Pagi
ini Edo merasa sangat lesu. Tadi malam ia chatting dengan seorang temannya di
Bandung hingga menjelang bedug subuh berbunyi. Kepalanya terasa berat. Pasti
matanya merah. Ia tidak bisa membayangkan apa lagi yang akan diucapkan mulut
usil Sangkala jika melihatnya dalam keadaan seperti itu. Sebelumnya, Kepala
Bagiannya telah memberikan tugas untuk menyusun materi ceramah dalam sebuah
seminar tentang penanganan sampah di dalam kota yang akan dibawakan Bupati
besok pagi. Saat Edo protes waktunya terlalu mepet, atasannya itu cuma bilang,
Ini rakyat, Do. Rakyat yang mengundang. Dan
kita cuma pelayan. Edo mendengar kalimat itu sebagai sebuah sinisme, entah
cuma perasaannya, atau kenyataannya memang demikian.
Selama
menjadi bupati, entah sudah berapa kali Edo mendengar Imran mengucapkan kalimat
itu. Hampir di tiap kesempatan. Dalam ceramah, dalam rapat, dalam briefing.
Pokoknya hampir di tiap acara. Bahkan mungkin ketika makan malam dengan
istrinya. Kalimat itu menjadi mantra yang sakti, yang sanggup menggerakkan
pegawai-pegawai yang tadinya tidak begitu antusias bekerja menjadi pegawai yang
rajin.
Fadli
mendatangi Edo. Katanya ia dipanggil Pak Bupati. Demikian Ajudan Bupati ketika
menemuinya. Lutut Edo mendadak lemas. Ada
apa aku dipanggil oleh Bupati? Tanyanya dalam hati. Apakah ada yang salah?
Ingatan Edo melayang ke permintaan Kepala Bagiannya dua hari lalu. Saat itu,
karena ada kunjungan kerja dari seorang Dirjen di salah satu kementerian, Kabag
memintanya untuk menyiapkan pidato Penerimaan yang akan dibacakan Bupati di
hadapan sang Dirjen. Edo menyusun pidato itu semalam suntuk. Mengerahkan
segenap kemampuan yang dimilikinya. Keesokan harinya, naskah pidato itu
diserahkan Edo ke kepala bagiannya yang selanjutnya menyerahkannya kepada
Bupati. Ia hadir dan membantu menyiapkan acara itu. Ketika Bupati membacakan
pidato yang ia buat, jantungnya berdebar kencang. Semakin lama semakin kencang,
hingga akhirnya pidato itu selesai dan Imran Turun dari podium diiringi tepuk
tangan hadirin. Edo tahu, bukan karena pidatonya orang bertepuk tangan.
Melainkan karena yang barusan tampil adalah Bupati.
“Sekarang?”
Tanya Edo, lalu merasa menyesal mengajukan pernyaan bodoh itu.
“Iya
dong, sekarang. Bapak sedang menunggu tuh...”
Edo
bergegas beranjak dari tempat duduknya. Hadapi
segala kemungkinan, tekadnya dalam hati. Paling juga diomelin.
Edo
mengetuk pintu ruang kerja Bupati. Lalu melangkah masuk dan berdiri tidak jauh
di depan meja kerja Bupati.
Imran
mendongak, lewat bagian atas kacamata bacanya, ia tatap wajah pemuda itu.
Tatapannya lekat, tajam dan tak beralih hingga sekian belas detik. Edo merasa
jerih. Kiamatlah sudah. Bisiknya,
pada dirinya sendiri. Imran melepas kacamatanya lalu menyuruh Edo duduk di
depannya. Imran kembali memandangi wajah Edo dengan tatapan menyelidik. Edo
merasa jengah.
“Kamu
yang tulis pidato saya kemarin?”
“Betul,
pak.” Edo menciut.
“Kerjamu
bagus. Saya suka pokok-pokok pikiranmu yang tertulis di pidato itu.” Edo merasa
lega. Ternyata perjuangannya dihargai oleh Imran.
“Siap
pak.” Sekarang dada Edo menjadi busung.
“Namamu
siapa?”
“Reynaldo,
pak. Tapi biasanya dipanggil Edo saja.”
“Edo,
ya. Ok, Edo. Mulai sekarang, kamu yang bertugas menulis setiap pidato saya. Sampaikan
kepada pimpinanmu”
“Siap,
pak.”
“Berikan
nomor telponmu pada Ajudan. Nanti dia yang sampaikan kalau aku membutuhkan
bantuanmu.”
“Siap
pak”
“Ok,
siapa namamu tadi? Edo kan?”
“Iya
pak.”
“Kamu
boleh pergi.”
“Siap.
Terima kasih, pak.”
Perasaan
Edo melambung tinggi. Kakinya serasa tidak berpijak di lantai. Langkahnya
ringan menuju pintu keluar. Setibanya di luar, ia meloncat kegirangan sambil
berteriak “Yess.” Beberapa orang yang sedang berada di ruangan itu kaget. Edo
sendiri yang baru menyadari bahwa ia tidak sendiri di tempat itu merasa lebih
kaget. Ia senyum-senyum lalu pamit sambil mohon maaf.
menyimak..ditunggu lanjutannya..
ReplyDelete