Pagi menjelang ketika telponnya
berdering. Edo terbangun dan melihat bahwa yang menelponnya adalah Imran.
“Ya, pak?”
“Maaf, Do. Tolong, kamu segera ke sini.”
“Baik, pak.”
Edo meninggalkan kamarnya dan berlari
menuju ruang perawatan di mana Tenri sedang dirawat. Di dalam ruangan itu,
Imran dan Istrinya sedang duduk di sisi tempat tidur. Nurani menangis, kentara
dari suara isaknya yang makin lama
makin sering terdengar.
“Dia memanggilmu, Edo.” Kata Imran.
Edo segera mendekati tempat tidur Tenri.
Dilihatnya mata gadis itu terpejam. Tarikan nafasnya tersendat dan sesekali
terlihat berjuang keras agar bisa menghirup udara. Edo menggenggam tangannya
yang dingin bagai es. Gadis itu membuka matanya. Memandang Edo tepat di
matanya. Edo emngambil selembar kertas tissu, lalu diusapnya butir-butir
keringat yang memenuhi wajah dan leher Tenri.
“Edo...” suaranya lebih mirip bisikan,
tertutup oleh suara tarikan nafasnya yang gemuruh.
“Ya, sayang. Aku di sini.”
“Sayang... aku...”
Edo ingin melarangnya berbicara. Tapi
tampaknya Tenri ingin mengatakan sesuatu. Ia kibaskan tangannya seolah menyuruh
Edo diam dan mendengarnya.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya,
akhirnya Tenri berhasil mengucapkan sebuah kalimat, “Aku... mencintaimu,
Edo.” Oh, itulah kalimat yang
selama sekian bulan ini dikejar-kejar oleh Edo. Itulah kalimat yang sepanjang
kebersamaan mereka ditunggu Edo dengan segenap hati dan jiwanya. Dan Tenri baru
saja mengucapkannya.
“Aku juga mencintaimu.” Bisik Edo. Ia
tidak lagi merasa jengah atau sungkan, meskipun Imran dan istrinya ada di
tempat itu menyaksikan mereka. Imran dan Nurani telah menganggapnya sebagai
bagian dari keluarga besar mereka.
Tenri menganggukkan kepala, bibirnya
bergerak seolah berkata : “aku tahu, aku tahu.”
Edo tidak kuasa membendung air matanya.
Imran dan Nurani juga menangis menyaksikan adegan itu. sesaat kemudian, Edo mulai
merasakan genggaman tangan Tenri mengendur di tangannya. Mata Tenri memandang
lurus ke atas dengan tatapn kosong. Suara tarikan nafasnya yang tadi terdengar
berat dan menggembungkan dadanya sekarang sudah tidak terlihat. Edo memandang
wajah Imran dan Nurani beerganti-ganti, berharap mereka melakukan sesuatu. Tapi
rupanya Imran dan Nurani sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Imran
menekan sebuah tombol
Waktu terasa bergerak sangat lambat,
ketika kemudian seorang dokter muncul dan memeriksa keadaan Tenri. Lalu
menyatakan bahwa Tenri telah tiada. Inna
lillahi wa innaa ilayhi raji’un. Tangis Nurani meledak di dalam pelukan
suaminya. Imran sendiri tak bisa menyembunyikan tangisnya. Keduanya tenggelam
dalam gelombang kesedihan yang teramat dalam. Keduanya beganti-ganti menciumi
wajah Tenri. Hati Edo robek menyaksikan pemandangan memilukan itu. Ia keluar
ruangan dan menghubungi ayahnya.
“Dad,
She’s gone.” Suara Edo terbata menyampaikan berita itu kepada ayahnya.
Beberapa saat lalu, dokter baru saja menginformasikan bahwa Tenri secara resmi telah
dinyatakan meninggal.
“Sorry
to hear that, son.” Jawab ayahnya. Suaranya juga terdengar shock.
Edo menutup telpon lalu kembali menemani
Imran dan istrinya. Ia harus menunggu instruksi dari Imran untuk selanjutnya segera
kembali ke hotel tempatnya menginap dalam empat hari terakhir ini untuk
membereskan pakaiannya.
Proses pemulangan Jenazah Tenri ke
Makassar akan dilakukan segera oleh pihak rumah sakit dan saudara-saudara Imran
yang ada di Singapura. Imran cukup menyelesaikan seluruh biaya administrasi di
rumah sakit ini.
Tepat pukul 10 pagi, pesawat carteran yang
disewa khusus untuk mengangkut jenazah Tenri lepas landas dari Bandara Changi
menuju ke Makassar. Di dalamnya seluruh keluarga Imran dan Nurani yang selama
ini menemani mereka di Singapura sudah turut serta. Termasuk Edo.
Di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar,
sebuah ambulance dan puluhan mobil sudah menunggu di sekitar terminal. Begitu
pesawat carteran itu mendarat dan terparkir di tempat yang telah ditentukan,
seluruh mobil itu bergerak ke depan tangga pesawat untuk menerima penumpangnya.
Kurang dari seperempat jam kemudian, mobil itu sudah berlari membelah jalan tol
menuju ke kediaman Imran di kawasan Hertasning.
Suasana duka seketika menyelimuti rumah
megah itu. Edo tak kuasa menahan haru. Apalagi ketika seluruh keluarga besar
Imran yang telah berkumpul sebelumnya di rumah itu bertemu dengan rombongan yang
membawa jenazah Tenri dari Singapura.
Pelayat dari berbagai kalangan
berdatangan. Relasi-relasi bisnis keluarga Imran hadir dalam jumlah yang besar.
Pejabat-pejabat provinsi juga termasuk geburnur, kapolda, panglima kodam dan
sebagainya, hadir menyampaikan belasungkawa. Demikian pula puluhan bupati dan
walikota yang kebetulan sempat berada di Makassar pada hari itu. rombongan
pejabat dari daerah datang bergelombang, tumpah ruah di halaman rumah itu.
Upacara pemakaman digelar hari itu juga.
Prosesi persemayaman dan pemakanan relatif tidak bertele-tele. Kebetulan tidak
jauh dari situ, terdapat kompleks pemakaman keluarga yang memang sudah
disiapkan oleh keluarga besar Imran sejak beberapa tahun lalu. Saat berbicara
di hadapan seluruh pelayat, Imran tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. Selama
dua puluh tahun terakhir ini, ia berjuang sekuat tenaga agar anak itu bisa
tetap menjadi perhiasan dalam hidupnya. Menjadi permata hati dalam keluarganya.
Namun karena Tuhan berkehendak lain, ia tidak punya daya selain menerima
ketentuan itu dengan kelapangan dada.
Suka duka membesarkan anak itu adalah
saat-saat terindah yang tak mungkin dilupakan Imran. Ia bercerita, bahwa tidak
jarang ia harus bangun dan lari pontang-panting di tengah malam demi agar hidup
anak tersayangnya ini tetap terjaga. Tangis pertamanya, senyum pertamanya, kata
pertamanya, langkah pertamanya, seluruhnya masih segar dalam ingatan Imran.
Lalu kini, semua itu berakhir tanpa dapat ia cegah dengan tumpukan kekayaannya.
Ia berterima kasih kepada seluruh orang
yang telah memberikan simpati, terutama kepada Gubernur, Kapolda dan Pangdam.
Juga kepada semua sejawat, relasi bisnis dan pejabat pemerintah daerah yang
telah datang menyatakan simpati dan belasungkawa.
Tepat saat adzan tanda waktu ashar
berkumandang, jenazah Tenri dimasukkan ke dalam liang lahat. Proses penimbunan
lubang kuburan tidak makan waktu lama, segera sesudah seluruh tanah galian itu
kembali ke asalnya, sebuah gundukan tanah merah terbentuk dengan nisan yang
tegak berdiri di tengahnya.
Para pelayat sudah meninggalkan tempat
itu satu persatu. Imran dan Nurani yang sangat terpukul atas kepergian anaknya
adalah keluarga terakhir yang meninggalkan tempat itu. Edo masih berdiri
mematung. Angin sore yang bergerak perlahan menebarkan aroma bunga kamboja yang
mistis. Matahari sudah mulai berwarna jingga. Beberapa meter di luar kompleks
pemakaman itu, suara lalu lalang kendaraan menerobos di sela-sela pepohonan
yang bisu. Mata Edo terpaku pusara yang masih baru itu.
Kompleks makam keluarga itu dirasakan Edo
kembali sepi, kecuali seseorang yang berjalan perlahan mendekati Edo. Suara
gemerisik dedaunan yang terinjak di belakangnya menyadarkan Edo. Ia berbalik
dan melihat ayahnya berjalan mendekatinya.
“Dad?” Edo kaget. “Kapan datang?” Ia
hampir tidak percaya kalau itu ayahnya. Ia menghapus air mata yang secara tak
sengaja menetes di pipinya. Ardi merangkul anaknya dan membiarkan Edo
menumpahkan kesedihan.
“Dari tadi, nak. Begitu menerima telponmu
tadi pagi, ayah langsung berangkat ke sini.”
“Ayah tiba jam berapa?”
Ardi melihat jam tangannya, “Pukul 2 WIB.”
“Kok Edo nggak lihat? Sempat ke rumah Pak
Bupati ‘kan tadi, Dad?”
“Iya.”
Mereka berdua berjongkok di sisi pusara
itu.
“Sayang sekali aku tidak sempat bertemu
dengannya.” Kata Ardi. Sebuah tekanan aneh menyertai intonasi suaranya yang
didengar Edo sebagai bentuk penyesalan yang mendalam.
“Seandainya aku bisa membawanya menemui
ayah, mungkin nyawanya bisa tertolong, maksud ayah begitu ‘kan?”
“Tidak juga, nak. Tapi ayah tahu apa yang
sesungguhnya terjadi.”
Edo memandangi ayahnya dengan tatapan
bertanya. “Really? Bagaimana mungkin?”
Ardi mengangguk. “Bahkan akulah penyebab
semua kekacauan ini.”
“Maksudnya, Dad?”
Ardi menghela napas panjang. Ia mengajak
Edo berdoa di sisi pusara Tenri lalu mengajaknya meninggalkan kompleks
pemakaman keluarga itu. Mereka Ardi berencana menginap satu malam sebelum
kembali ke Bandung.
Rasa penasaran Edo akan pernyataan
ayahnya sebagai penyebab kekacauan terjawab malam harinya. Di kamar hotel itu
Ardi menjelaskan maksud pernyataannya.
“Di dalam setiap sel manusia, terdapat
sebuah bagian utama yang disebut telomere.
Telomere ini memungkinkan sel mengalami pembelahan berkali-kali hingga bisa
mencapai 50 – 70 kali pembelahan. Setiap kali terjadi pembelahan, telomere
memendek dan akhirnya tidak bisa mendukung terjadinya pembelahan. Pada kasus
Tenri, Telomerenya jauh lebih pendek dari manusia yang dilahirkan secara
normal.”
“Kenapa bisa, Dad? Bukankan semua manusia
memiliki potensi telomere yang sama?”
“Benar, Do. Tapi Tenri bukan anak yang
lahir dari proses pembuahan normal. Ia adalah hasil kloning. Pada waktu proses
kloning, pemilik sel tunas sudah berusia lebih dari tiga puluh lima tahun. Dengan
demikian, proses pembelahan sel yang seharusnya bisa berlangsung hingga 70
kali, sudah terdistorsi oleh sel induknya dalam proses pembelahan di kehidupan
sebelumnya. Dengan demikian, secara biologis, usia Tenri sesungguhnya sudah
lebih dari lima puluh lima tahun.”
“Tunggu dulu, Dad. Tenri hasil kloning? Klon
siapa? Apakah itu berarti ia bukan anak biologis dari Pak Imran dan istrinya?”
“Ya. Tenri adalah klon ibumu.”
Edo memandang ayahnya dengan tatapan tak
percaya.
Ardi kemudian mencoba menjelaskan secara
gamblang tentang proses kelahiran Tenri. Setiap individu yang lahir berasal
dari sebuah sel yang mengalami pembelahan secara terus menerus. Dalam kasus
anak kembar identik, kedua embrio berasal
dari bersatunya satu sel telur dan satu sel sperma, yang segera sesudah
pembuahan terpisah jadi dua. Kedua bayi kembar ini mempunyai cirri-ciri dan
jenis kelamin yang sama. Kembar identik biasanya memiliki kantung ketuban yang
terpisah, tetapi berbagi plasenta yang sama. Meskipun kadang-kadang ada 2
plasenta, namun jarang sekali kembar yang hanya mempunyai satu ketuban dan satu
plasenta. Kembar tiga juga dapat identik, dengan satu sel telur terpisah
menjadi tiga embrio. Namun, lebih sering kembar tiga berasal dari sel-sel telur
yang terpisah atau sebagai dua sel telur, salah satunya terpisah membentuk
embrio ketiga.
Dalam kasus Tenri, pemisahan Embrio terjadi setelah Minarti dewasa. Dengan
mengambil sel tunas dari
sumsum tulang Minarti, Ardi menyimpan bakal tubuh kembaran istrinya itu untuk
dititipkan pada sebuah sel telur agar dapat berkembang sebagai individu yang
baru. Sel tunas adalah blue print segala organ tubuh manusia. Ia adalah sel
muda yang amat mudah tumbuh.
Dalam perkembangannya, janin yang tumbuh dari sel tunas
tadi memiliki salinan DNA yang persis sama dengan individu darimana ia berasal.
Itulah sebabnya, Edo melihat Tenri sebagai perempuan yang persis sama dengan
ibunya. bukan hanya wajahnya tetapi juga bentuk fisiknya.
Organisme hasil Kloning tetap tumbuh
sesuai hukum-hukum biologis. Yaitu melalui tahap pembelahan sel dari satu
menjadi dua, empat, delapan dan seterusnya. Sehingga mustahil menemukan kembar
identik hasil kloning yang berusia sama seperti yang sering ditampilkan dalam
film-film Hollywood. Kedua
organisme juga hanya memiliki persamaan dari segi fisik. Kecenderungan psikis,
mental, cara berpikir dan hal-hal yang bersifat spiritual pada kedua organisme
tetap tumbuh sebagaimana lazimnya manusia normal. Mereka juga tetap harus
melalui proses belajar yang sistematis untuk dapat memiliki kemampuan
sebagaimana halnya manusia biasa.
Yang membedakan mereka dengan manusia
lainnya hanyalah karena mereka tidak berasal dari hasil proses reproduksi alamiah
pertemuan ovum dan spermatozoa yang masing-masing memiliki 23 kromosom.
Melainkan berasal dari sebuah sel tunggal yang sudah memiliki kromosom lengkap
sebanyak 46 pasang. Sehingga, jika organisme hasil reproduksi alamiah hanya
mewarisi masing-masing setengah sifat genetis induknya, maka organisme hasil
kloning 100% mewarisi sifat genetis sel induknya.
“Kamu tentu sudah mendapat informasi
mengenai penyakit Tenri selama berada di Singapura ‘kan?”
“Penyakitnya aneh, Dad.” Kata Edo pada
ayahnya. “Di samping mengalami penyusutan massa otot, Tenri juga mengalami
osteoprorosis akut. Sesuatu yang seharusnya terjadi pada orang yang sudah
berusia di atas lima puluhan tahun. Ia juga dideteksi sudah mengalami
menopause. Pokoknya tidak ada dokter yang bisa mengetahui apa penyebab penyakit
Tenri.”
“Itulah yang terjadi, Edo. Dan memang
akulah yang menjadi sumber kekacauan ini.”
“Maaf, Dad. Saya tidak paham hubungan
ayah dengan Pak Imran. Apakah beliau memang pernah menjadi pasien ayah?”
“Dua puluh tahun lalu, Edo. Mereka datang
membawa masalah tidak punya keturunan setelah menikah lebih dari tujuh tahun.
Mereka minta bantuan ayah karena Saat itu ayah memang merupakan satu-satunya
dokter spesialis ginekolog di Indonesia yang berhasil melakukan inseminasi bayi
tabung. Penelitian terus menerus membuat ayah berhasil mengembangkan suatu
teknik reproduksi yang dapat berlangsung tanpa melalui proses pembuahan,
melainkan dengan cara mengambil sel tunas dari organisme tunggal yang akan
digandakan. Ketika percobaan ini berhasil ayah implementasikan terhadap beberapa spesies hewan yang
berbeda-beda, ayah berkesimpulan bahwa pada manusiapun hal serupa dapat
dilakukan.”
“Ayah hanya menyampaikan informasi itu kepada ibumu. Karena
kalau langsung dipublikasikan secara terbuka, ayah khawatir akan menimbulkan cultural shock di tengah masyarakat
seperti yang terjadi sekarang ini pada kasus rekayasa genetika yang baru-baru
ayah alami.”
“Ayah sangat mencintai ibumu. Dan kamu
harus tahu, Edo. Ibumu sangat mencintaimu. Mungkin karena terpengaruh pada
informasi yang dia peroleh dari fiksi-fiksi ilmiah atau dari film-film, ia
meminta ayah mengklon dirinya. Alasan sebenarnya jauh dari ilmiah. Ia sangat
ingin melihatmu tumbuh dewasa. Ia ingin mendampingimu sebagai seorang ibu. Ayah
sudah berusaha menjelaskan bahwa prosesnya tidak akan seperti itu, tapi ia
ngotot. Rasanya ayah tidak bijaksana mengecewakan dia di akhir hidupnya.”
“Ayah pertaruhkan karier dan masa depan
ayah untuk melaksanakan pesan ibumu. Makanya, ketika Pak Imran dan istrinya datang
dengan masalah kesuburan, Ayah melihat itulah peluang terbaik untuk
melaksanakan pesan ibumu. Bukan sperma dan ovum mereka yang ayah tanam di rahim
istrinya Pak Imran, melainkan klon ibumu. Itulah yang lahir sebagai Tenri.”
Ayahnya sudah mengatakan seluruh
kebenaran yang harus diketahuinya. Terlepas dari penyakit Tenri, terlepas dari
hidupnya yang terlalu singkat, Edo tetap tak ‘kan mungkin bisa menikahi Tenri.
Betapapun besarnya cinta yang dimilikinya terhadap gadis itu. Tenri adalah ibuku dalam bentuk yang berbeda.
“Maafkan ayah, Edo. Karena kesalahan
ayah, kamu ikut menanggung akibatnya. Ini tidak seharusnya terjadi jika saja
ayah lebih tegas pada ibumu.”
Edo tidak tahu harus mengatakan apa pada
ayahnya. Ketika lampu kamar dimatikan. Matanya nyalang dalam kegelapan. Mengapa
kehidupan serumit ini yang harus dia hadapi? Bayangan wajah Tenri berkelebat.
Berganti-ganti dengan wajah ibunya. wujud ibunya mengejawantah di dalam diri
Tenri. Meskipun waktu kebersamaan mereka terlalu singkat, tapi paling tidak, ia
telah mencintai Tenri dengan caranya sendiri sebagaimana seharusnya. Jika saja
Tenri memiliki waktu yang lebih lama, ia akan rela melakukan apapun demi
kebahagiaan Tenri. Karena itu berarti, ia telah membahagiakan ibunya.
Edo menyerap informasi itu dan akhirnya
menyadari, bahwa rupanya itulah arti dari segala keanehan yang dia alami selama
ini bersama Tenri. Ketika pertama kali melihat wajah Tenri, ia merasa wajah itu
pernah dilihatnya suatu waktu di masa lalunya. Ternyata wajah itu adalah wajah
ibunya. ketika ia memeluk Tenri dan menghirup aroma tubuhnya, Edo merasa pernah
mencium aroma seperti itu di masa lalu, ternyata itu adalah aroma tubuh ibunya.
Ketika Edo melihat Tenri tertidur pulas dengan wajah yang memancarkan
kedamaian, Edopun merasa pernah melihat wajah damai seperti itu di masa lalunya
yang ternyata adalah wajah damai ibunya ketika tengah tertidur. Juga ketika
wajahnya berada di atas tubuh Tenri, iapun merasakan sensasi yang sama. Tenri
telah menghadirkan sosok ibu yang dirindukannya selama ini.
“Selamat jalan, Tenri. Selamat jalan, Ibu...” Bisiknya, dan
air matanya merembes tanpa disadarinya.
No comments:
Post a Comment