Monday 30 January 2012

Chapter Fourty Five


Pagi menjelang ketika telponnya berdering. Edo terbangun dan melihat bahwa yang menelponnya adalah Imran.
“Ya, pak?”
“Maaf, Do. Tolong, kamu segera ke sini.”
“Baik, pak.”

Edo meninggalkan kamarnya dan berlari menuju ruang perawatan di mana Tenri sedang dirawat. Di dalam ruangan itu, Imran dan Istrinya sedang duduk di sisi tempat tidur. Nurani menangis, kentara dari suara isaknya yang makin lama  makin sering terdengar.
“Dia memanggilmu, Edo.” Kata Imran.
Edo segera mendekati tempat tidur Tenri. Dilihatnya mata gadis itu terpejam. Tarikan nafasnya tersendat dan sesekali terlihat berjuang keras agar bisa menghirup udara. Edo menggenggam tangannya yang dingin bagai es. Gadis itu membuka matanya. Memandang Edo tepat di matanya. Edo emngambil selembar kertas tissu, lalu diusapnya butir-butir keringat yang memenuhi wajah dan leher Tenri.
“Edo...” suaranya lebih mirip bisikan, tertutup oleh suara tarikan nafasnya yang gemuruh.
“Ya, sayang. Aku di sini.”
“Sayang... aku...”
Edo ingin melarangnya berbicara. Tapi tampaknya Tenri ingin mengatakan sesuatu. Ia kibaskan tangannya seolah menyuruh Edo diam dan mendengarnya.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, akhirnya Tenri berhasil mengucapkan sebuah kalimat, “Aku... mencintaimu, Edo.”  Oh, itulah kalimat yang selama sekian bulan ini dikejar-kejar oleh Edo. Itulah kalimat yang sepanjang kebersamaan mereka ditunggu Edo dengan segenap hati dan jiwanya. Dan Tenri baru saja mengucapkannya.
“Aku juga mencintaimu.” Bisik Edo. Ia tidak lagi merasa jengah atau sungkan, meskipun Imran dan istrinya ada di tempat itu menyaksikan mereka. Imran dan Nurani telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga besar mereka.
Tenri menganggukkan kepala, bibirnya bergerak seolah berkata : “aku tahu, aku tahu.”
Edo tidak kuasa membendung air matanya. Imran dan Nurani juga menangis menyaksikan adegan itu. sesaat kemudian, Edo mulai merasakan genggaman tangan Tenri mengendur di tangannya. Mata Tenri memandang lurus ke atas dengan tatapn kosong. Suara tarikan nafasnya yang tadi terdengar berat dan menggembungkan dadanya sekarang sudah tidak terlihat. Edo memandang wajah Imran dan Nurani beerganti-ganti, berharap mereka melakukan sesuatu. Tapi rupanya Imran dan Nurani sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Imran menekan sebuah tombol
Waktu terasa bergerak sangat lambat, ketika kemudian seorang dokter muncul dan memeriksa keadaan Tenri. Lalu menyatakan bahwa Tenri telah tiada. Inna lillahi wa innaa ilayhi raji’un. Tangis Nurani meledak di dalam pelukan suaminya. Imran sendiri tak bisa menyembunyikan tangisnya. Keduanya tenggelam dalam gelombang kesedihan yang teramat dalam. Keduanya beganti-ganti menciumi wajah Tenri. Hati Edo robek menyaksikan pemandangan memilukan itu. Ia keluar ruangan dan menghubungi ayahnya.
Dad, She’s gone.” Suara Edo terbata menyampaikan berita itu kepada ayahnya. Beberapa saat lalu, dokter baru saja menginformasikan bahwa Tenri secara resmi telah dinyatakan meninggal.
Sorry to hear that, son.” Jawab ayahnya. Suaranya juga terdengar shock.
Edo menutup telpon lalu kembali menemani Imran dan istrinya. Ia harus menunggu instruksi dari Imran untuk selanjutnya segera kembali ke hotel tempatnya menginap dalam empat hari terakhir ini untuk membereskan pakaiannya.
Proses pemulangan Jenazah Tenri ke Makassar akan dilakukan segera oleh pihak rumah sakit dan saudara-saudara Imran yang ada di Singapura. Imran cukup menyelesaikan seluruh biaya administrasi di rumah sakit ini.
Tepat pukul 10 pagi, pesawat carteran yang disewa khusus untuk mengangkut jenazah Tenri lepas landas dari Bandara Changi menuju ke Makassar. Di dalamnya seluruh keluarga Imran dan Nurani yang selama ini menemani mereka di Singapura sudah turut serta. Termasuk Edo.
Di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, sebuah ambulance dan puluhan mobil sudah menunggu di sekitar terminal. Begitu pesawat carteran itu mendarat dan terparkir di tempat yang telah ditentukan, seluruh mobil itu bergerak ke depan tangga pesawat untuk menerima penumpangnya. Kurang dari seperempat jam kemudian, mobil itu sudah berlari membelah jalan tol menuju ke kediaman Imran di kawasan Hertasning.
Suasana duka seketika menyelimuti rumah megah itu. Edo tak kuasa menahan haru. Apalagi ketika seluruh keluarga besar Imran yang telah berkumpul sebelumnya di rumah itu bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah Tenri dari Singapura.
Pelayat dari berbagai kalangan berdatangan. Relasi-relasi bisnis keluarga Imran hadir dalam jumlah yang besar. Pejabat-pejabat provinsi juga termasuk geburnur, kapolda, panglima kodam dan sebagainya, hadir menyampaikan belasungkawa. Demikian pula puluhan bupati dan walikota yang kebetulan sempat berada di Makassar pada hari itu. rombongan pejabat dari daerah datang bergelombang, tumpah ruah di halaman rumah itu.
Upacara pemakaman digelar hari itu juga. Prosesi persemayaman dan pemakanan relatif tidak bertele-tele. Kebetulan tidak jauh dari situ, terdapat kompleks pemakaman keluarga yang memang sudah disiapkan oleh keluarga besar Imran sejak beberapa tahun lalu. Saat berbicara di hadapan seluruh pelayat, Imran tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. Selama dua puluh tahun terakhir ini, ia berjuang sekuat tenaga agar anak itu bisa tetap menjadi perhiasan dalam hidupnya. Menjadi permata hati dalam keluarganya. Namun karena Tuhan berkehendak lain, ia tidak punya daya selain menerima ketentuan itu dengan kelapangan dada.
Suka duka membesarkan anak itu adalah saat-saat terindah yang tak mungkin dilupakan Imran. Ia bercerita, bahwa tidak jarang ia harus bangun dan lari pontang-panting di tengah malam demi agar hidup anak tersayangnya ini tetap terjaga. Tangis pertamanya, senyum pertamanya, kata pertamanya, langkah pertamanya, seluruhnya masih segar dalam ingatan Imran. Lalu kini, semua itu berakhir tanpa dapat ia cegah dengan tumpukan kekayaannya.
Ia berterima kasih kepada seluruh orang yang telah memberikan simpati, terutama kepada Gubernur, Kapolda dan Pangdam. Juga kepada semua sejawat, relasi bisnis dan pejabat pemerintah daerah yang telah datang menyatakan simpati dan belasungkawa.
Tepat saat adzan tanda waktu ashar berkumandang, jenazah Tenri dimasukkan ke dalam liang lahat. Proses penimbunan lubang kuburan tidak makan waktu lama, segera sesudah seluruh tanah galian itu kembali ke asalnya, sebuah gundukan tanah merah terbentuk dengan nisan yang tegak berdiri di tengahnya.
Para pelayat sudah meninggalkan tempat itu satu persatu. Imran dan Nurani yang sangat terpukul atas kepergian anaknya adalah keluarga terakhir yang meninggalkan tempat itu. Edo masih berdiri mematung. Angin sore yang bergerak perlahan menebarkan aroma bunga kamboja yang mistis. Matahari sudah mulai berwarna jingga. Beberapa meter di luar kompleks pemakaman itu, suara lalu lalang kendaraan menerobos di sela-sela pepohonan yang bisu. Mata Edo terpaku pusara yang masih baru itu.
Kompleks makam keluarga itu dirasakan Edo kembali sepi, kecuali seseorang yang berjalan perlahan mendekati Edo. Suara gemerisik dedaunan yang terinjak di belakangnya menyadarkan Edo. Ia berbalik dan melihat ayahnya berjalan mendekatinya.
“Dad?” Edo kaget. “Kapan datang?” Ia hampir tidak percaya kalau itu ayahnya. Ia menghapus air mata yang secara tak sengaja menetes di pipinya. Ardi merangkul anaknya dan membiarkan Edo menumpahkan kesedihan.
“Dari tadi, nak. Begitu menerima telponmu tadi pagi, ayah langsung berangkat ke sini.”
“Ayah tiba jam berapa?”
Ardi melihat jam tangannya, “Pukul 2 WIB.”
“Kok Edo nggak lihat? Sempat ke rumah Pak Bupati ‘kan tadi, Dad?”
“Iya.”
Mereka berdua berjongkok di sisi pusara itu.
“Sayang sekali aku tidak sempat bertemu dengannya.” Kata Ardi. Sebuah tekanan aneh menyertai intonasi suaranya yang didengar Edo sebagai bentuk penyesalan yang mendalam.
“Seandainya aku bisa membawanya menemui ayah, mungkin nyawanya bisa tertolong, maksud ayah begitu ‘kan?”
“Tidak juga, nak. Tapi ayah tahu apa yang sesungguhnya terjadi.”
Edo memandangi ayahnya dengan tatapan bertanya. “Really? Bagaimana mungkin?”
Ardi mengangguk. “Bahkan akulah penyebab semua kekacauan ini.”
“Maksudnya, Dad?”
Ardi menghela napas panjang. Ia mengajak Edo berdoa di sisi pusara Tenri lalu mengajaknya meninggalkan kompleks pemakaman keluarga itu. Mereka Ardi berencana menginap satu malam sebelum kembali ke Bandung.
Rasa penasaran Edo akan pernyataan ayahnya sebagai penyebab kekacauan terjawab malam harinya. Di kamar hotel itu Ardi menjelaskan maksud pernyataannya.
“Di dalam setiap sel manusia, terdapat sebuah bagian utama yang disebut telomere. Telomere ini memungkinkan sel mengalami pembelahan berkali-kali hingga bisa mencapai 50 – 70 kali pembelahan. Setiap kali terjadi pembelahan, telomere memendek dan akhirnya tidak bisa mendukung terjadinya pembelahan. Pada kasus Tenri, Telomerenya jauh lebih pendek dari manusia yang dilahirkan secara normal.”
“Kenapa bisa, Dad? Bukankan semua manusia memiliki potensi telomere yang sama?”
“Benar, Do. Tapi Tenri bukan anak yang lahir dari proses pembuahan normal. Ia adalah hasil kloning. Pada waktu proses kloning, pemilik sel tunas sudah berusia lebih dari tiga puluh lima tahun. Dengan demikian, proses pembelahan sel yang seharusnya bisa berlangsung hingga 70 kali, sudah terdistorsi oleh sel induknya dalam proses pembelahan di kehidupan sebelumnya. Dengan demikian, secara biologis, usia Tenri sesungguhnya sudah lebih dari lima puluh lima tahun.”
“Tunggu dulu, Dad. Tenri hasil kloning? Klon siapa? Apakah itu berarti ia bukan anak biologis dari Pak Imran dan istrinya?”
“Ya. Tenri adalah klon ibumu.”
Edo memandang ayahnya dengan tatapan tak percaya.
Ardi kemudian mencoba menjelaskan secara gamblang tentang proses kelahiran Tenri. Setiap individu yang lahir berasal dari sebuah sel yang mengalami pembelahan secara terus menerus. Dalam kasus anak kembar identik, kedua embrio berasal dari bersatunya satu sel telur dan satu sel sperma, yang segera sesudah pembuahan terpisah jadi dua. Kedua bayi kembar ini mempunyai cirri-ciri dan jenis kelamin yang sama. Kembar identik biasanya memiliki kantung ketuban yang terpisah, tetapi berbagi plasenta yang sama. Meskipun kadang-kadang ada 2 plasenta, namun jarang sekali kembar yang hanya mempunyai satu ketuban dan satu plasenta. Kembar tiga juga dapat identik, dengan satu sel telur terpisah menjadi tiga embrio. Namun, lebih sering kembar tiga berasal dari sel-sel telur yang terpisah atau sebagai dua sel telur, salah satunya terpisah membentuk embrio ketiga.
Dalam kasus Tenri, pemisahan Embrio terjadi setelah Minarti dewasa. Dengan mengambil sel tunas dari sumsum tulang Minarti, Ardi menyimpan bakal tubuh kembaran istrinya itu untuk dititipkan pada sebuah sel telur agar dapat berkembang sebagai individu yang baru. Sel tunas adalah blue print segala organ tubuh manusia. Ia adalah sel muda yang amat mudah tumbuh.
Dalam perkembangannya, janin yang tumbuh dari sel tunas tadi memiliki salinan DNA yang persis sama dengan individu darimana ia berasal. Itulah sebabnya, Edo melihat Tenri sebagai perempuan yang persis sama dengan ibunya. bukan hanya wajahnya tetapi juga bentuk fisiknya.
Organisme hasil Kloning tetap tumbuh sesuai hukum-hukum biologis. Yaitu melalui tahap pembelahan sel dari satu menjadi dua, empat, delapan dan seterusnya. Sehingga mustahil menemukan kembar identik hasil kloning yang berusia sama seperti yang sering ditampilkan dalam film-film Hollywood.  Kedua organisme juga hanya memiliki persamaan dari segi fisik. Kecenderungan psikis, mental, cara berpikir dan hal-hal yang bersifat spiritual pada kedua organisme tetap tumbuh sebagaimana lazimnya manusia normal. Mereka juga tetap harus melalui proses belajar yang sistematis untuk dapat memiliki kemampuan sebagaimana halnya manusia biasa.
Yang membedakan mereka dengan manusia lainnya hanyalah karena mereka tidak berasal dari hasil proses reproduksi alamiah pertemuan ovum dan spermatozoa yang masing-masing memiliki 23 kromosom. Melainkan berasal dari sebuah sel tunggal yang sudah memiliki kromosom lengkap sebanyak 46 pasang. Sehingga, jika organisme hasil reproduksi alamiah hanya mewarisi masing-masing setengah sifat genetis induknya, maka organisme hasil kloning 100% mewarisi sifat genetis sel induknya.
“Kamu tentu sudah mendapat informasi mengenai penyakit Tenri selama berada di Singapura ‘kan?”
“Penyakitnya aneh, Dad.” Kata Edo pada ayahnya. “Di samping mengalami penyusutan massa otot, Tenri juga mengalami osteoprorosis akut. Sesuatu yang seharusnya terjadi pada orang yang sudah berusia di atas lima puluhan tahun. Ia juga dideteksi sudah mengalami menopause. Pokoknya tidak ada dokter yang bisa mengetahui apa penyebab penyakit Tenri.”
“Itulah yang terjadi, Edo. Dan memang akulah yang menjadi sumber kekacauan ini.”
“Maaf, Dad. Saya tidak paham hubungan ayah dengan Pak Imran. Apakah beliau memang pernah menjadi pasien ayah?”
“Dua puluh tahun lalu, Edo. Mereka datang membawa masalah tidak punya keturunan setelah menikah lebih dari tujuh tahun. Mereka minta bantuan ayah karena Saat itu ayah memang merupakan satu-satunya dokter spesialis ginekolog di Indonesia yang berhasil melakukan inseminasi bayi tabung. Penelitian terus menerus membuat ayah berhasil mengembangkan suatu teknik reproduksi yang dapat berlangsung tanpa melalui proses pembuahan, melainkan dengan cara mengambil sel tunas dari organisme tunggal yang akan digandakan. Ketika percobaan ini berhasil  ayah implementasikan terhadap beberapa spesies hewan yang berbeda-beda, ayah berkesimpulan bahwa pada manusiapun hal serupa dapat dilakukan.”
 “Ayah hanya menyampaikan informasi itu kepada ibumu. Karena kalau langsung dipublikasikan secara terbuka, ayah khawatir akan menimbulkan cultural shock di tengah masyarakat seperti yang terjadi sekarang ini pada kasus rekayasa genetika yang baru-baru ayah alami.”
“Ayah sangat mencintai ibumu. Dan kamu harus tahu, Edo. Ibumu sangat mencintaimu. Mungkin karena terpengaruh pada informasi yang dia peroleh dari fiksi-fiksi ilmiah atau dari film-film, ia meminta ayah mengklon dirinya. Alasan sebenarnya jauh dari ilmiah. Ia sangat ingin melihatmu tumbuh dewasa. Ia ingin mendampingimu sebagai seorang ibu. Ayah sudah berusaha menjelaskan bahwa prosesnya tidak akan seperti itu, tapi ia ngotot. Rasanya ayah tidak bijaksana mengecewakan dia di akhir hidupnya.”
“Ayah pertaruhkan karier dan masa depan ayah untuk melaksanakan pesan ibumu. Makanya, ketika Pak Imran dan istrinya datang dengan masalah kesuburan, Ayah melihat itulah peluang terbaik untuk melaksanakan pesan ibumu. Bukan sperma dan ovum mereka yang ayah tanam di rahim istrinya Pak Imran, melainkan klon ibumu. Itulah yang lahir sebagai Tenri.”
Ayahnya sudah mengatakan seluruh kebenaran yang harus diketahuinya. Terlepas dari penyakit Tenri, terlepas dari hidupnya yang terlalu singkat, Edo tetap tak ‘kan mungkin bisa menikahi Tenri. Betapapun besarnya cinta yang dimilikinya terhadap gadis itu. Tenri adalah ibuku dalam bentuk yang berbeda.
“Maafkan ayah, Edo. Karena kesalahan ayah, kamu ikut menanggung akibatnya. Ini tidak seharusnya terjadi jika saja ayah lebih tegas pada ibumu.”
Edo tidak tahu harus mengatakan apa pada ayahnya. Ketika lampu kamar dimatikan. Matanya nyalang dalam kegelapan. Mengapa kehidupan serumit ini yang harus dia hadapi? Bayangan wajah Tenri berkelebat. Berganti-ganti dengan wajah ibunya. wujud ibunya mengejawantah di dalam diri Tenri. Meskipun waktu kebersamaan mereka terlalu singkat, tapi paling tidak, ia telah mencintai Tenri dengan caranya sendiri sebagaimana seharusnya. Jika saja Tenri memiliki waktu yang lebih lama, ia akan rela melakukan apapun demi kebahagiaan Tenri. Karena itu berarti, ia telah membahagiakan ibunya.
Edo menyerap informasi itu dan akhirnya menyadari, bahwa rupanya itulah arti dari segala keanehan yang dia alami selama ini bersama Tenri. Ketika pertama kali melihat wajah Tenri, ia merasa wajah itu pernah dilihatnya suatu waktu di masa lalunya. Ternyata wajah itu adalah wajah ibunya. ketika ia memeluk Tenri dan menghirup aroma tubuhnya, Edo merasa pernah mencium aroma seperti itu di masa lalu, ternyata itu adalah aroma tubuh ibunya. Ketika Edo melihat Tenri tertidur pulas dengan wajah yang memancarkan kedamaian, Edopun merasa pernah melihat wajah damai seperti itu di masa lalunya yang ternyata adalah wajah damai ibunya ketika tengah tertidur. Juga ketika wajahnya berada di atas tubuh Tenri, iapun merasakan sensasi yang sama. Tenri telah menghadirkan sosok ibu yang dirindukannya selama ini.
“Selamat jalan, Tenri. Selamat jalan, Ibu...” Bisiknya, dan air matanya merembes tanpa disadarinya.

No comments:

Post a Comment