnya pidato itu selesai dan Imran Turun dari podium diiringi tepuk tangan hadirin. Edo tahu, bukan karena pidatonya orang bertepuk tangan. Melainkan karena yang barusan tampil adalah Bupati.
“Sekarang?” Tanya Edo, lalu merasa menyesal mengajukan pernyaan bodoh itu.
“Iya dong, sekarang. Bapak sedang menunggu tuh...”
Edo bergegas beranjak dari tempat duduknya. Hadapi segala kemungkinan, tekadnya dalam hati. Paling juga diomelin.
Edo mengetuk pintu ruang kerja Bupati. Lalu melangkah masuk dan berdiri tidak jauh di depan meja kerja Bupati.
Imran mendongak, lewat bagian atas kacamata bacanya, ia tatap wajah pemuda itu. Tatapannya lekat, tajam dan tak beralih hingga sekian belas detik. Edo merasa jerih. Kiamatlah sudah. Bisiknya, pada dirinya sendiri. Imran melepas kacamatanya lalu menyuruh Edo duduk di depannya. Imran kembali memandangi wajah Edo dengan tatapan menyelidik. Edo merasa jengah.
“Kamu yang tulis pidato saya kemarin?”
“Betul, pak.” Edo menciut.
“Kerjamu bagus. Saya suka pokok-pokok pikiranmu yang tertulis di pidato itu.” Edo merasa lega. Ternyata perjuangannya dihargai oleh Imran.
“Siap pak.” Sekarang dada Edo menjadi busung.
“Namamu siapa?”
“Reynaldo, pak. Tapi biasanya dipanggil Edo saja.”
“Edo, ya. Ok, Edo. Mulai sekarang, kamu yang bertugas menulis setiap pidato saya. Sampaikan kepada pimpinanmu”
“Siap, pak.”
“Berikan nomor telponmu pada Ajudan. Nanti dia yang sampaikan kalau aku membutuhkan bantuanmu.”
“Siap pak”
“Ok, siapa namamu tadi? Edo kan?”
“Iya pak.”
“Kamu boleh pergi.”
“Siap. Terima kasih, pak.”
Perasaan Edo melambung tinggi. Kakinya serasa tidak berpijak di lantai. Langkahnya ringan menuju pintu keluar. Setibanya di luar, ia meloncat kegirangan sambil berteriak “Yess.” Beberapa orang yang sedang berada di ruangan itu kaget. Edo sendiri yang baru menyadari bahwa ia tidak sendiri di tempat itu merasa lebih kaget. Ia senyum-senyum lalu pamit sambil mohon maaf.

1 comment: